Minggu, 01 September 2013

PERANAN PEMERINTAH DALAM UPAYA PEMENUHAN HAK MELANGSUNGKAN PERKAWINAN SAH BAGI ORANG MISKIN



Pendahuluan
       Membentuk keluarga  dan melanjutkan keturunan adalah naluri setiap manusia yang normal. Pasangan hidup selain tempat penyaluran hasrat biologis, juga sebagai sebagai wadah untuk mendapatkan ketenangan batin seseorang. Karena itu, setiap orang berhak memperolehnya. Demikian juga halnya dengan keinginannya untuk memperoleh keturunan.
       Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Tahun 1948 merupakan dasar bagi pelaksanaan hak-hak dan prinsip-prinsip tentang persamaan, keamanan, integritas dan martabat seluruh pribadi manusia tanpa diskriminasi, yang intinya adalah hak asasi manusia. Hak Asasi Manusia mempunyai arti penting bagi harkat dan martabat dalam kehidupan berkeluarga, berbangsa dan bernegara. Pasal 16 DUHAM menetapkan, laki-laki dan wanita yang telah dewasa mempunyai hak untuk menikah dan mendirikan rumah tangga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam pernikahan, selama pernikahan masih berlangsung dan waktu perceraian. Pernikahan dianggap terjadi hanya dengan persetujuan yang bebas sepenuhnya dari kedua belah pihak calon mempelai. Keluarga adalah unit kelompok masyarakat yang alami dan asasi serta berhak mendapat perlindungan dari masyarakat dan negara.
       Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 28B amandemern kedua UUD 1945 menekankan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Terhadap hak ini dalam keadaan apapun atau bagaimanapun, negara tidak dapat mengurangi arti hak ini.
      Ketentuan tersebut  memberikan jaminan konstitusional terhadap hak asasi  manusia. Hal ini sangat penting dan bahkan merupakan salah satu ciri pokok suatu negara yang menganut negara hukum. Namun di samping hak asasi manusia,  harus pula dipahami bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang bersifat asasi. Setiap orang selama hidupnya, sejak sebelum kehirannmya memiliki hak dan kewajiban yang hakiki sebagai manusia. Pembetukan negara dan pemerintahan, untuk alasan apapun,  tidak boleh menghilangkan prinsip hak dan kewajiban yang disandang oleh setiap manusia. Setiap orang dimanapun ia berada harus dijamin hak-hak dasarnya.  Pada saat yang bersamaan, setiap orang dimana pun ia berada, juga wajib menjunjung tinggi hak assi manusia lain. Keseimbangan kesadaran  akan adanya hak dan kewajiban asasi ini merupakan ciri penting pandangan dasar bangsa Indonesia mengenai manusia dan kemanusiaan yang adil dan beradab, (Jimly Asshiddiqie, 2005: 112)).
       Ketentuan mengenai hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan ini dipertegas lagi dalam pasal 10  Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang  Hak Asasi Manusia yang berbunyi bahwa   setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian mengenai kewajiban dan tanggung jawab pemerintah, Pasal 71 menyatakan bahwa pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.
       Ketentuan yang membatasi kehendak bebas calon suami istri tersebut adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini memberikan batasan pengertian perkawinan, yaitu ikatan lahir  batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2 undang-undang ini menyebutkan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
       Untuk melaksanakan ketentuan pencatatan tersebut, pemerintah telah  mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Peraturan pemerintah ini mengatur tentang pencatatan dan tata cara perkawinan,  akta perkawinan, tata cara perceraian, pembatalan perkawinan, dan lain-lain. Pencatatan Perkawinan dilaksanakan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Tingkat Kecamatan bagi calon pengantin yang beragamna Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi calon pengantin yang beragama bukan Islam.
       Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 Tentang  Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Agama, pemerintah telah menetapkan biaya pencatatan nikah dan rujuk yang diterima Kantor Urusan Agama Kecamatan sebesar Rp. 30.000,-.  Khusus untuk  warga negara yang miskin, peraturan ini membebaskan biaya pencatatan perkawinan berdasarkan penetapan Menteri Agama setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan.
       Peran KUA di bidang pencatatan perkawinan beberapa tahun belakangan ini, mendapat sorotan dari banyak pihak. Hal ini terutama terkait dengan besaran biaya administrasi pencatatan perkawinan yang harus dibayarkan oleh para calon pengantin, yang jumlahnya variatif antara calon pengantin yang satu dengan calon pengantin yang lain.
Hasil penelitian Ismail Zubir di Provinsi DKI Jakarta menyebutkan bahwa sejumlah anggota masyarakat tidak membayar biaya administrasi sebesar Rp. 30.000,-. tetapi  berkisar antara Rp. 150.000 hingga Rp.1.000.000,-. Sebagian besar dari mereka juga tidak mengetahui jumlah biaya pencatatan administrasi perkawinan yang sebenarnya dan pihak KUA juga tidak memberi tahu. Beberapa informan dari anggota masyarakat mengatakan bahwa biaya yang mereka keluarkan itu hanya sebagian kecil yang dialokasikan untuk administrasi pencatatan perkawinan dan sebagian besarnya untuk pihak penghulu, terutama biaya transport. Bahkan, menurut sebagian informan, ada penghulu yang terang-terangan meminta biaya namun tidak sedikit juga yang mengakui bahwa mereka memberikan sebagian besar kelebihan uang administrasi perkawinan untuk pihak penghulu sebagai ucapan terima kasih dan transport (Ismail Zubir : 2011)
       Banyak warga masyarakat miskin tidak mendaftarkan perkawinan mereka, karena tidak mampu membayar biaya administrasi. Para peserta perkawinan massal yang diadakan beberapa instansi di daerah, diperoleh informasi bahwa  tidak mencatatkan perkawinan mereka karena miskin, tidak punya uang. Akibatnya, hingga kini, diperkirakan banyak pasangan suami istri, terutama di pedesaan dan kawasan miskin perkotaan, hidup dalam ikatan perkawinan tanpa surat nikah, dan rentan terhadap berbagai bentuk pelanggaran hak, termasuk pengingkaran hak waris bagi anak yang lahir dalam ikatan perkawinan itu. Lalu masalahnya, apa penyebab  biaya tinggi dalam pencatatan perkawinan dan apa  peranan pemerintah dalam memenuhi hak orang miskin dalam melakukan perkawinan yang sah.
Tatanan Hakum Perkawinan
       Hak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan termasuk salah satu hak sipil yang telah diakomodir dalam International Covenan on Civil and Political Rights (ICCPR). Konvensi ini telah disahkan pemerintah  Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun  2005, sehingga tanggung jawab perlindungan dan pemenuhan atas semua hak dan kebebasan yang diatur dalam kovenan ini adalah merupakan kewajiban negara. Hak-hak yang terhimpun dalam hak sipil dan politik merupakan hak negatif (negative rights). Artinya hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara terbatasi, terlihat minus.
       Hak-hak negatif yang dikandung ICCPR ini diklassifikasi kepada dua kelompok. Kelompok pertama adalah hak-hak dalam jenis non-derogable, yaitu hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh Negara Pihak, walaupun dalam keadaan darurat sekalipun. Kelompok kedua adalah hak-hak dalam jenis derogable yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh Negara Pihak.Tanggung jawab perlindungan dan pemenuhan atas hak dan kebebasan yang dijanjikan dalam kovenan ini adalah dipundak negara. Tanggung jawab negara dalam ICCPR bersifat mutlak dan harus segera dijalankan (immediately) karena hak-hak sipil dan politik adalah bersifat justiciable (Ifdhal Kasim, 2001 : XIV). Hak melangsungkan perkawinan dan melanjutkan keturunan, sebagai hak sipil dan politik tersebut,  termasuk dalam kelompok yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara.
       Dalam konteks ini, pemerintah  Republik Indonesia telah mengundangkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 yang  menetapkan bahwa setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah (Pasal 10). Selanjutnya dalam Pasal 8 menegaskan bahwa negara (dalam hal ini pemerintah) memiliki tanggungjawab menjamin prinsip kebebasan yang menjadi hak asasi manusia, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara, terutama Pemerintah.
       Satu-satunya legitimasi dasar kekuasaan  yang sah adalah legitimasi demokrasi. Berdasarkan keadaan semua anggota masyarakat sebagai manusia dan warga negara, berdasarkan keyakinan bahwa tidak ada orang atau kelompok orang yang begitu saja berhak untuk memerintahi orang lain harus dikatakan bahwa wewenang untuk memerintah masyarakat harus berdasarkan penugasan dan persetujuan para warga masyarakat sendiri. Keyakinan ini terungkap dalam istilah “kedaulatan rakyat”. (Magnis Suseno 1994 : 289).
       Selain asas demokrasi yang digunakan kedalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sri Sumantri, juga menggunakan asas negara hukum yang diimplementasikan ke dalam sistem hukum nasional, salah satu unsur dari empat unsur penting adanya jaminan terhadap pemenuhan hak asasi manusia (Bahder Johan Nasution, 2011 : 51)
       Salah satu indikator adanya jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia adalah terlaksananya pemilihan umum yang demokratis. Artinya pemilihan umum yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia serta jujur dan adil (Luber dan jurdil). Melalui pemilihan umum yang demikian akan terpilih anggota DPR dan Presiden yang akan menjamin pemenuhan dan perlindungan hak asasi warga negara melalui suatu tatanan hukum.
       Negara melaksanakan tugasnya dengan menetapkan suatu tatanan hukum yang menjadi dasar bagi kebijaksanaan-kebijaksanaan konkrit yang mau diambil.Tatanan hukum membatasi kelakuan para warga masyarakat. Tetapi hukum tidak diciptakan demi pembatasan-pembatasan itu sendiri, melainkan demi nilai-nilai yang mau direalisasikan melalui hukum. Realisasi nilai-nilai itulah yang diharapkan dari negara. Nilai-nilai dasar hukum itu adalah kesamaan, kebebasan, dan solidaritas. Tiga prinsip ini hanya mempunyai arti berdasarkan prinsip yang keempat, yaitu, negara itu harus demi kepentingan masyarakat. Prinsip ini disebut sebagai prinsip manfaat, artinya eksistensi negara harus bermanfaat bagi masyarakat. (Magnis Suseno, 1994 : 304)
       Melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pemerintah telah menciptakan suatu kondisi yang memungkinkan pemenuhan hak-hak setiap orang untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan. Pasal  1 undang-undang ini menetapkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
       Dari definisi perkawinan tersebut, dikandung beberapa  prinsip, antara lain, (1)  perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami dan istri perlu saling membantu dan melengkapi. Melihat isi ketentuan ini, maka jelas sekali bahwa undang-undang ini menjamin kekekalan hidup keluarga yang kuat  dan abadi dalam perkawinan, dalam arti suami dan istri hanya dipisahkan oleh kematian. (2) Perkawinan di Indonesia tidak hanya bersifat lahiriah, tetapi juga berkaitan erat dengan unsur batiniah dan keagamaan. Ketiga unsur itu merupakan satu kesatuan yang tidak  tergoyahkan dan  di atasnya ditegakkan maksud dan tujuan perkawinan. (3) Di samping itu, tiap-tiap perkawinan harus dicacat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Percatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan  peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang  yang dinyatakan dalam surat keterangan, suatu akte resmi. (4) Undang-undang ini mengatur asas monogami. Perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang, baru dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan pengadilan. (5) Undung-undang ini juga mengatur prinsip, bahwa calon suami istri  itu harus telah masak jiwaraganya, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan tanpa berakhir pada perceraian serta  mendapat keturunan yang baik dan sehat. Berhubungan  dengan itu, maka undang-undang  ini menentukan batas umur untuk kawin bagi pria 19 tahun dan  16 tahun bagi wanita. (6) Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga  yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip mempersukar  perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan  di depan pengadilan. (7) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun  dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikan segala sesuatu dalam rumah tangga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.   
Pencatatan Perkawinan dan Akibat Hukumnya
       Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan  sah  apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kemudian Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedua ayat dalam Pasal 2 tersebut,  berlaku secara kumulatif. Artinya kedua-duanya harus diterapkan bagi persyaratan sahnya suatu perkawinan. Hal ini sebagai konsekwensi dari sistematika produk perundang-undangan di mana komponen-komponen yang menjadi bagiannya tidak dapat pisahkan satu sama lain.
       Seseorang yang melangsungkan perkawinan wajib mencatatkannya sesuai dengan  tata cara yang diatur  dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Menurut peraturan pemerintah ini, perkawinan baru dapat dilangsungkan pada hari ke-10 setelah pegawai pencatat nikah mengumumkan kehendak kedua calon pengantin. Setelah  perkawinan berlangsung kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan  Pegawai Pencatat Perkawinan.
       Soal pencatatan perkawinan ini, peran pemerintah hanya sebatas melakukan pencatatan. Artinya, pemerintah hanya mengatur aspek administratif perkawinan, sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting lainnya dalam kehidupan seseorang, seperti kelahiran dan kematian. Semua peristiwa ini dinyatakan dalam surat keterangan yang dimuat dalam daftar pencatatan atau suatu akte resmi. Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedang bagi yang beragama non-Islam pencatatan dilakukan di Kantor Catatan Sipil. 
       Perkawinan yang sudah  dicatat di Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil akan membawa akibat hukum, yaitu perkawinan dan  anak-anak  yang dilahirkan dalam perkawinan adalah sah. Sebaliknya jika KUA belum mencatatkan, meskipun suatu perkawinan sudah dilaksanakan menurut agama dan kepercyaan, perkawinan  tersebut dianggap tidak sah. Demikian juga anak-anak yang dilahirkan sama dengan anak yang lahir di luar perkawinan. Artinya,  anak yang dilahirkan itu hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Sedangkan dengan ayah biologisnya tidak mempunyai hubungan sama sekali. Ketentuan ini sudah dikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi RI dalam putusannya pada tanggal 17 Pebruari 2012 yang menyatakan, pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diubah dan menjadi “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi  dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Putusan ini menekankan agar ayah biologis si anak tidak boleh melepaskan tanggung jawabnya  atas hubungannya yang mengakibatkan anak lahir di luar nikah. Tujuan putusan itu agar supaya anak mendapatkan hak perdata dan tercatat sebagai warga negara serta terlindungi dari sebutan “anak haram” yang sarat diskriminasi.
       Tentang sahnya perkawinan, sebagian orang ada  yang mengartikan,  jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) atau pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya (bagi yang non muslim), maka perkawinan tersebut adalah sah, terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat. Karena sudah dianggap sah, maka akibatnya banyak perkawinan yang tidak dicatatkan. Bisa dengan alasan biaya yang mahal, prosedur berbelit-belit atau untuk menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman adiministrasi dari instansi tempat bekerja, terutama  perkawinan kedua dan seterusnya. Perkawinan yang tidak dicatatkan ini dikenal dengan istilah Perkawinan Bawah Tangan (Nikah Syiri’).
Dilema Biaya Pencatatan Perkawinan
Biaya pencatatan perkawinan yang dibebankan KUA kepada masyarakat yang melangsungkan perkawinan selama ini, mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Agama terkait biaya Pencatatan Nikah dan Rujuk, yaitu sebesar Rp. 30.000 per peristiwa nikah. Hampir semua KUA mengumumkan biaya ini  di papan pengumuman yang ada di depan kantor. Setiap orang yang datang ke KUA dan bertanya berapa biaya menikah, pihak KUA menegaskan kalau biaya pencatatan berdasarkan peraturan sebesar Rp. 30.000,- Bahkan jika warga masyarakat membawa surat keterangan tidak mampu yang disahkan oleh pihak RT (Rukun Tetangga)  hingga Kelurahan, calon pengantin  dibebaskan sama sekali dari biaya administrasi Pencatatan Perkawinan.
       Hanya saja, banyak masyarakat yang belum mengetahui  besaran biaya ini, sekalipun sudah banyak KUA yang berusaha  menginformasikan. Juga banyak warga masyarakat yang tidak mengetahui prosedur administrasi pencatatan pernikahan yang ada di KUA, karena  kebiasaan masyarakat yang selalu meminta pihak ketiga untuk mengurus administrasi pencatatan pernikahan mereka. Selain itu, memang masyarakat tidak mengetahui ini, karena kurangnya sosialisasi dari pihak KUA dan petugas-petugas yang tidak menjelaskan prosedur dan biaya resmi administrasi pencatatan perkawinan kepada masyarakat.
       Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, pelaksanaan pernikahan/perkawinan diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang di masyarakat lebih dikenal dengan sebutan penghulu. Upacara pernikahan di mana seorang penghulu menjadi pimpinan, adalah suatu kegiatan yang sangat sakral dalam pandangan masyarakat Indonesia. Jika seorang Penghulu harus menikahkan seseorang dengan jarak yang cukup jauh dari kantor meminta biaya tambahan dengan alasan membutuhkan biaya transportasi adalah hal yang wajar. Tetapi akan tidak wajar apabila biaya untuk transport itu sendiri tidak terukur, atau tidak ditetapkan oleh Pemerintah atau Kepala KUA sebagai pemegang kewenangan.
       Berkenaan dengan biaya tambahan ini, pihak KUA sendiri mengakui, mereka menerima biaya tambahan selain biaya administrasi resmi sebesar Rp.30.000,- Pihak KUA mengatakan, bahwa uang lebih yang mereka terima dari masyarakat, atau biasa mereka sebut sebagai uang kerahiman, dipergunakan untuk biaya transport petugas karena harus menikahkan ke luar KUA dan sebagai uang lelah karena harus menikahkan di luar jam kantor. Akibat  tingginya biaya pencatatan perkawinan ini, banyak warga masyarakat miskin yang tidak mencatatakan perkawinannya.
       Melihat realitas seperti itu, masyarakat lapisan bawah  sering memilih menikahkan anaknya di kantor KUA. Pertimbangannya, karena biaya yang dikeluarkan dianggap lebih ringan, yakni “hanya” Rp. 300.000,-. Jumlah ini sama dengan 10 x lipat dari jumlah biaya yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp. 30.000,- Sementara jumlah biaya nikah, yang berkisar Rp. 300.000 s.d. Rp. 1.000.000,- adalah  apabila akad nikah dilaksanakan di luar kantor KUA. Karena  ketidaktahuan masyarakat dan sosialisasi yang minim dari pemerintah, maka jumlah biaya yang berbeda-beda tersebut, dianggap hal yang biasa saja (Marzani Anwar : 2011).
       Persoalan ketidakpastian jumlah biaya pencatatan perkawinan tersebut, hingga kini masih banyak pasangan yang hidup dalam ikatan perkawinan tanpa memiliki bukti pencatatan dan Surat Nikah. Pengalaman Koalisi Perempuan Indonesia dalam menggali dan mengatasi persoalan pencatatan perkawinan, menunjukkan bahwa banyaknya perkawinan yang tidak tercatat sebagai akibat ketidaktahuan perempuan tentang aturan dan hak-hak yang dimiliki perempuan. Mahalnya biaya pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA) yang mencapai 10 kali lipat dari harga resmi. Akibatnya, hingga kini, jutaan perempuan Indonesia, terutama di pedesaan dan kawasan miskin perkotaan, hidup dalam ikatan perkawinan tanpa surat nikah, dan rentan terhadap berbagai bentuk pelanggaran hak, termasuk pengingkaran hak waris bagi anak yang lahir dalam ikatan perkawinannya itu.
       Kemudian dari para peserta perkawinan massal selama ini di beberapa daerah, diperoleh informasi bahwa mereka tidak mencatatkan perkawinan mereka karena miskin, tidak punya uang. Peserta nikah massal ini cukup banyak jumlahnya, bahkan di Kota Makassar jumlah  peserta terpaksa dibatasi sesuai dengan kemampuan dana yang ada.
       Jadi jumlah biaya pencatatan perkawinan ditentukan oleh berbagai faktor, di samping angka resmi yang ditentukan KUA, adalah angka-angka negosiasi, ada angka imbal jasa, biaya transport, dan lain-lain. Besaran biaya pengurusan perkawinan sebagaimana dikeluarkan oleh suatu keluarga terdahulu, kemudian diikuti oleh keluarga sesudahnya yang selevel dan sama-sama punya rencana menikahkan. Jumlah tersebut seakan menjadi ”tarif resmi ” di lingkungannya.
Peranan Pemerintah dalam Pemenuhan Hak Orang Miskin
       Dalam perspektif HAM, membentuk keluarga melalui pernikahan merupakan hak prerogatif pasangan calon suami dan istri yang sudah dewasa. Kewajiban negara adalah memenuhi, melindungi, mencatatkan dan menerbitkan akte perkawinannya.
        Sebagaimana disinggung di atas, bahwa negara baru mengakui suatu perkawinan sah, apabila  sudah  dicatat di kantor pemerintah yang berwenang (baik Kantor Urusan Agama/KUA untuk yang beragama Islam maupun Kantor Catatan Sipil/KCS untuk yang diluar Islam). Dalam berbagai kasus, suatu perkawinan sah secara yuridis harus dibuktikan melalui buku nikah yang diperoleh dari KUA dan KCS. 
       Kantor Urusan Agama sebagai ujung tombak Kementerian Agama dalam melayani masyarakat di bidang keagamaan  memiliki peran yang sangat krusial. Kantor Urusan Agama (KUA) adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Urusan Agama Islam Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI yang berada di tingkat Kecamatan. KUA  memiliki Tugas Pokok dan Fungsi (tupoksi) melaksanakan sebagian tugas Kantor Kementerian Agama Kota/Kabupaten di bidang urusan agama Islam dan membantu pembangunan pemerintahan umum di bidang agama di tingkat kecamatan.
       KUA berperan sebagai koordinator pelaksanan berbagai kegiatan  yang berkaitan dengan  upaya menciptakan masyarakat yang beriman dan bertakwa, memiliki ketahanan keluarga yang sangat tinggi, terbinanya keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah yang bermoral atau berakhlakul karimah. Meskipun memiliki banyak peran, namun fungsi yang dijalankan KUA  meliputi fungsi administrasi, fungsi pelayanan, fungsi pembinaan dan fungsi penerangan, serta penyuluhan. Di antara fungsi-fungsi ini,  yang paling menonjol  saat ini adalah fungsi administrasi pernikahan. Hal ini sesuai dengan perintah Undang-Undang No.1 tahun 1974 Pasal 2 yang diperkuat dengan Instruksi Presiden No.1 tahun 1991 mengenai Kompilasi Hukum Islam Pasal 5, 6 dan 7. Produk-produk hukum ini ditunjang dengan peraturan-peraturan di tingkat menteri yang menjabarkan dengan rinci hal-hal terkait administrasi perkawinan, yang kesemuanya bermuara pada diperlukannya peran KUA di tingkat kecamatan untuk melakukan administrasi pencatatan perkawinan.
        Selain peraturan di atas, birokrasi pemerintahan yang bertugas memberikan pelayanan publik juga sudah  dibekali dengan  Keputusan Menteri PAN Nomor 81 tahun 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum yang harus dipegang. Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, maka salah satu prinsip  yang harus dipegang adalah   ekonomis.  Artinya, pengenaan biaya atau tarif pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan mempertimbangkan : nilai barang dan jasa pelayanan, ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dan kemampuan masyarakat untuk membayar.
       Sebenarnya dalam  pemenuhan hak warga  miskin untuk mencatatkan perkawinan mereka, pemerintah telah memberikan jaminan. Pemerintah sudah menetapkan biaya pencatatan Perkawinan melalui Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Agama terkait biaya Pencatatan Nikah dan Rujuk, yaitu sebesar Rp. 30.000 per peristiwa nikah. Standar yang dapat terjangkau masyarakat  secara umum. Termasuk memberikan pembebasan biaya pencatatan kepada warga yang miskin.
      Peran KUA di bidang pencatatan perkawinan ini, beberapa tahun belakangan ini mendapat sorotan dari banyak pihak. Hal ini terutama tekait dengan besaran biaya administrasi perkawinan yang harus dibayarkan  para calon pengantin dan jumlahnya variatif antara satu calon pengantin yang satu  dengan  yang lain (Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan dan Demokrasi, Dian Kartika Sari, dalam pernyataan resmi pada Lensa Indonesia.com (LICOM), Kamis 22/12/2011 di Jakarta).
       Terlepas dari besaran biaya riil dan biaya faktual dalam proses pencatatan pernikahan, yang penting  adalah bagaimana KUA memerankan diri sebagai Pusat Pelayanan Publik. Secara teoritis, pelayanan publik adalah bagian dari politik pemerintahan. KUA yang secara  hirarki adalah di bawah Kementerian Agama. Secara liniear berada di bawah Kementerian Agama Kapubapaten atau di bawah Kepala Kanwil Kementerian Agama.
Jenjang organisasi KUA sampai ke Kementerian Agama, cukup panjang untuk sebuah pelayanan publik. KUA dengan sendirinya harus mengikuti kebijakan pemerintah, yang ditetapkan oleh Kementerian Agama, yang turunnya ke KUA juga tidak secara langsung, tetapi melalui mekanisme sesuai dengan eselonisasi di kementerian tersebut.
Sementara Otonomi Daerah yang dimulai sejak masa reformasi, tidak mengikutsertakan Kementerian Agama. Sehingga Pemda merasa tidak perlu memberikan perhatian  yang cukup kepada eksistensi Kemenetrian Agama. Karena  semua program kegiatannya sudah ditentukan  pusat. Pemda tidak berkewajiban memberikan perhatian khusus. Jadi bisa dimengerti apabila kantor-kantor KUA tidak sebaik kantor kecamatan,  kantor kalurahan atau kantor Catatan Sipil.
Namun demikian, Pemerintah Daerah di Indonesia tidak tinggal diam. Banyak Pemerintah Daerah di Indonesia  yang mensosialisasikan Undang-Undang Perkawinan dan  membantu banyak warga miskin melalui “perkawinan massal” untuk mencatatkan perkawinan mereka, sehingga negara mengakui sah perkawinan dan anak yang dilahirkan.
Misalnya, Kota Malang, Jawa Timur,  menikahkan 90 pasangan gelandangan dan pengemis secara massal. Tujuannya adalah identifikasi bagi para warga Malang yang selama ini tidak bisa membuat identitas diri sebagai warga negara Indonesia karena terbentur permasalahan status pernikahan. Jika sudah menikah secara resmi, anak-anak mereka nanti kan bisa punya akta kelahiran. Mereka juga sama dengan warga normal lainnya,( Kompas,com 11/5/2012)
Kota Kupang menikahkan  40 pasangan suami istri secara  massal di Gereja Katolik Asumpta, Kota Kupang, Jumat (13/4/2012). Mereka ini sudah beberapa tahun hidup sebagai suami istri, tetapi belum memiliki ikatan sah. Kebanyakan dari mereka sudah memiliki anak (1-3) orang  (Kompas. Com. 13/4/2012)
Demikian juga Pemerintah Kota Palembang telah menikahkan 50 pasang seacara massal.   Nikah massal  ini  merupakan program tahunan yang diselenggarakan Pemerintah Kota Palembang untuk membantu warga miskin  mendapatkan legalitas dalam pernikahan mereka yang selama ini sebagian hanya menikah secara agama(Kompas.com)
Pemerintah Kota Makassar juga menikahkan sebanyak 404 pasangan Nikah Massal, 383 pasang beragama Islam dan 21 pasangan mempelai dari nonmuslim. Pelaksanaan Nikah Massal ini merupakan kegiatan pertama, sekaligus sebagai rangkaian acara menyemarakkan peringatan Hari Jadi Kota Makassar ke 404 yang jatuh pada 9 Nopember 2011  (Kompas.com 20/11/2011)
        Setelah acara pernikahan massal, mereka benar-benar sudah sah sebagai pasangan suami-isteri dari segi aturan agama maupun persyaratan pemerintahan. Umumnya pasangan mempelai yang mengikuti acara Nikah Massal tersebut, sebelumnya telah menjalani hidup sebagai suami istri. Hanya saja pernikahan yang dilakukan terdahulu tidak tercatat di Kantor KUA bagi pasangan muslim atau tidak tercatat di Kantor Catatan Sipil. Acara pernikahan massal ini tak lebih dari ajang mencari legitimasi sahnya kehidupan suami-isteri yang telah dijalani sebelumnya.
Upaya pemerintah daerah ini banyak membantu warga masyarakat yang belum mencatatkan perkawinan mereka sebagai akibat ketidaktahuan dan ketidakmampuan  membayar biaya pencatatan perkawinan.
Penutup
       Dari uraian tersebut di atas, diketahui ada tiga peranan pemerintah dalam upaya pemenuhan hak asasi manusia,  khususnya pemenuhan hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, yaitu pembentukan hukum, penyebarluasan materi hukum dan pemenuhan atau pelayanan hukum.
       Pemerintah, dalam hal ini KUA, telah merlakukan pencatatan terhadap warga masyarakat yang melangsungkan perkawinan. Biaya pencatatan ini telah ditetapkan pemerintah sebesar Rp.30.000. Di samping itu masih ada biaya tambahan yang jumlahnya bervariasi,  misalnya untuk transport penghulu, hutbah nikah, kerahimanm, dan lain-lain. Namun bagi segolongan warga masyarakat miskin, tidak mampu membayar biaya pencatatan. Akibatnya mereka melangsungkan perkawinan menurut agama atau kepercayaannya, tanpa mencatatatkan ke Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil.
       Terhadap warga masyarakat yang tidak mencatatkan perkawinan mereka karena miskin ,  beberapa pemerintah daerah sudah berinisiatif melakukan kegiatan perkawinan massal. Melalui perkawinan massal ini, negara menganggap sah perkawinan dan anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka. Segala biaya peneylenggaraan dan administrasi pencatatan ditanggung oleh pemerintah daereah.
Kesimpulan dan Saran
        Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sebagai pembentuk hukum, pemerintah  sudah  membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur pemenuhan hak melangsungkan perkawinan. Pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan  meratifikasi International Covenant on Civil and  Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hal Sipil dan Politik melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun  2005. Demikian juga beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam rangka pemenuhan dan perlindungan hak-hak warga miskin dalam melangsungkan perkawinan yang sah.
       Dalam menentukan jumlah biaya administrasi pencatatan  perkawinan bagi warga masyarakat selama ini, KUA mengacu kepada Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2004, sebesar Rp. 30.000,-. Sementara jumlah biaya faktual yang dikeluarkan masyarakat pada saat melakukan pencatatan perkawinan bervariasi, mulai dari Rp. 150.000,- sampai dengan Rp. 1.000.000,-. Ada yang menyatakan bahwa  biaya ini sebagai pengganti biaya transport  penghulu yang harus datang ke rumah calon pengantin dan sebagai jasa profesional kepada penghulu karena harus menikahkan di luar jam kerja.
       Penyebab terjadinya pembengkakan biaya pencatatan administrasi perkawinan yang dikeluarkan masyarakat karena  banyak faktor. Dari pihak masyarakat, terjadi pembengkakan biaya karena  uang kerahiman atau uang tambahan yang telah dibayarkan melalui pihak ketiga dianggap sebagai biaya resmi. Selain itu, budaya masyarakat yang menghendaki pernikahan dilaksanakan di luar KUA dan di luar hari dan jam kerja. Semuia ini menambah jumlah biaya karena harus mengeluarkan uang tambahan untuk transport dan  jasa profesional penghulu. Biasanya keluarga meminta penghulu untuk membawakan khutbah nikah, menjadi wali pengganti bagi mempelai perempuan, dan sebagainya. Juga  masyarakat tidak mengetahui hal ini karena kurangnya sosialisasi dari pihak KUA dan petugas-petugas KUA yang tidak menjelaskan prosedur dan biaya resmi administrasi kepada masyarakat.
       Untuk pemenuhan hak-hak warga masyarakat miskin yang tidak mencatatkan perkawinan mereka karena tidak mampu membayar biaya administrasi, beberapa pemerintah daerah telah melaksanakan kegiatan”perkawinan massal” dengan biaya pendaftaran ditanggung oleh penyelenggara. Dengan perkawinan massal ini seluruh perserta dinikahkan kembali dan dicacatkan di KUA atau Kantor Catatan Sipil, sehingga perkawinan mereka sah menurut hukum masing agama dan  diakui oleh negara.
        Sosialisasi peraturan perundang-undangan tentang  perkawinan pun sudah dilaksanakan oleh KUA, meskipun baru sebatas mengumumkan di papan pengumuman yang ada di depan kantor dan menjelaskan tata cara pendaftaran, jumlah biaya resmi yang wajib dibayar dan biaya-biaya lain di luar biaya resmi kepada warga masyarakat yang datang ke KUA.
Berdasarkan temuan-temuan,  penelaahan literatur,  perundang-undangan perkawinan, dan dan pelayanan publik, maka beberapa saran  dapat disampaikan di bawah ini :
1. Untuk menjadikan KUA lebih berfungsi dalam memberikan pelayanan  pada masyarakat dan menunjang profesionalitas kerja para petugas nikah, alangkah baiknya apabila pemerintah membebaskan calon pengantin dari biaya pencatatan perkawinan dan menaikkan  tunjangan fungsional penghulu. Hal  ini tidak berlebihan,  karena sekarang kemampuan pemerintah semakin  meningkat  dan perhatian pemerintah ditujukan kepada kantor-kantor  kalurahan, dan kantor catatan sipil, sebagai ujung tombak pemerintah di lapisan paling bawah
2. Untuk mendorong kinerja KUA secara profesioanal, perlu meningkatkan prasarana pisik dan menjadikan KUA  tidak sekedar sebagai pelayan keagamaan, tetapi juga sebagai pusat pelayanan publik yang harus mengikuti perkembangan sosial ekonomi. Kesejahteraan pegawai atau aparat KUA perlu lebih diperhatikan dan  disesuaikan dengan beban tugasnya.
3. Untuk membantu  warga masyarakat  miskin yang  sudah menikah tapi belum mencatatkan perkawinan karena tidak mampu membayar biaya administrasi pencatatan, alangkah baiknya pemerintah mengeluarkan kebijakan  untuk meningkatkan program perkawinan massal. Sebab membiarkan hak-hak asasi warga masyarakat miskin dalam melangsungkan perkawinan yang sah, adalah termasuk juga sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ahmad Kosasih,2003, HAM Dalam Perspektif Islam, Salemba Diniyah, Jakarta
A.Mansyhur Effendi dan Taufani Sukmana Evandri, 2005, HAM Dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, dan Politik, Ghalia Indonesia, Bogor
Frans Magnis Suseno, 1994, Etika Politik, Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Ifdhal Kasim (Editor), 2001, Hak Sipil dan Politik, Lembaga Studi dan Advukasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta
Jimly Asshiddiqie, 2003, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta
Marzani Anwar, 2011,  Menyoal Biaya Pencatatan Nikah, Cuplikan Hasil Penelitian di Kodya Bogor, Compasiana.com. 7 Januari 2011
M.Syahbuddin Latief, 1997, Jalan Kemanusiaan, Panduan untuk Memperkuat Hak Asasi Manusia, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta
Ismail Zubir, 2011, Biaya Riil dan Ideal Nikah di  Kantor Urusan Agama (KUA) Provinsi DKI Jakarta, Makalah Hasil Penelitian, Compasiana Sharing Connecting, 1-2- 2011
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 ahun 1974 tentang Perkawinan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar