Minggu, 01 September 2013

PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DAN RESTORATIVE JUSTICE



Oleh Ajarotni Nasution, S.H.,M.H

 Pendahuluan 

            Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang dimiliki setiap manusia yang dalam konsteks konstitusi memjadi hak dasar setiap warga negara. Negara Republik Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945) menjunjung tinggi sistem hukum dan menjamin kepastian hukum serta perlindungan terhadap hak asasi manusia. UUD 1945 menjamin hak asasi  setiap warga negara dan kepastian hukum. Pasal 28 ayat (1) amandemen menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan, untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
               Konsekwensi logis dari polarisasi negara hukum yang diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, menurut Sri Sumantri Martosoewignjo (1992 : 29), terdapat empat ciri dasar pemerintahan di Indonesia, yaitu : (1) pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau perundang-undangan; (2) adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia; (3) adanya pembagian kekuasaan dalam negara; (4) adanya pengawasan kekuasaan dalam negara.    
              Terkait dengan prinsip pemerintah dalam menjalankan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan hukum, perlu mengemukakan pendapat Muchtar Kusumaatmadja (2002 : 13). Menurut beliau,  hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat. Dilihat dari fungsinya maka pada dasarnya hukum itu bersifat konservatif atau dengan kata lain hukum itu bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah dicapai termasuk dalam membantu proses perubahan yang diinginkan masyarakat itu
             Berdasarkan prinsip dan pendapat di atas, terlihat bahwa  negara pada hakekatnya menjamin perlindungan diri pribadi, keluarga dan masyarakat melalui pembangunan dan pembaharuan hukum yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Artinya dalam pembaharuan hukum, termasuk hukum pidana, harus mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.  
            Untuk mewujudkan tata kehidupan yang menjamin persamaan kedudukan warga negara dalam hukum diperlukan upaya penegakan hukum yang efektif dan seimbang yang tidak hanya memperhatikan hak-hak pelaku tindak pidana, tetapi juga hak-hak korban dan masyarakat dalam suatu proses peradilan pidana  dengan segala perkembangannya.
            Perkembangan ilmu hukum pidana dan sifat pemidanaan telah mengenal pendekatan hubungan pelaku-korban untuk menggantikan pendekatan perbuatan atau pelaku. Dalam kontek penegakaan hak asasi manusia terhadap kejahatan-kejahatan tertentu perlu dikembangkan pendekatan hubungan perbuatan-pelaku dan korban. Bertolak dari pendekatan ini, maka untuk mengetahui ada tidaknya kepastian hukum dan keadilan, khusus dalam penegakan hak asasi manusia, menurut Romli Atmasasmita (2001 : 147), dapat ditentukan melalui formula, (a)       nilai keadilan tidak diperoleh dari tingginya nilai kepastian hukum melainkan dari keseimbangan perlindungan hukum atas korban dan pelaku kejahatan; dan (b)     semakin serius suatu kejahatan, maka semakin besar nilai keadilan yang harus
   dipertahankan lebih dari nilai kepastian hukum.
               Keseimbangan antara kepastian hukum dengan keadilan dan kemanfaatan dalam suatu pemidanaan sangat dipengaruhi oleh proses penyelenggaraan penegakan hukum pidana. Peran penegak hukum dalam menciptakan harmonisasi proses pemeriksaan di pengadilan, bukan hanya memutuskan perkara, melainkan  juga sekaligus berusaha menemukan jalan keluar dari persoalan yang dialami pencari keadilan. Oleh karena itu, putusan pengadilan, selain harus memuat alasan dan dasar-dasar putusan, juga memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
           Belakangan ini muncul berbagai pemikiran baru tentang pemidanaan dan pemasyarakatan, antara lain, mengadakan pranata pidana percobaan, pidana pekerja sosial, pelepasan bersyarat. Anak-anak akan mendapat perlakuan khusus dalam proses penangan perkara pidana, mulai dari penyidikan, penuntutan, penyidangan dan pemasyarakatan. Tetapi semua perkembangan ini lebih ditujukan kepada pelaku  tindak pidana. Atas nama hak asasi manusia, pelaku wajib diperlakukan sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan hak asasi manusia, termasuk penyediaan bantuan hukum. Sementara korban dan keluarga korban kurang atau sama sekali tidak mendapat perhatian. Bagi korban kejahatan, sistem pemidanaan yang berlaku sama sekali tidak memberi perlindungan atas segala penderitaan atau kerugian akibat perbuatan pidana. Korban akan menderita akibat perbuatan pidana, misalnya cacat karena penganiayaan, keluarga yang kehilangan pelindung sumber kehidupan karena suami atau ayah mereka cacat atau terbunuh.
            Hukum acara pidana (KUHAP) yang diundangkan pada tahun 1981 banyak memberikan perlindungan terhadap hak-hak tersangka atau terdakwa sebagai pelaku kejahatan, tetapi kurang mengadopsi hak-hak korban, sehingga penerapan hukum pidana sering menimbulkan reaksi sosial berupa tuntutan keadilan. Sikap  masyarakat semakin keras menghadapi berbagai perbuatan pidana, seperti main hakim sendiri, permintaan hukuman diperberat atau hukuman mati.
         Terhadap korban dan keluarganya, KUHAP memang memberikan kemungkinan untuk mengajukan gugatan perdata atas segala kerugian dan penderitaan yang dialami akibat perbuatan pelaku, akan tetapi prosesnya memakan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit. Juga korban atau keluarganya dapat mengajukan gugatan ganti kerugian  pada saat proses perkara pidananya sedang berlangsung. Penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam proses peradilan pidana ini, hanya terbatas kerugian yang berhubungan langsung dengan perbuatan pidana, seperti biaya pengobatan dan kerusakan barang.
           Dari kenyataan di atas, sistem pemidanaan yang berlaku belum sepenuhnya menjamin keadilan yang terpadu (integrated justice), yaitu keadilan bagi pelaku, keadilan bagi korban dan keadilan bagi keluarga korban serta masyarakat. Salah satu masalah dari banyak masalah yang menjadikan keadilan terpadu ini tetap bermasalah adalah memberlakukan satu proses yang sama bagi semua jenis masalah. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor  yang mendorong konsep restoactive justice.  Banyak pihak yang berpaling untuk mencari alaternatif dalam penyelesaian masalahnya. Sementara persoalan yang dihadapi dalam penegakan hukum di negara kita adalah belum adanya wadah hukum penyelesaian perkara pidana melalui Restorative justice
            Menanggapi persoalan tersebut, Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar (Kompas, 19 Maret 2011), sudah memberikan perhatian dengan menyatakan bahwa persoalan-persoalan hukum yang menimpa rakyat kecil perlu mendapat perhatian penuh dengan menganut falsafah restorative justice. Penyelesaian perkara pidana ringan yang melibatkan anak-anak, manusia lanjut usia (manula) dan kalangan masyarakat miskin akan diupayakan diselesaikan di luar pengadilan. Syaratnya adalah korban sudah memaafkan dan tersangka tidak harus dikirim ke penjara. Selama ini banyak korban sudah memaafkan, tetapi pelaku masih diproses hukum dan dipenjara. Soal ini harus menjadi perhatian bersama antar instansi penegak hukum karena penegakan hukum itu tidak kaku, tetapi memberikan rasa keadilan terhadap semua pihak. Kosep restoraktive justice akan dimatangkan pada tahun 2011 sambil menunggu rancangan undang-undang pidana anak dan rancangan pengganti KUHP sehingga semuanya jelas.
            Terhadap keinginan Menteri Hukum dan MAM tersebut, Ketua Mahkamah Agung, Harifin A.Tumpa, mendukung dan mengingatkan pentingnya pelaksanaan restorarative justice atau keadilan restoratif terutama untuk kasus-kasus kecil. Kasus kecil tidak perlu diajukan hingga ke pengadilan. Aparat kepolisian  dan jaksa sebaiknya mengambil tindakan bijak dalam menyelesaikan perkara semacam itu tanpa mencederai keadilan. Perkara kecil kenapa mesti masuk ke pengadilan. Sementara Wakil Ketua Komisi Yudisial, Imam Anshori Saleh, juga merespons harapan dan keinginan Menteri  Kemenkumham dan Ketua Mahkamah Agung dengan mengatakan bahwa restorative justice akan lebih memberikan rasa keadilan, karena hukum tidak dilaksanakan secara kaku demi kepastian hukum. Sebab Penerapan hukum secara kaku, sering melukai rasa keadilan masyarakat. Karena itulah melaksanakan restorative justice merupakan pilihan bijaksana. Hakim pun tidak menyalahgunakan restorative justice untuk tujuan menyimpang. Harus murni demi keadilan dan kemaslahatan masyarakat. Komisi Yudisial akan memantau pelaksanaannya. Ini penting agar pelaksanakan kebijakan itu tidak menyimpang dari substansinya. Jadi harus benar-benar selektif dan dilaksanakan secara tepat sesuai asas-asas hukum itu sendiri
              Persoalan yang dihadapi adalah  belum adanya wadah hukum penyelesaian perkara pidana melalui Restorative justice. Sistem peradilan pidana di Indonesia lebih menekankan pada penghukuman pelaku dari pada perlindungan korban. Untuk melakukan perubahan sistem Peradilan Pidana dengan memasukkan bentuk penyelesaian perkara melalui restorative justice adalah sesuatu yang mungkin, tetapi akan memakan  waktu yang lama dan biaya yang tinggi, karena peraturan yang mengatur sistem peradilann pidana itu setingkat dengan undang-undang. Sementara pemenuhan keadilan bagi semua pihak merupakan kebutuhan yang sangat mendesak. Langkah-langkah  apa yang perlu dilakukan, sehingga pemenuhan hak atas keadilan melalui restorative justice dapat teriwujud. Untuk menjawab permasalahan tersebut, uraian berikut akan menjelaskan pengertian, karakteristik dan mekanisme  restorative justice serta langkah-langkah yang ditempuh untuk mewujudkannya dalam rangka  pemberian perlindungan terhadap hak asasi manusia.

Perlindungan Hak Asasi Manusia
          Setiap manusia lahir dalam keadaan bebas, sama  hak dan  martabat.  Setiap manusia memiliki akal dan hati nurani, sehingga  sesama manusia harus bertindak dalam semangat persaudaraan (Pasal 1 DUHAM). Hal ini sebenarnya merupakan suatu pernyataan umum tentang martabat dan kebebasan serta persamaan manusia yang menunjukkan nilai normatif konsep hak asasi manusia. Dengan demikian hak asasi manusia dapat diartikan sebagai hak dasar yang dimiliki oleh manusia sejak ia dilahirkan.
         Di Indonesia pengertian Hak Asasi Manusia terdapat dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi, ”Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Hak asasi manusia diartikan  sebagai hak yang melekat pada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang dibawa  sejak lahir ke muka bumi. Hal ini bersifat fitri (kodrati), bukan merupakan pemberian manusia atau negara.
              Prinsip hak atas keadilan adalah setiap korban dan setiap orang berhak atas pengadilan yang adil dan efektif. Kata ”adil” dan ”efektif” mengandung keharusan yang menjamin para pelaku dihukum dan korban mendapatkan ganti rugi. Dalam rangka ini negara wajib melakukan upaya administrasi peradilan yang efektif dan independen bagi setiap pencapaian keadilan. Negara tidak dapat memberikan pengampunan kepada pelaku sebelum korban mendapat hak atas pengadilan yang efektif. Masalah perlindungan HAM dan korban merupakan dua sisi dari satu mata uang yang sama. Kedua-duanya tidak bisa dipisahkan. Jadi masalah perlindungan hak korban pada hakikatnya juga merupakan bagian dari masalah perlindungan HAM
            Selama ini penegakan hak asasi manusia dan keadilan hanya dipandang sebagai penghukuman bagi si pelaku, sementara pemulihan si korban diabaikan. Penegakan HAM tidak akan bermakna bila tidak ada pemulihan yang efektif bagi korban bahkan reparasi (hak korban atas pemulihan) harus dipandang sebagai bentuk hak dasar yang tidak dapat dikurangi  dalam kondisi apapun, termasuk dalam keadaan perang. 
              Hak  ganti rugi korban pada dasarnya merupakan bagian integral dari hak asasi manusia di bidang kesejahteraan/jaminan sosial (social scurity), seperti terlihat misalnya dalam artikel 25 Universal Declaration of Human Rights, yang menyatakan bahwa  setiap orang berhak atas taraf hidup yang menjamin kesehatan dan kesejahteraan untuk dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian, perumahan, dan perawatan kesehatannya serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak  atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda, mencapai usia lanjut atau mengalami kekurangan mata pencaraian yang lain karena keadaan yang berada di luar kekuasaannya.
            Masalah perlindungan hak korban dapat dilihat dari dua makna (Barda Nawawi Arief, 2001 : 56), yaitu  pertama, dapat diartikan sebagai ”perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana” (berarti perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) atau kepentingan hukum seseorang); kedua, dapat diartikan sebagai ”perlindungan untuk memperoleh jaminan/ santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana” (jadi identik dengan ”penyantunan korban”). Bentuk santunan ini dapat berupa pemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan keseimbangan batin (antara lain, dengan pemaafan), pemberian ganti rugi (restitusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan sosial) dan sebagainya.
            Perlindungan hak-hak korban pada hakikatnya merupakan bagian dari perlindungan hak asasi manusia. Sementara  dalam sistem peradilan pidana di Indonesia kurang melindungi hak-hak korban tindak pidana bila dibandingkan dengan hak-hak tersangka. Dalam KUHAP tidak ada kecendrungan untuk terpusat kepada korban,  tidak mengenal adanya proses lain kecuali pemidanaan berdasarkan pertimbangan fakta materil yang ada. Oleh sebab itu, wajar apabila hakim cendrung memperbandingkan fakta materil di persidangan dengan ketentuan pidananya. Cara pikir undang-undang ini masih menggunakan pola konvensional yang berpandangan bahwa korban dianggap telah dilindungi apabila pelaku tindak pidana dijatuhi hukuman pidana.
             Dengan demikian sistem Peradilan Pidana di Indonesia mempunyai beberapa kelemahan, antara lain, (1) menyamaratakan semua cara pemeriksaan, sedangkan masih terdapat perkara yang antara korban dengan pelaku sudah berdamai pada waktu tingkat penyidikan; (2) lebih menekankan pada penghukuman pelaku dari pada perlindungan korban yang semestinya akibat dari kejahatan si pelaku; (3) terlalu legalistik dan mengenyampingkan prinsip social justice dan kemanfaatan pemidanaan.
           Secara garis besar, Sistem Peradilan Pidana Indonesia diawali dengan peran kepolisian, selanjutnya dibawa ke kejaksaan dan pelimpahan perkara ke pengadilan untuk pembuktian yang diakhiri dengan putusan pengadilan. Di sini KUHAP tidak meberikan kewenangan kepada penyidik, penuntut umum dan hakim untuk melakukan negosiasi dengan pelaku tindak pidana guna mempercepat proses. Sehingga perkara yang sudah berdamai, selalu berakhir di penjara jika terbukti bersalah, tanpa melihat korban. Jadi KUHAP tidak mengenal  restorative justice  melalui negosiasi atau musyawarah.
            Kejahatan HAM dan kejahatan lain yang mengakibatkan penderitaan korban dan atau keluarganya serta masyarakat berkepentingan banyak terjadi di Indonesia. Menghadapi masalah ini dituntut penggalian pendalaman ilmu, pengasahan kecerdasan moral serta naluri keadilan. Dalam arti penegak hukum bertanggung jawab untuk menegakkan restorative justice agar hukum mengayomi korban dan/atau keluarganya, masyarakat stakeholder terpulihkan dari luka (bathin)  dan pelaku kejahatan disadarkan atas pebuatannya dan meminta maaf kepada korban dan atau keluarganya sehingga dapat meredakan rasa bersalah. Dengan restorative justice kehidupan dan penghidupan korban dan/atau keluarganya, masyarakat stakeholder dan pelaku menjadi pulih kembali melakukan tugas dan kewajibannya. Sejatinya menegakkan hukum mengemban misi luhur menjaga dan menegakkan martabat kemanusiaan.

   Pengertian dan Tujuan  Restorative Justice

            Secara harfiah, restorative justice dapat diartikan sebagai pemulihan keadilan bagi korban dan pelaku tindak pidana. Pengertian ini berkembang setelah dimasukkan dalam sistem peradilan pidana, sehingga pengertiannya menjadi proses penyelesaian yang sistematis atas tindak pidana yang menekankan pada pemulihan atas kerugian korban dan atau masyarakat sebagai akibat perbuatan pelaku. Dalam proses penyelesaian ini melibatkan  korban dan pelaku secara langsung dan aktif. Menurut Artidjo Alkostar,
   (2002 : 8). Restorative justice adalah metode pemulihan yang melibatkan pelaku kejahatan, korban dan komunitasnya di dalam proses pemidanaan dengan memberi kesempatan kepada pelaku untuk menyadari kesalahannya dan bertobat sehingga pelaku dapat kembali ke dalam kehidupan komunitasnya kembali
            Proses peradilan pidana  bersifat restorative justice berpandangan bahwa mewujudkan keadilan bukan hanya urusan pemerintah dan pelaku kejahatan, tetapi lebih dari itu harus memberikan keadilan secara totalitas yang tidak bisa mengabaikan kepentingan dan hak-hak korban dan masyarakat.  Jadi inti restorative justice lebih menekankan pada upaya pemulihan dan bukan pada penghukuman. Sistem pemidanaan yang berlaku sekarang kurang sekali memperhatikan kepentingan korban
          Dari rumusan pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa tujuan  Restorative justice adalah untuk mewujudkan pemulihan kondisi korban kejahatan, pelaku dan masyarakat berkepentingan (stakeholder) melalui proses penyelesaian perkara yang tidak hanya berfokus pada mengadili dan menghukum pelaku. Tujuan restorative justice adalah memperbaiki kerusakan, memulihkan kualitas hubungan, dan memfasilitasi reintegrasi para pihak yang terlibat dan terkait.  Praktik retorative justice menekankan kepada para pelaku dan korban, sehingga penyelesaiannya tidak sekedar berhenti pada penghukuman pelaku, tetapi pencapaian kedewasaan para pihak terkait untuk memperkuat kualitas hubungan untuk kurun waktu yang lebih panjang (Hadi Supeno, 2010 : 196).
          Melalui restorative justice akan dapat melihat hak dan kepentingan masa depan korban kejahatan selaku manusia yang mandiri. Apalagi kalau korban berstatus kepala keluarga yang mempunyai tanggungan keluarga. Restorative justice memberikan perhatian terhadap kepentingan korban, dengan penekanan pemulihan kerugian aset, derita pisik, keamanan, harkat dan kepuasan atau rasa keadilan. Bagi pelaku dan masyarakat, restorative justice memberi kesempatan meraih kembali rasa hormat masyarakat. Pelaku tidak mengulangi lagi perbuatannya dan masyarakat pun menerimanya. Dengan model restorative justice, pelaku tidak perlu masuk penjara kalau kepentingan dan kerugian korban  sudah direstorasi.
            Berbeda dengan proses peradilan pidana konvensional telalu menyederhanakan masalah hak, martabat dan kepentingan korban serta masyarakat terkait. Dalam proses peradilan pidana konvensional, kalau penegak hukum sudah menangani suatu kasus, seolah-olah korban sudah menyerahkan nasibnya kepada penegak hukum. Padahal kalau hakim menghukum pelaku kejahatan dengan pidana penjara atau denda, kepentingan korban sama sekali tidak terpenuhi. Hukuman denda yang dijatuhkan  kepada pelaku masuk ke kas negara dan hak-hak korban terabaikan.    
    
   Karakteristik Restorative Justice

            Berdasarkan pengertian dan tujuan restorative justice beserta uraiannya dapat diketahui beberapa prinsip dan karakteristik yang dikandungnya. Secara konsepsional, Bagir Manan (2008 : 7) menyebutkan bahwa  restorative justice mengandung beberapa prinsip, antara lain: Pertama, membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban dan kelompok masyarakat  menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban dan masyarakat   sebagai ”stakeholders” yang bekerja bersama dan langsung menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak (win-win solution). Kedua, mendorong pelaku bertanggung jawab terhadap korban atas peristiwa atau tindak pidana yang telah menimbulkan cedera, atau kerugian terhadap korban. Ketiga, menempatkan peristiwa atau tindak pidana tidak terutama sebagai suatu bentuk pelanggaran hukum, melainkan sebagai pelanggaran oleh seseorang (sekelompok orang) terhadap seseorang (kelompok orang). Karena itu sudah semestinya pelaku diarahkan pada pertanggunjawaban terhadap korban, bukan mengutamakan pertanggungjawaban hukum. Keempat, mendorong menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana dengan cara-cara yang lebih informal dan personal, dari pada penyelesaian dengan cara-cara beracara yang formal (kaku)  dan impersonal.
           Secara lebih rinci Muladi (Setyo Utomo, 2010 : 9) menyatakan bahwa restorative justice mempunyai beberapa  karakteristik, yaitu : (a) kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain dan diakui sebagai konflik; (b) titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggung jawaban dan kewajiban pada masa depan; (c) sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi; (d) restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama; (e) keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil; (f) sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial; (g) masyarakat merupakan fasilitator dalam proses restoratif; (h) peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggung hawab; (i) pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu mem , sosial dan ekonomis; dan (k) stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.               
              Dengan mengacu kepada beberapa prinsipdan karakteristik tersebut, ditemukan empat nilai utama restorative justice (Ridwan Syahrani, 2010 : 125), yaitu, (1) Encounter (bertemu satu sama lain), menciptakan kesempatan kepada pihak-pihak yang terlibat dan memiliki niat dalam melakukan pertemuan untuk membahas masalah yang telah terjadi dan pasca kejadian; (2) amends (perbaikan), dimana sangat diperlukan pelaku mengambil langkah dalam memperbaiki kerugian yang terjadi akibat perbuatannya; (3) reintegration (bergabung kembali dalam masyarakat), yaitu mencari langkah pemulihan para pihak secara keseluruhan untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat; (4) inclution (terbuka), dimana memberikan kesempatan kepada semua pihak yang terkait untuk berpartisipasi dalam penangannya.

   Mekanisme Restorative Justice

          Restorative justice memberi pemeran utama kepada pelaku, korban, keluarga dan orang lain yang mempunyai hubungan erat dengan mereka untuk memutuskan substansi yang mereka sepakati. Pelaksanaannya harus benar-benar sesuai dengan prinsip-prinsip restorative justice, seperti membangun tanggung jawab pelaku atas perbuatannya yang menimbulkan kerugian terhadap orang lain. Mengenai forum yang dipergunakan dapat beraneka ragam, sesuai dengan tingkat pemeriksaan perkara, upaya melaksanakan restorative justice dapat dilakukan dalam lingkungan penyidikan, penuntutan dan pengadilan dan forum-forum di luar tiga lingkungan jabatan tersebut.
            Mekanisme konsep restorative Justice, menurut Bagir Manan, (2006 :  3),  paling tidak ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, momentum, yaitu saat sebelum memasuki proses peradilan atau sebagai bagian dari proses peradilan. Di sini ada dua momentum, yaitu sebelum dan sesudah proses peradilan berjalan. Sebelum proses  peradilan adalah ketika perkara tersebut masih di tangan kepolisian atau kejaksanaan. Baik atas inisiatif kepolisian atau kejaksanaan, seseorang atau sekelompok masyarakat, dilakukan upaya penyelesaian perkara pidana tersebut dengan cara-cara atau prinsip restorative justice. Hal serupa pada saat perkara dilimpahkan ke pengadilan. Hakim, misalnya, dapat menganjurkan penyelesaian menurut cara-cara atau prinsip restorative justice. Bahkan ada kemungkinan di tengah proses peradilan dapat ditempuh cara-cara penyelesaian menurut prinsip restorative justice. Kedua, forum yang dipergunakan. Apabila dilihat dari posisi terdakwa dan korban, maka restorative justice tidak lain dari suatu bentuk mediasi yang bertujuan untuk mencapai wi-win solution seperti dalam perkara keperdataan
           Restorative justice dapat dilaksanakan secara langsung sebelum atau sesudah  tindak pidana masuk dalam proses sistem peradilan pidana. Kasus pidana yang belum masuk ke dalam sistem penegakan hukum pidana dilakukan dengan cara diskresi (kebijaksanaan). Sedangkan kasus pidana yang sudah masuk ke dalam sistem penegakan hukum pidana dilakukan dengan cara pihak aparat mengambil tindakan mengalihkan kasus pidana yang terjadi ke proses informal (diversi).   Prosesnya dapat dilakukan dengan beberapa cara tergantung situasi dan kondisi yang ada dan bahkan ada yang mengkombinasikan satu mekanisme dengan yang lain. Adapun mekanisme yang umum diterapkan dalam restorative justice adalah mediasi antara korban dan pelaku
          Penyelesaian melalui restorative justice diwujudkan melalui mediasi antara pihak-pihak terkait, masyarakat Indonesia mengenalnya dengan sebutan ”musyawarah untuk mufakat”. Musyawarah merupakan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia.. Melakukan musyawararah dalam rangka menyelesaikan sengketa sudah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia. Berkaitan dengan itu, ada baiknya musyawarah dapat dimasukkan ke dalam sistem Peradilan Pidana di  Indonesia.
           Pada umumnya, menurut Artidjo Alkostar, (Kompas, 4 April 2011), prinsip dasar restorative justice yang lewat mediasi menemukan beberapa prasyarat terjadinya restorative justice, misalnya dalam kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan seksual, yaitu (1) korban kejahatan harus menyetujui; (2) kekerasan harus dihentikan; (3) pelaku kejahatan harus mengambil tanggung jawab; (4) hanya pelaku kejahatan yang harus dipersalahkan, bukan pada korban; (5) proses mediasi hanya dapat berlangsung dengan persetujuan korban. Dari prasyarat mediasi tersebut terlihat bahwa martabat kemanusiaan korban kejahatan harus menjadi prioritas. Mediasi melibatkan proses spritual untuk memulihkan dan membangkitkan rasa percaya diri korban. Urgensi dari mediasi menuju restorative justice merupakan upaya mencapai proses penyelesaian perkara yang berkualifikasi win-win solution.

    Praktek Restorative Justice di Indonesia

             Di Indonesia banyak hukum adat  yang bisa menjadi restorative justice, namun negara belum mengakui keberadaannya dan melakukan kodifikasi ke dalam hukum nasional. Hukum adat bisa menyelesaikan konflik yang muncul di masyarakat dan memberikan  kepuasan kepada pihak yang berkonflik. Penyelesaian peristiwa pidana dalam masyarakat hukum adat tidak begitu berbeda dengan cara-cara penyelesaian sengketa keperdataan.
              Ada dua aspek pendekatan penyelesaian peristiwa pidana dalam hukum adat yaitu aspek megis dan material. Aspek megis bertalian dengan upaya mengembalikan keseimbangan megis yang terganggu akibat peristiwa pidana yang diselenggarakan melalui upacara-upacara tertentu seperti menyediakan sesajen dan pengorbanan hewan sebagai tebusan. Aspek material berkaitan dengan upaya merukunkan kembali hubungan antara pelaku dan korban dengan melakukan sesuatu, seperti penyataan bersalah, permohonan maaf, memberi konpensasi atau denda tertentu. Sanksi yang agak ekstrim adalah pengusiran pelanggar dari lingkungan masyarakat hukum yang bersangkutan.  Praktek ini tidak lain dari restorative justice  yang telah menjadi tradisi masyarakat hukum adat kita.            
              Praktek perdamaian yang memberikan perhatian terhadap kepentingan korban sering kali kita jumpai dalam peristiwa pidana, termasuk di kota-kota. Misalnya, seorang pelaku yang menabrak orang lain yang menimbulkan cedera atau kematian, tidak jarang sertamerta memberikan perhatian terhadap korban (keluarga korban). Cara-cara tersebut dilakukan dengan mengambil tanggung jawab pengobatan, memberikan uang duka, meminta maaf, dll. Ketika masa HIR, perdamaian atau cara-cara penyelesaian hukum adat ini wajib dipertimbangkan hakim apabila perkara itu berlanjut ke pengadilan.. Putusan hakim perdamaian menurut hukum adat dapat dikukuhkan oleh pengadilan sehingga tidak diperlukan lagi proses peradilan.
              Menurut hukum adat yang melakukan perdamaian adalah ketua adat, kepala kaum atau kepala kerabat. Dalam praktek sekarang, perdamaian dilakukan oleh atau di hadapan kepolisian atau pejabat pemerintah lainnya. Praktek seperti ini tidak bertentangan dengan tujuan dan fungsi hukum untuk memulihkan ketenteraman dan memelihara perdamaian dalam masyarakat. Sebagai konsekwensi hukum upaya perdamaian semacam ini adalah menutup perkara. Artinya doktrin yang mengatakan bahwa sifat pidana tidak akan hapus karena adanya perdamaian, mestinya dihapus. Dapat saja sifat pidana tidak hapus, tetapi perdamaian menghilangkan atau menghapuskan hak menuntut (memperkarakan). Perdamaian untuk suatu perbuatan pidana dapat disebut ”abolisi sosial” seperti abolisi yang ada pada Presiden, lazim dimasukan sebagai sebagai hak proregatif (Bagir Manan, 2006 :. 7)
           Hambatan dalam pelaksanaan perdamaian sering muncul  dari sikap penegak hukum  yang sangat formalistis dengan mengatakan proses hukum tetap dijalankan walaupun sudah ada perdamaian. Sifat melawan hukum tidak akan hapus karena perdamaian. Sebaiknya pertimbangan legalistik ini dihaluskan, yaitu dilihat dari tujuan pemidanaan. Apakah masih ada tujuan pemidanaan yang belum tercapai, apabila pihak-pihak telah berdamai satu sama lain. Tujuan penegakan hukum bukan menerapkan hukum, melainkan mencapai ketertiban, kedamaian, ketenteraman dalam tatanan masyarakat yang harmonis dan adil. Karena itu seyogiyanya penegak hukum benar-benar memperhatikan langkah-langkah sosial yang ditempuh dalam menyelesaikan suatu pelanggaran hukum.
             Sekalipun Indonesia tidak mengenal restorative justice dalam sistem Peradilan Pidana, namun dalam praktek banyak perkara pidana diselesaikan melalui mekanisme restorative justice atas inisiatif penegak hukum. Dengan demikian dalam kenyataan restorative justice sebenarnya dapat dijalankan dalam sistem Peradilan Pidana. Salah satu contoh, Polres Kendal, Jawa Tengah, telah berhasil mendamaikan seorang remaja laki-laki dengan seorang gadis. Kasus  posisinya, seorang remaja laki-laki mengirim MMS (multimedia messaging service) berisi gambar adegan ciuman antara sang gadis dan dirinya ketika mereka berpacaran dan mengancam akan menyebarkan gambar itu jika sang gadis memutuskan hubungan mereka. Laki-laki ini telah disangka melakukan perbuatan yang dilarang Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yakni Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1), (3) dan (4). Ancaman hukumannya maksimal 6 tahun. Sang laki-laki, di depan kedua orangtuanya sendiri, berlutut meminta maaf kepada  sang gadis berikut kedua orangtua sang gadis. Sang laki-laki,  meminta maaf karena sudah menyakiti si gadis dan berjanji tidak mengulangi lagi perbuatannya. Jika mengulangi perbuatannya akan siap diperjara. Akhirnya sang gadis dan kedua orangtuanya pun memaafkan laki-laki itu. ”Dia masih muda dan punya masa depan. Kalau dipenjara, jadi apa nanti,” ujar ayah sang gadis. Malam itu kedua pihak sepakat berdamai. Pertemuan diakhiri dengan jabat tangan kedua pihak. Sang gadis mengaku lega masalah selesai dengan baik. Selain kasus ini, Polres Kendal juga menerapkan  model seperti ini dalam kasus-kasus ringan, seperti kasus penganiayaan, KDRT, perkara anak, dll . Kasus-kasus seperti itu diselesaikan melalui proses musyawarah antara pihak yang berperkara dan melibatkan tokoh masyarakat sebagai mediator. (Kompas : 17 April 2011).
            Menurut Kapolda Jateng, Inspektur Edward Aritonang, penyelesaian alternatif tersebut sudah menjadi program unggulan yang diterapkan sejak ahun 2011. Dengan model ini, penyelesaian perkara  tidak perlu berakhir di pengadilan. Penyelsaian perkara ini diberlakukan dengan ketat untuk menghindari kebingungan di masyarakat karena khawatir tidak ada kepastian dan terjadi penyalahgunaan. Selain inisiatif penyelesaian sengketa harus datang dari kedua pihak yang bersengketa, sengketa yang akan diselesaikan harus bersifat ringan dan kepentingan para korban terakomodasi secara setara serta tidak ada yang dirugikan. Penyelesaian sengketa dianjurkan menggunakan model perdamaian secara adat atau kebiasaan di daerah yang bersangkutan. Dengan cara yang demikian diharapkan polisi akan semakin dekat dengan masyarakat. Ini meringankan pekerjaan polisi, jaksa dan hakim serta mengurangi penuh sesaknya Lembaga Pemasyarakatan. (Kompas : 17-4-2011).
             Lalu, sejauh mana restorative justice dapat dijalankan untuk perkara-perkara besar, seperti menghilangkan nyawa orang lain, korupsi, pelanggaran HAM berat, atau kejahatan-kejahatan besar lainnya. Mengenai menghilangkan nyawa dalam arti menyebabkan mati, baik karena sengaja maupun  karena kelalaian dimungkinkan untuk diselesaikan melalui restorative justice. Contohnya, kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi  di Jakarta Pusat tanggal 19 Maret 2007 oleh seorang supir angkutan umum yang menewaskan 2 (dua) orang korban dapat diselesaikan dengan cara damai. Pelaku menyantuni keluarga korban dengan sejumlah uang sebagai modal dagang isteri korban. Polisi melakukan cara ini dengan pertimbangan bahwa tindak pidana ini terjadi karena kelalaian yang diancam hukuman tidak lebih dari 5 (lima) tahun,  kondisi ekonomi  pelaku dan korban tidak menguntungkan, penyelesaian melalui proses peradilan pidana akan lebih menyengsarakan kedua belah pihak dan keluarga korban pun telah memaafkan pelaku. Demikian juga hasil penelitian Balitbang HAM tahun 2006 menemukan bahwa kebanyakan kasus kekerasan dalam rumah tangga diselesaikan secara damai atas prakarsa polisi sebagai mediator. Upaya perdamaian ini  atas pemohonan suami atau isteri korban  agar  penyidik tidak meneruskan  perkaranya ke pengadilan, karena ingin mempertahankan rumah tangga.(Eva Achjani Zulfa : http//evtente. blogspot.com(p)restorative-juntice. indonesia).
             Ketua Mahkamah Agung, Harifin A. Tumpa, (Kompas, 19 Maret 2011), pernah menyarankan penyelesaian perkara kecil tidak perlu sampai ke pengadilan. Aparat polisi dan jaksa agar mengambil tindakan yang bijak dalam menyelesaikan perkara, tanpa mencederai keadilan. Beliau bahkan pernah mendamaikan, ketika  menangani perkara kepala sekolah yang menggelembungkan upah buruh dari Rp.4.000,- menjadi Rp. 70.000,- sehingga terkumpul Rp.2,5 juta.  Restorative justice, sudah digunakan Mahkamah Agung, beliau sendiri sudah pernah memutus kasus sengketa uang antara mertua dan menantu yang sampai ke tingkat kasasi.
           Dalam konteks ini, menurut Bagir Manan (2006 : 6), perlu diperhatikan salah satu asas peradilan agama Islam yang menyebutkan, ”adililah dengan adil, tapi kalau memaafkan akan lebih baik bagimu”. Asas ini telah menyelamatkan TKW  Indonesia yang terlibat dalam pembunuhan di Arab Saudi terlepas dari hukuman mati, karena keluarga korban memberi maaf. Kebijaksanaan rekonsiliasi yang dijalankan Afrika Selatan meenyelesaikan pelanggaran HAM Berat akibat apartheid pada dasarnya dapat dimasukkan sebagai suatu bentuk restorative justice. Hal serupa mestinya dapat juga dijalankan di Indonesia. Bukan saja dorongan praktis, tetapi juga atas dasar prinsip-prinsip hukum adat dan sikap keberagamaan masyarakat sangat membuka peluang melaksanakan restorative justice terhadap pelanggaran HAM Berat yang pernah ada.
            Terhadap kasus korupsi, di Indonesia pernah ada kebijakan membebaskan tersangka korupsi yang telah melunasi semua uang negara yang mereka gunakan secara melawan hukum dalam batas waktu yang telah ditentukan (release and dischange). Kebijakan ini mendapat kecaman keras dari masyarakat,  atas nama keadilan beberapa orang menuntut agar hakim mengadili dan menjatuhkan hukuman yang berat. Menurut Artidjo Alkostar (Kompas, 4 April 2011), dari standar umum restorative justice, terhadap kejahatan korupsi tidak mungkin dilakukan mediasi penal karena korban kejahatan korupsi menyebar dalam kehidupan rakyat banyak yang hak-hak ekonominya dirampas oleh koruptor.
             Penilaian ini nampaknya berorientasi kepada para koruptor yang milyaran atau triliwunan rupiah. Rasa keadilan masyarakat sangat terusik jika hakim  membebaskan para pelaku yang menyelewengkan uang negara. Para penentang lupa begitu banyak korupsi dengan skala kecil, bahkan sangat kecil, misalnya Rp.10.000.000,- ke bawah, atau agak besar sampai Rp.25.000.000,- Sebenarnya kalau mendasarkan pada pemikiran untuk kepentingan rakyat, mungkin pengembalian uang secara cepat lebih bermanfaat jika dibandingkan dengan menghukum para pelaku melalui proses   peradilan.
            Meskipun praktek-praktek tersebut  sesuai dengan karakteristik dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam restorative justice, namun hal ini  adalah kenyataan yang perlu dicarikan mekanisme hukum sebagai landasannya. Terlepas dari kekurangan dan kelebihan penyelesaian perkara pidana di luar sistem peradilan pidana, restorative justice telah menjadi kebutuhan masyarakat

   Perubahan Sistem Peradilan Pidana

          Untuk memperoleh  kepastian hukum dan perlindungan hak asasi manusia, maka  hukum pun harus mengalami perubahan bentuk dan isi sesuai dengan perkembangan masyarakat. Dalam konteks pembaharuan hukum, hukum pun dapat melakukan perubahan-perubahan dalam hukum itu sendiri. Hal ini sesuai dengan fungsi hukum yang selain memelihara hasil yang telah dicapai, juga dapat mengakomodir segala kebutuhan yang  ada dalam masyarakat.   Salah satu aplikasi adanya pembaharuan hukum adalah dengan menggunakan pendekatan restorative justice.
             Untuk menentukan model rertorative justice yang tepat dalam sistem peradilan pidana di Indonesia,  dapat mengadopsi teori hukum pembangunan dari Muchtar Kusumaatmaatmadja, yaitu ketertiban dan ketenteraman dalam rangka pembaharuan atau pembangunan hukum merupakan sesuatu yang  dipandang mutlak adanya. Hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang dapat berfungsi sebagai alat pengatur atau sarana pembangunan dalam menetukan arah kegiatan manusia  ke arah pembaharuan. Pandangan ini muncul ketika terdapat asumsi bahwa hukum tidak dapat berperan atau menghambat perubahan masyarakat. Sedangkan dalam  kenyataan di dalam masyarakat Indonesia telah terjadi perubahan pemikiran ke arah hukum modern.
           Secara empiris, korban dan pelaku tindak pidana tertentu masih menganggap penyelesaian perkara di dalam sistem peradilan pidana belum dapat memberikan keadilan. Sedangkan tujuan hukum  seharusnya mencapai keadilan yang didasarkan atas kebutuhan  masyarakat. Dengan demikian, sudah seharusnya, hukum itu melakukan pembaharuan sesuai dengan tuntutan masyarakat. Hukum yang diharapkan berfungsi sebagai ”sarana pembaharuan masyarakat” atau ”sarana pembangunan”. Meskipun  dituntut untuk menjadi sarana pembaharuan, akan tetapi tidak secara serta merta hukum dapat melakukan hal tersebut. Diperlukan keaktifan dan kinerja pembuat hukum untuk menerapkan pembaharuan tersebut ke dalam hukum positif Indonesia.
              Sesuai dengan teori pembangunan hukum tersebut, perlu mengembangkan dan melihat aplikasi di dalam perkara tertentu dengan menggunakan pendekatan restorative jusitce, bahwa hukum sebagai sarana pembangunan masyarakat tersebut dapat diubah dengan menanamkan paham pemulihan keadilan ke dalam sistemnya. Meskipun KUHAP maupun sistem peradilan pidana di Indonesia tidak menganut sistem musyawarah di dalam prosesnya, tetapi demi tercapainya tujuan hukum itu sendiri, lebih baik melakukan modifikasi bentuk penyelesaian perkara dengan menggunakan mekanisme restotarative justice dalam sistem peradilan pidana Indonesia   
              Model restorative justice yang akan dianut nampaknya para penegak hukum harus mengarahkan adanya proses musyawarah terlebih dahulu, tanpa menunggu ada atau tidak adanya keinginan bermusyawarah dari pelaku. Artinya kewenangan para penegak hukum di dalam sistem peradilan pidana mendukung berlakunya model ini. Sistem peradilan pidana Indonesia mengenal pihak-pihak yang terkait secara langsung di dalam sistem tersebut, yaitu penyidik, penuntut umum, hakim, korban dan pelaku tindak pidana.
           Sistem Peradilan Pidana di Indonesia yang dituangkan dalam KUHAP diawali dengan adanya proses penyelidikan dan penyidikan setelah terjadi tindak pidana. Berdasarkan KUHAP, kewenangan penyelidik dan penyidik pada intinya adalah mencari keterangan dan bukti atas terjadinya tindak pidana. Di dalam proses penyelidikan dan penyidikan ini, penegak hukum tidak diberikan kewenangan untuk bertindak sebagai mediator/fasilitator, meskipun dalam kenyataan telah banyak dilakukan musyawarah perdamaian antara pelaku dan kerban yang difasilitasi oleh penyidik di dalam perkara pidana tertentu. Tahap selanjutnya adalah pembuatan tuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Di dalam kewenangan Penuntut Umum pun, tidak ditemukan kewenangan untuk bertindak selaku mediator ataupun sebagai fasilitator dalam suatu mediasi antara pelaku dan korbannya.
             Berbeda dengan penyidik dan penuntut umum, hakim mempunyai keistimewaan karena memiliki kewenangan untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara dengan irah-irah ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”  Kewenangan ini menentukan hasil akhir dari suatu perkara, yang dapat memberikan jalan kepada terjadinya musyawarah antara korban dan pelaku tindak pidana. Dalam gugatan perkara perdata ada kemungkinan melakukan mediasi  pada awal proses peradilan berdasarkan Peraturan Mahakamah Agung (PERMA) Nomor 1 tahun 2008 yang dalam salah satu konsideran menimbangnya menyebutkan bahwa :   Sambil menunggu peraturan perundang-undangan dan memperhatikan kewenangan Mahkamah Agung  dalam mengatur tata cara peradilan  yang belum cukup diatur oleh peraturan perundang-undangan, maka demi kepastian, ketertiban, dan kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak untuk menyelesaikan suatu sengketa perdata, dipandang perlu menetapkan suatu Peraturan Mahkamah Agung”
            Melihat gambaran di atas, untuk melakukan perubahan   pada KUHAP guna melakukan perubahan bentuk penyelesaian perkara dengan menggunakan model restorative justuce dalam sistem Peradilan Pidana Indonesia adalah hal yang  memungkinkan, tetapi membutuhkan waktu lama dan biaya tinggi, mengingat struktur KUHAP setara dengan undang-undang. Sedangkan pencapaian   keadilan bagi semua pihak merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditunggu-tunggu lagi.
            Secara historis KUHAP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari HIR, yang berarti sebelum KUHAP berlaku prosedur beracara baik dalam perkara pidana maupun perdata menggunakan HIR. Berarti ada satu cara yang dapat ditempuh untuk membuat Peraturan Mahkamah Agung menganai mediasi dalam sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya PERMA yang dibelakukan ke dalam sistem Peradilan Perdata di Indonesia berdasarkan HIR dan RBg yang memuat dorongan para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensipkan dengan cara mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di pengadilan negeri.

  Penutup
             Perlindungan hak-hak korban pada hakikatnya merupakan bagian dari perlindungan hak asasi manusia (HAM). Masalah perlindungan HAM dan korban merupakan dua sisi dari satu mata uang yang sama. Kedua-duanya tidak bisa dipisahkan. Jadi masalah perlindungan hak korban pada hakikatnya juga merupakan bagian dari masalah perlindungan HAM. Penegakan HAM tidak akan bermakna bila tidak ada pemulihan yang efektif bagi korban bahkan reparasi (hak korban atas pemulihan) harus dipandang sebagai bentuk hak dasar yang tidak dapat dikurangi  dalam kondisi apapun, termasuk dalam keadaan perang.  Hak korban akan ganti rugi juga pada dasarnya merupakan bagian integral dari HAM di bidang kesejahteraan/jaminan sosial (social scurity). Sementara  dalam sistem peradilan pidana di Indonesia kurang melindungi hak-hak korban tindak pidana bila dibandingkan dengan hak-hak tersangka.
              Pluralitas komponen bangsa dan kesenjangan sosial-ekonomi rakyat menuntut adanya penegakan hukum protektif bagi kelompok rentan. Restorative justice akan menjadi elemen yang akan menghilangkan kesenjangan keadilan yang diderita kelompok rentan, seperti anak-anak, perempuan, dan ekonomi lemah yang berurusan dengan penegakan hukum. Negara hukum yang otentik adalah negara yang rakyatnya memiliki keyakinan kolektif bahwa mereka akan diperlakukan secara adil oleh kedaulatan hukum. Oleh karena itu sebaiknya penyelesaian perkara pidana kecil, KDRT dan anak-anak dilakukan dengan menggunakan pendekatan restorative justice.   
            Racangan undang-undang tentang perubahan KUHP dan KUHAP yang telah disiapkan oleh pemerintah perlu  mengadopsi keberadaan restorative justice. Hal ini agar proses penegakan hukum di negara kita tidak tersendat, karena kurang cepat mengadopsi instrumen-instrumen hukum negara  modern dan kurang peduli terhadap nilai-nilai kearifan lokal yang ternyata telah ada yang memberlakukan.  Agar korban juga diberi peluang untuk memperoleh ganti rugi. Mengenai besaran ganti kerugian kepada korban perlu dirumuskan sebagaimana dalam pidana denda dan bukan semata-mata diserahkan kepada hakim.
                Melakukan perubahan KUHP dan  KUHAP guna memasukkan restorative justuce dalam sistem Peradilan Pidana di Indonesia kemungkinan akan memakan waktu lama dan biaya tinggi, mengingat struktur KUHAP setara dengan undang-undang. Sementara pencapaian   keadilan bagi semua pihak merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Oleh karena itu apabila tidak memungkinkan melakukan perubahan peraturan perundang-undangan dengan cepat, maka perlu dibuat terlebih dahulu sebuah PERMA yang mengatur mediasi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Cara lain, perlu kemauan aparat penegak hukum menggunakan restorative justice secara langsung sebelum atau sesudah  tindak pidana masuk dalam proses sistem peradilan pidana. Kasus pidana yang belum masuk ke dalam sistem penegakan hukum pidana dilakukan dengan cara diskresi (kebijaksanaan). Sedangkan kasus pidana yang sudah masuk ke dalam sistem penegakan hukum pidana dilakukan dengan cara mengambil tindakan mengalihkan kasus pidana yang terjadi ke proses informal













DAFTAR PUSTAKA

Artidjo Alkostar, 2007, Restorative Justice, Jakarta : dalam Majalah Hukum Varia
               Peradilan Nomor 262 September 2007
----------, 2011, Keadilan Restoratif, Jakarta : dalam Opini Harian Kompas 4             
               April 2011

Bagir Manan, 2006, Restorative Justice (Suatu Perkenalan), Jakarta : dalam Majalah
               Hukum Varia Peradilan Nomor 247 Juni 2006
----------, 2006, Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta : dalam
                Majalah Hukum Varia Peradilan Nomor 248 Juli 2006

Barda Nawawi Arief, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan    Hukum
               Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta :  Kencana Predana Media
               Group
----------, 2010, Kebijakan Hukum Pidana (Bunga Rampai) : Perkembangan  
               Penyusunan  Konsep KUHP Baru), Jakarta, Kencana Prenada Media Group

Hadi Supeno, 2010, Kriminalisasi Anak : Tawaran Gagasan Radikal  Peradilan Anak
              Tanpa Pemidanaan, Jakrta: Kompas Gramedia

Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia : Pengembangan Konsep Diversi
              dan Restorative Justice, Bandung : Refika Aditama

   Muchtar Kusumaatmadja, 2002,  Konsep-konsep hukum Dalam pembangunan,
                 Bandung   ; Alumni 

            Muladi (Editor), 2005, Hak Asasi Manusia : Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam  
                         Perspektif Hukum dan Masyarakat, Bandung, Rafika Aditama

Ridwan Mansyur, 2010, Mediasi Penal Terhadap Perkara KDRT (Kekerasan Dalam
              Rumah Tangga), Jakarta : Yayasan Gema Yustisia  Indonesia

Romli Atmasasmita, 2001, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan
              Hukum, Bandung : Mandar Maju

Setyo Utomo, 2010, Sistem Pemidanaan Dalam Hukum yang Berbasis Restorative
              Justice, Jakarta : Pusren BPHN Kemenkumham

Sri Sumantrri Martosuwignjo, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia,
               Bandung : Alumni.

Kompas, 19 Maret 2011; 4 April 2011 ; 17 April 2011