Pendahuluan
Membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan adalah naluri setiap
manusia yang normal. Pasangan hidup selain tempat penyaluran hasrat biologis,
juga sebagai sebagai wadah untuk mendapatkan ketenangan batin seseorang. Karena
itu, setiap orang berhak memperolehnya. Demikian juga halnya dengan
keinginannya untuk memperoleh keturunan.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM) Tahun 1948 merupakan dasar bagi pelaksanaan hak-hak dan prinsip-prinsip
tentang persamaan, keamanan, integritas dan martabat seluruh pribadi manusia
tanpa diskriminasi, yang intinya adalah hak asasi manusia. Hak Asasi Manusia
mempunyai arti penting bagi harkat dan martabat dalam kehidupan berkeluarga,
berbangsa dan bernegara. Pasal 16 DUHAM menetapkan, laki-laki dan wanita yang
telah dewasa mempunyai hak untuk menikah dan mendirikan rumah tangga. Mereka
mempunyai hak yang sama dalam pernikahan, selama pernikahan masih berlangsung
dan waktu perceraian. Pernikahan dianggap terjadi hanya dengan persetujuan yang
bebas sepenuhnya dari kedua belah pihak calon mempelai. Keluarga adalah unit
kelompok masyarakat yang alami dan asasi serta berhak mendapat perlindungan
dari masyarakat dan negara.
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945
Pasal 28B amandemern kedua UUD 1945 menekankan bahwa setiap orang berhak
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
Terhadap hak ini dalam keadaan apapun atau bagaimanapun, negara tidak dapat
mengurangi arti hak ini.
Ketentuan
tersebut memberikan jaminan
konstitusional terhadap hak asasi
manusia. Hal ini sangat penting dan bahkan merupakan salah satu ciri
pokok suatu negara yang menganut negara hukum. Namun di samping hak asasi
manusia, harus pula dipahami bahwa
setiap orang memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang bersifat asasi. Setiap
orang selama hidupnya, sejak sebelum kehirannmya memiliki hak dan kewajiban
yang hakiki sebagai manusia. Pembetukan negara dan pemerintahan, untuk alasan
apapun, tidak boleh menghilangkan
prinsip hak dan kewajiban yang disandang oleh setiap manusia. Setiap orang
dimanapun ia berada harus dijamin hak-hak dasarnya. Pada saat yang bersamaan, setiap orang dimana
pun ia berada, juga wajib menjunjung tinggi hak assi manusia lain. Keseimbangan
kesadaran akan adanya hak dan kewajiban
asasi ini merupakan ciri penting pandangan dasar bangsa Indonesia mengenai
manusia dan kemanusiaan yang adil dan beradab, (Jimly Asshiddiqie, 2005: 112)).
Ketentuan mengenai hak berkeluarga dan
melanjutkan keturunan ini dipertegas lagi dalam pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi
bahwa setiap orang berhak membentuk
suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan
calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan
perundang-undangan. Kemudian mengenai kewajiban dan tanggung jawab pemerintah,
Pasal 71 menyatakan bahwa pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati,
melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam
undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional
tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.
Ketentuan yang membatasi kehendak bebas
calon suami istri tersebut adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Undang-undang ini memberikan batasan pengertian perkawinan, yaitu ikatan
lahir batin antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk
keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 2 undang-undang ini menyebutkan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk melaksanakan ketentuan pencatatan
tersebut, pemerintah telah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Peraturan pemerintah ini mengatur tentang
pencatatan dan tata cara perkawinan, akta
perkawinan, tata cara perceraian, pembatalan perkawinan, dan lain-lain. Pencatatan
Perkawinan dilaksanakan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Tingkat Kecamatan bagi
calon pengantin yang beragamna Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi calon
pengantin yang beragama bukan Islam.
Kemudian berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 Tentang
Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada
Departemen Agama, pemerintah telah menetapkan biaya pencatatan nikah dan rujuk
yang diterima Kantor Urusan Agama Kecamatan sebesar Rp. 30.000,-. Khusus untuk warga negara yang miskin, peraturan ini
membebaskan biaya pencatatan perkawinan berdasarkan penetapan Menteri Agama
setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan.
Peran KUA di bidang pencatatan
perkawinan beberapa tahun belakangan ini, mendapat sorotan dari banyak pihak.
Hal ini terutama terkait dengan besaran biaya administrasi pencatatan perkawinan
yang harus dibayarkan oleh para calon pengantin, yang jumlahnya variatif antara
calon pengantin yang satu dengan calon pengantin yang lain.
Hasil penelitian
Ismail Zubir di Provinsi DKI Jakarta menyebutkan bahwa sejumlah anggota
masyarakat tidak membayar biaya administrasi sebesar Rp. 30.000,-. tetapi berkisar antara Rp. 150.000 hingga
Rp.1.000.000,-. Sebagian besar dari mereka juga tidak mengetahui jumlah biaya
pencatatan administrasi perkawinan yang sebenarnya dan pihak KUA juga tidak
memberi tahu. Beberapa informan dari anggota masyarakat mengatakan bahwa biaya
yang mereka keluarkan itu hanya sebagian kecil yang dialokasikan untuk
administrasi pencatatan perkawinan dan sebagian besarnya untuk pihak penghulu,
terutama biaya transport. Bahkan, menurut sebagian informan, ada penghulu yang
terang-terangan meminta biaya namun tidak sedikit juga yang mengakui bahwa
mereka memberikan sebagian besar kelebihan uang administrasi perkawinan untuk
pihak penghulu sebagai ucapan terima kasih dan transport (Ismail Zubir : 2011)
Banyak warga masyarakat miskin tidak
mendaftarkan perkawinan mereka, karena tidak mampu membayar biaya administrasi.
Para peserta perkawinan massal yang diadakan beberapa instansi di daerah, diperoleh
informasi bahwa tidak mencatatkan
perkawinan mereka karena miskin, tidak punya uang. Akibatnya, hingga kini, diperkirakan
banyak pasangan suami istri, terutama di pedesaan dan kawasan miskin perkotaan,
hidup dalam ikatan perkawinan tanpa surat nikah, dan rentan terhadap berbagai
bentuk pelanggaran hak, termasuk pengingkaran hak waris bagi anak yang lahir
dalam ikatan perkawinan itu. Lalu masalahnya, apa penyebab biaya tinggi dalam pencatatan perkawinan dan
apa peranan pemerintah dalam memenuhi
hak orang miskin dalam melakukan perkawinan yang sah.
Tatanan Hakum Perkawinan
Hak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan termasuk salah satu hak sipil yang telah diakomodir dalam International Covenan on Civil and Political
Rights (ICCPR). Konvensi ini telah disahkan pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2005, sehingga tanggung jawab
perlindungan dan pemenuhan atas semua hak dan kebebasan yang diatur dalam
kovenan ini adalah merupakan kewajiban negara. Hak-hak yang terhimpun dalam hak
sipil dan politik merupakan hak negatif (negative
rights). Artinya hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan dapat
terpenuhi apabila peran negara terbatasi, terlihat minus.
Hak-hak negatif yang dikandung ICCPR ini
diklassifikasi kepada dua kelompok. Kelompok pertama adalah hak-hak dalam jenis
non-derogable, yaitu hak-hak yang
bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh Negara Pihak,
walaupun dalam keadaan darurat sekalipun. Kelompok kedua adalah hak-hak dalam
jenis derogable yang boleh dikurangi
atau dibatasi pemenuhannya oleh Negara Pihak.Tanggung
jawab perlindungan dan pemenuhan atas hak dan kebebasan yang dijanjikan dalam
kovenan ini adalah dipundak negara. Tanggung jawab negara dalam ICCPR bersifat
mutlak dan harus segera dijalankan (immediately)
karena hak-hak sipil dan politik adalah bersifat justiciable (Ifdhal Kasim, 2001 : XIV). Hak melangsungkan
perkawinan dan melanjutkan keturunan, sebagai hak sipil dan politik tersebut, termasuk dalam kelompok yang boleh dikurangi
atau dibatasi pemenuhannya oleh negara.
Dalam konteks ini, pemerintah Republik Indonesia telah mengundangkan Undang-Undang
No. 39 Tahun 1999 yang menetapkan bahwa
setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah (Pasal 10). Selanjutnya dalam Pasal 8 menegaskan bahwa
negara (dalam hal ini pemerintah) memiliki tanggungjawab menjamin prinsip
kebebasan yang menjadi hak asasi manusia, perlindungan, pemajuan, penegakan,
dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara, terutama
Pemerintah.
Satu-satunya legitimasi dasar
kekuasaan yang sah adalah legitimasi
demokrasi. Berdasarkan keadaan semua anggota masyarakat sebagai manusia dan
warga negara, berdasarkan keyakinan bahwa tidak ada orang atau kelompok orang
yang begitu saja berhak untuk memerintahi orang lain harus dikatakan bahwa
wewenang untuk memerintah masyarakat harus berdasarkan penugasan dan
persetujuan para warga masyarakat sendiri. Keyakinan ini terungkap dalam
istilah “kedaulatan rakyat”. (Magnis Suseno 1994 : 289).
Selain asas demokrasi yang digunakan
kedalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sri Sumantri, juga menggunakan asas
negara hukum yang diimplementasikan ke dalam sistem hukum nasional, salah satu
unsur dari empat unsur penting adanya jaminan terhadap pemenuhan hak asasi
manusia (Bahder Johan Nasution, 2011 : 51)
Salah satu indikator adanya jaminan
perlindungan terhadap hak asasi manusia adalah terlaksananya pemilihan umum
yang demokratis. Artinya pemilihan umum yang dilaksanakan secara langsung,
umum, bebas dan rahasia serta jujur dan adil (Luber dan jurdil). Melalui pemilihan
umum yang demikian akan terpilih anggota DPR dan Presiden yang akan menjamin
pemenuhan dan perlindungan hak asasi warga negara melalui suatu tatanan hukum.
Negara melaksanakan tugasnya dengan
menetapkan suatu tatanan hukum yang menjadi dasar bagi
kebijaksanaan-kebijaksanaan konkrit yang mau diambil.Tatanan hukum membatasi
kelakuan para warga masyarakat. Tetapi hukum tidak diciptakan demi
pembatasan-pembatasan itu sendiri, melainkan demi nilai-nilai yang mau
direalisasikan melalui hukum. Realisasi nilai-nilai itulah yang diharapkan dari
negara. Nilai-nilai dasar hukum itu adalah kesamaan, kebebasan, dan
solidaritas. Tiga prinsip ini hanya mempunyai arti berdasarkan prinsip yang
keempat, yaitu, negara itu harus demi kepentingan masyarakat. Prinsip ini
disebut sebagai prinsip manfaat, artinya eksistensi negara harus bermanfaat
bagi masyarakat. (Magnis Suseno, 1994 : 304)
Melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, pemerintah telah menciptakan suatu kondisi yang memungkinkan
pemenuhan hak-hak setiap orang untuk membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan. Pasal 1 undang-undang ini menetapkan
bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dari definisi perkawinan tersebut,
dikandung beberapa prinsip, antara lain,
(1) perkawinan bertujuan untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami dan istri perlu saling
membantu dan melengkapi. Melihat isi ketentuan ini, maka jelas sekali bahwa
undang-undang ini menjamin kekekalan hidup keluarga yang kuat dan abadi dalam perkawinan, dalam arti suami
dan istri hanya dipisahkan oleh kematian. (2) Perkawinan di Indonesia tidak
hanya bersifat lahiriah, tetapi juga berkaitan erat dengan unsur batiniah dan
keagamaan. Ketiga unsur itu merupakan satu kesatuan yang tidak tergoyahkan dan di atasnya ditegakkan maksud dan tujuan
perkawinan. (3) Di samping itu, tiap-tiap perkawinan harus dicacat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Percatatan tiap-tiap perkawinan
adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan
seseorang yang dinyatakan dalam surat
keterangan, suatu akte resmi. (4) Undang-undang ini mengatur asas monogami. Perkawinan
seorang suami dengan lebih dari seorang, baru dapat dilakukan apabila dipenuhi
berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan pengadilan. (5) Undung-undang ini juga
mengatur prinsip, bahwa calon suami istri itu harus telah masak jiwaraganya, agar supaya
dapat mewujudkan tujuan perkawinan tanpa berakhir pada perceraian serta mendapat keturunan yang baik dan sehat. Berhubungan dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin bagi
pria 19 tahun dan 16 tahun bagi wanita.
(6) Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang
ini menganut prinsip mempersukar perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus
ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan pengadilan. (7) Hak dan kedudukan
istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan
rumah tangga maupun dalam pergaulan
masyarakat, sehingga dengan demikan segala sesuatu dalam rumah tangga dapat
dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.
Pencatatan Perkawinan dan Akibat Hukumnya
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. Kemudian Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa
tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kedua ayat dalam Pasal 2 tersebut, berlaku secara kumulatif. Artinya kedua-duanya
harus diterapkan bagi persyaratan sahnya suatu perkawinan. Hal ini sebagai
konsekwensi dari sistematika produk perundang-undangan di mana
komponen-komponen yang menjadi bagiannya tidak dapat pisahkan satu sama lain.
Seseorang yang melangsungkan perkawinan wajib
mencatatkannya sesuai dengan tata cara
yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Menurut
peraturan pemerintah ini, perkawinan baru dapat dilangsungkan pada hari ke-10
setelah pegawai pencatat nikah mengumumkan kehendak kedua calon pengantin.
Setelah perkawinan berlangsung kedua mempelai
menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan Pegawai Pencatat Perkawinan.
Soal pencatatan perkawinan ini, peran
pemerintah hanya sebatas melakukan pencatatan. Artinya, pemerintah hanya
mengatur aspek administratif perkawinan, sama halnya dengan pencatatan
peristiwa-peristiwa penting lainnya dalam kehidupan seseorang, seperti
kelahiran dan kematian. Semua peristiwa ini dinyatakan dalam surat keterangan
yang dimuat dalam daftar pencatatan atau suatu akte resmi. Bagi mereka yang
melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan
Agama (KUA). Sedang bagi yang beragama non-Islam pencatatan
dilakukan di Kantor Catatan Sipil.
Perkawinan yang sudah dicatat di Kantor Urusan Agama atau Kantor
Catatan Sipil akan membawa akibat hukum, yaitu perkawinan dan anak-anak
yang dilahirkan dalam perkawinan adalah sah. Sebaliknya jika KUA belum
mencatatkan, meskipun suatu perkawinan sudah dilaksanakan menurut agama dan
kepercyaan, perkawinan tersebut dianggap
tidak sah. Demikian juga anak-anak yang dilahirkan sama dengan anak yang lahir
di luar perkawinan. Artinya, anak yang
dilahirkan itu hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya.
Sedangkan dengan ayah biologisnya tidak mempunyai hubungan sama sekali. Ketentuan
ini sudah dikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi RI dalam putusannya pada tanggal
17 Pebruari 2012 yang menyatakan, pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan diubah dan menjadi “anak yang dilahirkan di luar
perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta
dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat
bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata
dengan keluarga ayahnya”. Putusan ini menekankan agar ayah biologis si anak
tidak boleh melepaskan tanggung jawabnya
atas hubungannya yang mengakibatkan anak lahir di luar nikah. Tujuan
putusan itu agar supaya anak mendapatkan hak perdata dan tercatat sebagai warga
negara serta terlindungi dari sebutan “anak haram” yang sarat diskriminasi.
Tentang sahnya perkawinan, sebagian
orang ada yang mengartikan, jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat
dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) atau
pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya (bagi yang
non muslim), maka perkawinan tersebut adalah sah, terutama di mata agama dan
kepercayaan masyarakat. Karena sudah dianggap sah, maka akibatnya banyak
perkawinan yang tidak dicatatkan. Bisa dengan alasan biaya yang mahal, prosedur
berbelit-belit atau untuk menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan
hukuman adiministrasi dari instansi tempat bekerja, terutama perkawinan kedua dan seterusnya. Perkawinan
yang tidak dicatatkan ini dikenal dengan istilah Perkawinan Bawah Tangan (Nikah
Syiri’).
Dilema Biaya Pencatatan Perkawinan
Biaya pencatatan
perkawinan yang dibebankan KUA kepada masyarakat yang melangsungkan perkawinan
selama ini, mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2004 tentang Tarif
atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Agama
terkait biaya Pencatatan Nikah dan Rujuk, yaitu sebesar Rp. 30.000 per
peristiwa nikah. Hampir semua KUA mengumumkan biaya ini di papan pengumuman yang ada di depan kantor. Setiap
orang yang datang ke KUA dan bertanya berapa biaya menikah, pihak KUA
menegaskan kalau biaya pencatatan berdasarkan peraturan sebesar Rp. 30.000,-
Bahkan jika warga masyarakat membawa surat keterangan tidak mampu yang disahkan
oleh pihak RT (Rukun Tetangga) hingga
Kelurahan, calon pengantin dibebaskan
sama sekali dari biaya administrasi Pencatatan Perkawinan.
Hanya saja, banyak masyarakat yang belum
mengetahui besaran biaya ini, sekalipun
sudah banyak KUA yang berusaha menginformasikan. Juga banyak warga masyarakat
yang tidak mengetahui prosedur administrasi pencatatan pernikahan yang ada di
KUA, karena kebiasaan masyarakat yang
selalu meminta pihak ketiga untuk mengurus administrasi pencatatan pernikahan
mereka. Selain itu, memang masyarakat tidak mengetahui ini, karena kurangnya
sosialisasi dari pihak KUA dan petugas-petugas yang tidak menjelaskan prosedur
dan biaya resmi administrasi pencatatan perkawinan kepada masyarakat.
Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, pelaksanaan
pernikahan/perkawinan diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang di
masyarakat lebih dikenal dengan sebutan penghulu. Upacara pernikahan di mana
seorang penghulu menjadi pimpinan, adalah suatu kegiatan yang sangat sakral
dalam pandangan masyarakat Indonesia. Jika seorang Penghulu harus menikahkan
seseorang dengan jarak yang cukup jauh dari kantor meminta biaya tambahan
dengan alasan membutuhkan biaya transportasi adalah hal yang wajar. Tetapi akan
tidak wajar apabila biaya untuk transport itu sendiri tidak terukur, atau tidak
ditetapkan oleh Pemerintah atau Kepala KUA sebagai pemegang kewenangan.
Berkenaan dengan biaya tambahan ini,
pihak KUA sendiri mengakui, mereka menerima biaya tambahan selain biaya
administrasi resmi sebesar Rp.30.000,- Pihak KUA mengatakan, bahwa uang lebih
yang mereka terima dari masyarakat, atau biasa mereka sebut sebagai uang
kerahiman, dipergunakan untuk biaya transport petugas karena harus menikahkan
ke luar KUA dan sebagai uang lelah karena harus menikahkan di luar jam kantor.
Akibat tingginya biaya pencatatan
perkawinan ini, banyak warga masyarakat miskin yang tidak mencatatakan
perkawinannya.
Melihat realitas seperti itu, masyarakat
lapisan bawah sering memilih menikahkan
anaknya di kantor KUA. Pertimbangannya, karena biaya yang dikeluarkan dianggap
lebih ringan, yakni “hanya” Rp. 300.000,-. Jumlah ini sama dengan 10 x lipat
dari jumlah biaya yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp. 30.000,- Sementara
jumlah biaya nikah, yang berkisar Rp. 300.000 s.d. Rp. 1.000.000,- adalah apabila akad nikah dilaksanakan di luar
kantor KUA. Karena ketidaktahuan
masyarakat dan sosialisasi yang minim dari pemerintah, maka jumlah biaya yang
berbeda-beda tersebut, dianggap hal yang biasa saja (Marzani Anwar : 2011).
Persoalan ketidakpastian jumlah biaya
pencatatan perkawinan tersebut, hingga kini masih banyak pasangan yang hidup
dalam ikatan perkawinan tanpa memiliki bukti pencatatan dan Surat Nikah.
Pengalaman Koalisi Perempuan Indonesia dalam menggali dan mengatasi persoalan
pencatatan perkawinan, menunjukkan bahwa banyaknya perkawinan yang tidak
tercatat sebagai akibat ketidaktahuan perempuan tentang aturan dan hak-hak yang
dimiliki perempuan. Mahalnya biaya pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama
(KUA) yang mencapai 10 kali lipat dari harga resmi. Akibatnya, hingga kini,
jutaan perempuan Indonesia, terutama di pedesaan dan kawasan miskin perkotaan,
hidup dalam ikatan perkawinan tanpa surat nikah, dan rentan terhadap berbagai
bentuk pelanggaran hak, termasuk pengingkaran hak waris bagi anak yang lahir
dalam ikatan perkawinannya itu.
Kemudian dari para peserta perkawinan
massal selama ini di beberapa daerah, diperoleh informasi bahwa mereka tidak
mencatatkan perkawinan mereka karena miskin, tidak punya uang. Peserta nikah
massal ini cukup banyak jumlahnya, bahkan di Kota Makassar jumlah peserta terpaksa dibatasi sesuai dengan
kemampuan dana yang ada.
Jadi jumlah biaya pencatatan perkawinan
ditentukan oleh berbagai faktor, di samping angka resmi yang ditentukan KUA, adalah
angka-angka negosiasi, ada angka imbal jasa, biaya transport, dan lain-lain. Besaran
biaya pengurusan perkawinan sebagaimana dikeluarkan oleh suatu keluarga
terdahulu, kemudian diikuti oleh keluarga sesudahnya yang selevel dan sama-sama
punya rencana menikahkan. Jumlah tersebut seakan menjadi ”tarif resmi ” di
lingkungannya.
Peranan Pemerintah dalam Pemenuhan Hak Orang Miskin
Dalam perspektif HAM, membentuk keluarga
melalui pernikahan merupakan hak prerogatif pasangan calon suami dan istri yang
sudah dewasa. Kewajiban negara adalah memenuhi, melindungi, mencatatkan dan
menerbitkan akte perkawinannya.
Sebagaimana disinggung di atas, bahwa
negara baru mengakui suatu perkawinan sah, apabila sudah dicatat
di kantor pemerintah yang berwenang (baik Kantor Urusan Agama/KUA untuk yang
beragama Islam maupun Kantor Catatan Sipil/KCS untuk yang diluar Islam). Dalam
berbagai kasus, suatu perkawinan sah secara yuridis harus dibuktikan melalui
buku nikah yang diperoleh dari KUA dan KCS.
Kantor Urusan Agama sebagai ujung tombak
Kementerian Agama dalam melayani masyarakat di bidang keagamaan memiliki peran yang sangat krusial. Kantor
Urusan Agama (KUA) adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Urusan Agama
Islam Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI yang berada di tingkat Kecamatan.
KUA memiliki Tugas Pokok dan Fungsi (tupoksi)
melaksanakan sebagian tugas Kantor Kementerian Agama Kota/Kabupaten di bidang
urusan agama Islam dan membantu pembangunan pemerintahan umum di bidang agama
di tingkat kecamatan.
KUA berperan sebagai koordinator
pelaksanan berbagai kegiatan yang
berkaitan dengan upaya menciptakan masyarakat
yang beriman dan bertakwa, memiliki ketahanan keluarga yang sangat tinggi,
terbinanya keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah yang bermoral atau berakhlakul
karimah. Meskipun memiliki banyak peran, namun fungsi yang dijalankan KUA meliputi fungsi administrasi, fungsi
pelayanan, fungsi pembinaan dan fungsi penerangan, serta penyuluhan. Di antara
fungsi-fungsi ini, yang paling
menonjol saat ini adalah fungsi
administrasi pernikahan. Hal ini sesuai dengan perintah Undang-Undang No.1
tahun 1974 Pasal 2 yang diperkuat dengan Instruksi Presiden No.1 tahun 1991
mengenai Kompilasi Hukum Islam Pasal 5, 6 dan 7. Produk-produk hukum ini
ditunjang dengan peraturan-peraturan di tingkat menteri yang menjabarkan dengan
rinci hal-hal terkait administrasi perkawinan, yang kesemuanya bermuara pada
diperlukannya peran KUA di tingkat kecamatan untuk melakukan administrasi
pencatatan perkawinan.
Selain peraturan di atas, birokrasi
pemerintahan yang bertugas memberikan pelayanan publik juga sudah dibekali dengan Keputusan Menteri PAN Nomor 81 tahun 1993
tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum yang harus dipegang. Dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat, maka salah satu prinsip yang harus dipegang adalah ekonomis.
Artinya, pengenaan biaya atau tarif pelayanan harus ditetapkan secara
wajar dengan mempertimbangkan : nilai barang dan jasa pelayanan, ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, dan kemampuan masyarakat untuk membayar.
Sebenarnya dalam pemenuhan hak warga miskin untuk mencatatkan perkawinan mereka,
pemerintah telah memberikan jaminan. Pemerintah sudah menetapkan biaya
pencatatan Perkawinan melalui Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2004 tentang
Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen
Agama terkait biaya Pencatatan Nikah dan Rujuk, yaitu sebesar Rp. 30.000 per
peristiwa nikah. Standar yang dapat terjangkau masyarakat secara umum. Termasuk memberikan pembebasan
biaya pencatatan kepada warga yang miskin.
Peran
KUA di bidang pencatatan perkawinan ini, beberapa tahun belakangan ini mendapat
sorotan dari banyak pihak. Hal ini terutama tekait dengan besaran biaya
administrasi perkawinan yang harus dibayarkan para calon pengantin dan jumlahnya variatif
antara satu calon pengantin yang satu
dengan yang lain (Sekjen Koalisi
Perempuan Indonesia Untuk Keadilan dan Demokrasi, Dian Kartika Sari, dalam
pernyataan resmi pada Lensa Indonesia.com (LICOM), Kamis 22/12/2011 di
Jakarta).
Terlepas dari besaran biaya riil dan
biaya faktual dalam proses pencatatan pernikahan, yang penting adalah bagaimana KUA memerankan diri sebagai
Pusat Pelayanan Publik. Secara teoritis, pelayanan publik adalah bagian dari
politik pemerintahan. KUA yang secara
hirarki adalah di bawah Kementerian Agama. Secara liniear berada di
bawah Kementerian Agama Kapubapaten atau di bawah Kepala Kanwil Kementerian
Agama.
Jenjang organisasi
KUA sampai ke Kementerian Agama, cukup panjang untuk sebuah pelayanan publik.
KUA dengan sendirinya harus mengikuti kebijakan pemerintah, yang ditetapkan
oleh Kementerian Agama, yang turunnya ke KUA juga tidak secara langsung, tetapi
melalui mekanisme sesuai dengan eselonisasi di kementerian tersebut.
Sementara
Otonomi Daerah yang dimulai sejak masa reformasi, tidak mengikutsertakan
Kementerian Agama. Sehingga Pemda merasa tidak perlu memberikan perhatian yang cukup kepada eksistensi Kemenetrian Agama.
Karena semua program kegiatannya sudah ditentukan
pusat. Pemda tidak berkewajiban memberikan
perhatian khusus. Jadi bisa dimengerti apabila kantor-kantor KUA tidak sebaik
kantor kecamatan, kantor kalurahan atau
kantor Catatan Sipil.
Namun demikian, Pemerintah
Daerah di Indonesia tidak tinggal diam. Banyak Pemerintah Daerah di
Indonesia yang mensosialisasikan
Undang-Undang Perkawinan dan membantu banyak
warga miskin melalui “perkawinan massal” untuk mencatatkan perkawinan mereka,
sehingga negara mengakui sah perkawinan dan anak yang dilahirkan.
Misalnya, Kota
Malang, Jawa Timur, menikahkan 90 pasangan
gelandangan dan pengemis secara massal.
Tujuannya adalah identifikasi bagi para warga Malang yang selama ini tidak bisa
membuat identitas diri sebagai warga negara Indonesia karena terbentur
permasalahan status pernikahan. Jika sudah menikah secara resmi, anak-anak
mereka nanti kan bisa punya akta kelahiran. Mereka juga sama dengan warga
normal lainnya,( Kompas,com 11/5/2012)
Kota Kupang
menikahkan 40 pasangan suami istri
secara massal di Gereja Katolik Asumpta,
Kota Kupang, Jumat (13/4/2012). Mereka ini sudah beberapa tahun hidup sebagai
suami istri, tetapi belum memiliki ikatan sah. Kebanyakan dari mereka sudah
memiliki anak (1-3) orang (Kompas. Com.
13/4/2012)
Demikian
juga Pemerintah Kota Palembang telah menikahkan 50 pasang seacara massal. Nikah
massal ini merupakan program tahunan yang
diselenggarakan Pemerintah Kota Palembang untuk membantu warga miskin mendapatkan legalitas dalam pernikahan mereka
yang selama ini sebagian hanya menikah secara agama(Kompas.com)
Pemerintah Kota
Makassar juga menikahkan sebanyak 404 pasangan Nikah Massal, 383 pasang
beragama Islam dan 21 pasangan mempelai dari nonmuslim. Pelaksanaan Nikah
Massal ini merupakan kegiatan pertama, sekaligus sebagai rangkaian acara
menyemarakkan peringatan Hari Jadi Kota Makassar ke 404 yang jatuh pada 9
Nopember 2011 (Kompas.com 20/11/2011)
Setelah acara pernikahan massal, mereka
benar-benar sudah sah sebagai pasangan suami-isteri dari segi aturan agama
maupun persyaratan pemerintahan. Umumnya pasangan mempelai yang mengikuti acara
Nikah Massal tersebut, sebelumnya telah menjalani hidup sebagai suami istri.
Hanya saja pernikahan yang dilakukan terdahulu tidak tercatat di Kantor KUA
bagi pasangan muslim atau tidak tercatat di Kantor Catatan Sipil. Acara
pernikahan massal ini tak lebih dari ajang mencari legitimasi sahnya kehidupan
suami-isteri yang telah dijalani sebelumnya.
Upaya pemerintah
daerah ini banyak membantu warga masyarakat yang belum mencatatkan perkawinan
mereka sebagai akibat ketidaktahuan dan ketidakmampuan membayar biaya pencatatan perkawinan.
Penutup
Dari uraian tersebut di atas, diketahui
ada tiga peranan pemerintah dalam upaya pemenuhan hak asasi manusia, khususnya pemenuhan hak berkeluarga dan
melanjutkan keturunan, yaitu pembentukan hukum, penyebarluasan materi hukum dan
pemenuhan atau pelayanan hukum.
Pemerintah, dalam hal ini KUA, telah
merlakukan pencatatan terhadap warga masyarakat yang melangsungkan perkawinan.
Biaya pencatatan ini telah ditetapkan pemerintah sebesar Rp.30.000. Di samping
itu masih ada biaya tambahan yang jumlahnya bervariasi, misalnya untuk transport penghulu, hutbah
nikah, kerahimanm, dan lain-lain. Namun bagi segolongan warga masyarakat
miskin, tidak mampu membayar biaya pencatatan. Akibatnya mereka melangsungkan perkawinan
menurut agama atau kepercayaannya, tanpa mencatatatkan ke Kantor Urusan Agama
atau Kantor Catatan Sipil.
Terhadap warga masyarakat yang tidak
mencatatkan perkawinan mereka karena miskin ,
beberapa pemerintah daerah sudah berinisiatif melakukan kegiatan
perkawinan massal. Melalui perkawinan massal ini, negara menganggap sah
perkawinan dan anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka. Segala biaya peneylenggaraan
dan administrasi pencatatan ditanggung oleh pemerintah daereah.
Kesimpulan
dan Saran
Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa sebagai pembentuk hukum, pemerintah sudah
membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur pemenuhan hak
melangsungkan perkawinan. Pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya, Undang-undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan
meratifikasi International
Covenant on Civil and Political Rights
(Kovenan Internasional Tentang Hak-Hal Sipil dan Politik melalui Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2005. Demikian juga
beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam rangka pemenuhan dan
perlindungan hak-hak warga miskin dalam melangsungkan perkawinan yang sah.
Dalam menentukan jumlah biaya administrasi
pencatatan perkawinan bagi warga masyarakat
selama ini, KUA mengacu kepada Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2004, sebesar
Rp. 30.000,-. Sementara jumlah biaya faktual yang dikeluarkan masyarakat pada
saat melakukan pencatatan perkawinan bervariasi, mulai dari Rp. 150.000,-
sampai dengan Rp. 1.000.000,-. Ada yang menyatakan bahwa biaya ini sebagai pengganti biaya transport penghulu yang harus datang ke rumah calon
pengantin dan sebagai jasa profesional kepada penghulu karena harus menikahkan
di luar jam kerja.
Penyebab terjadinya pembengkakan biaya
pencatatan administrasi perkawinan yang dikeluarkan masyarakat karena banyak faktor.
Dari pihak masyarakat, terjadi pembengkakan biaya karena uang kerahiman atau uang tambahan yang telah
dibayarkan melalui pihak ketiga dianggap sebagai biaya resmi. Selain itu,
budaya masyarakat yang menghendaki pernikahan dilaksanakan di luar KUA dan di
luar hari dan jam kerja. Semuia ini menambah jumlah biaya karena harus
mengeluarkan uang tambahan untuk transport dan jasa profesional penghulu. Biasanya keluarga
meminta penghulu untuk membawakan khutbah nikah, menjadi wali pengganti bagi
mempelai perempuan, dan sebagainya. Juga masyarakat tidak mengetahui hal ini karena
kurangnya sosialisasi dari pihak KUA dan petugas-petugas KUA yang tidak
menjelaskan prosedur dan biaya resmi administrasi kepada masyarakat.
Untuk pemenuhan hak-hak warga masyarakat
miskin yang tidak mencatatkan perkawinan mereka karena tidak mampu membayar
biaya administrasi, beberapa pemerintah daerah telah melaksanakan kegiatan”perkawinan
massal” dengan biaya pendaftaran ditanggung oleh penyelenggara. Dengan
perkawinan massal ini seluruh perserta dinikahkan kembali dan dicacatkan di KUA
atau Kantor Catatan Sipil, sehingga perkawinan mereka sah menurut hukum masing
agama dan diakui oleh negara.
Sosialisasi peraturan
perundang-undangan tentang perkawinan
pun sudah dilaksanakan oleh KUA, meskipun baru sebatas mengumumkan di papan
pengumuman yang ada di depan kantor dan menjelaskan tata cara pendaftaran,
jumlah biaya resmi yang wajib dibayar dan biaya-biaya lain di luar biaya resmi
kepada warga masyarakat yang datang ke KUA.
Berdasarkan
temuan-temuan, penelaahan
literatur, perundang-undangan
perkawinan, dan dan pelayanan publik, maka beberapa saran dapat disampaikan di bawah ini :
1. Untuk
menjadikan KUA lebih berfungsi dalam memberikan pelayanan pada masyarakat dan menunjang profesionalitas
kerja para petugas nikah, alangkah baiknya apabila pemerintah membebaskan calon
pengantin dari biaya pencatatan perkawinan dan menaikkan tunjangan fungsional penghulu. Hal ini tidak berlebihan, karena sekarang kemampuan pemerintah
semakin meningkat dan perhatian pemerintah ditujukan kepada kantor-kantor kalurahan, dan kantor catatan sipil, sebagai
ujung tombak pemerintah di lapisan paling bawah
2. Untuk
mendorong kinerja KUA secara profesioanal, perlu meningkatkan prasarana pisik
dan menjadikan KUA tidak sekedar sebagai
pelayan keagamaan, tetapi juga sebagai pusat pelayanan publik yang harus
mengikuti perkembangan sosial ekonomi. Kesejahteraan pegawai atau aparat KUA perlu
lebih diperhatikan dan disesuaikan
dengan beban tugasnya.
3. Untuk
membantu warga masyarakat miskin yang sudah menikah tapi belum mencatatkan perkawinan
karena tidak mampu membayar biaya administrasi pencatatan, alangkah baiknya pemerintah
mengeluarkan kebijakan untuk
meningkatkan program perkawinan massal. Sebab membiarkan hak-hak asasi warga
masyarakat miskin dalam melangsungkan perkawinan yang sah, adalah termasuk juga
sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ahmad Kosasih,2003, HAM Dalam Perspektif Islam, Salemba Diniyah, Jakarta
A.Mansyhur Effendi dan Taufani Sukmana Evandri,
2005, HAM Dalam Dimensi/Dinamika Yuridis,
Sosial, dan Politik, Ghalia Indonesia, Bogor
Frans Magnis Suseno, 1994, Etika Politik, Prinsip-prinsip
Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Ifdhal Kasim (Editor), 2001, Hak Sipil dan Politik, Lembaga Studi dan Advukasi Masyarakat
(ELSAM), Jakarta
Jimly Asshiddiqie, 2003, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Mahkamah Konstitusi
dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta
Marzani Anwar, 2011,
Menyoal Biaya Pencatatan Nikah,
Cuplikan Hasil Penelitian di Kodya Bogor, Compasiana.com. 7 Januari 2011
M.Syahbuddin Latief, 1997, Jalan Kemanusiaan, Panduan
untuk Memperkuat Hak Asasi Manusia, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta
Ismail Zubir, 2011, Biaya Riil dan Ideal Nikah di
Kantor Urusan Agama (KUA) Provinsi DKI Jakarta, Makalah Hasil Penelitian,
Compasiana Sharing Connecting, 1-2- 2011
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 ahun 1974 tentang Perkawinan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar