Oleh Ajarotni Nasution
A. Pendahuluan
Kedudukan dan peranan Pegawai Negeri Sipil (PNS), sangat
penting dan menentukan dalam setiap kegiatan pemerintahan. PNS sebagai abdi negara,
abdi masyarakat, pelaksana pemerintahan dituntut untuk menyelenggarakan
pembangunan dalam mencapai tujuan nasional.
Peranan PNS yang begitu besar perlu memperoleh pembinaan.
Pada masa Demokrasi Liberal, PNS kurang mendapat perhatian. Karena saat itu ada
permainan politik yang tidak wajar dari partai politik/golongan tertentu,
sehingga menimbulkan kekacauan di bidang
kepegawaian. Akibatnya, sering terjadi di antara pegawai yang satu kantor,
tetapi tidak satu partai/golongan, terdapat suasana saling curiga mencurigai,
saling mencari kesalahan dan sulit menciptakan suasana kerja sama. Pada hal
kerja sama merupakan salah satu unsur penting dalam suatu organisasi. Banyak
perkerjaan terlantar dan menimbulkan ketidakpuasan masyarakat. Akibat
selanjutnya, timbul hierarki disiplin dan loyalitas ganda, yaitu di satu pihak
ia harus tunduk kerpada atasannya, di lain pihak ia harus tunduk pula kepada
pimpinan partai politik. PNS dalam kondisi apapun sebenarnya tetap melaksanakan
tugas, kewajiban dan peranannya.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, banyak PNS yang ikut menjadi
pemain dalam politik. Sebagai reaksi terhadap permainan politik dan untuk
memulihkan kekompakan PNS sebagai aparatur pemerintahan dan pembangunan,
Presiden mengeluarkan Perpres Nomor 2 Tahun 1959 tentang Larangan Keanggotaan
Partai Politik Bagi Pejabat Negara Warga Negara Republik Indonesia. Perpres
tersebut dikeluarkan dengan maksud selain untuk membatasi kebebasan berserikat
PNS, juga agar PNS tidak berlarut-larut dalam permainan politik. Perkembangannya
kemudian menjadi lain, PNS makin terpecah belah.
Selain itu, Perpres tersebut juga bermaksud untuk memulihkan
kekompakan PNS sebagai aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat dalam
melaksanakan pemerintahan dan pembangunan. Pemerintah beranggapan bahwa
ketidakstabilan pada masa Demokrasi Liberal, karena penerapan sistem
pemerintahan parlementer yang diikuti oleh sistem multi partai, juga PNS yang
seharusnya sebagai aparatur pemerintah, justru menjadi politikus atau ikut
bermain politik. Puncak krisis politik pada era Demokrasi Terpimpin adalah
terjadinya gerakan G30S/PKI yang hendak merobohkan NKRI. Adanya gerakan
ini memberikan pengalaman pahit yang
akhirnya dapat diketahui di antara yang
terlibat ada PNS.
Sejak berakhirnya
gerakan G 30 S/PKI, Orde Baru mulai menyusun suatu tatanan yang bertekad untuk
mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 secarta murni dan konsekwen. Orde Baru akan
mengadakan penataan lembaga-lembaga negara yang dikembalikan kepada fungsi
semula sesuai dengan UUD 1945.
Melihat kondisi tersebut, Orde Baru memandang perlu mengambil
langkah-langkah guna menciptakan keutuhan dan kekompakan PNS. Orde Baru juga
menyadari dengan melarang PNS untuk berpoliti, berarti hak-hak PNS dibatasi.
Sehubungan dengan itu, Orde Baru berusaha untuk menyatupadukan PNS dan
memperjuangkan hak PNS untuk berserikat dalam partai politik.
Gagasan untuk mempersatuan PNS sudah dimulai sejak
pembentukan KORPRI berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 82 Tahun 1970. Tindak lanjut kebijakan untuk keberhasilan
KORPRI, pemerintah mengeluarkan Kepres Nomor 63 Tahun 1999 dengan maksud mempersatukan PNS untuk kembali ke peranan semula, yaitu sebagai aparatur
pemerintah, abdi masyarakat dan abdi negara
Pada masa Orde Baru, dukungan
KORPRI terhadap pemerintahan sangat
besar. Ini tidak dapat dipungkiri, tetapi pemberian dukungan ini menimbul ekses
kecemburuan dalam kehidupan partai
politik. Ekses ini terjadi karena
dukungan KORPRI terhadap Golkar. Dengan dukungan KORPRI, Golkar selalu
menjadi partai pemenang dalam setiap
pemilihan umum.
Bersamaan dengan semangat reformasi, kedudukan PNS dikembalikan kepada keadaan
semula, yaitu tidak lagi menjadi mesin permainan politik. Keanggotaan PNS dalam partai politik akhirnya diatur
tersendiri dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1999 yang kemudian diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2004 tentang Larangan PNS Menjadi
Anggota Partai Politik. Peraturan pemerintah ini dikeluarkan dengan maksud agar PNS bersikap netral dalam partai
politik.
Dari uraian latar belakang di atas, dapat diketahui bahwa pemerintah pernah memberikan kebebasan
kepada PNS menjadi anggota partai politik pada masa Demokrasi Liberal, pernah
juga melarang tetapi dalam realitas PNS tetap ikut bermain politik pada masa
Demokrasi Terpimpin, pernah juga PNS hanya mendukung salah satu kekuatan
politik pada masa Orde Baru, dan pada era reformasi PNS benar-benar bersikap
netral dalam partai politik. Melihat realitas tersebut, persoalannya
adalah apakah sikap netral PNS dalam
keanggotaan dan kepengurusan partai politik di Indonesia tidak bertentangan
dengan hak asasi manusia.
B. Keanggotaan Partai
Politik dan Hak Asasi Manusia
Kebebasan untuk berserikat dan berkumpul merupakan hak asasi manusia. Kebebasan
bersertikat, biasanya dalam bentuk organisasi. Untuk dapat berperan aktif dalam
pemerintahan salah satunya melalui organisasi. Jadi organisasi merupakan
realisasi kebebasan berserikat dan
berkumpul bagi warga negara. Kebebasan berorganisasi itu merupakan alat untuk melakukan kegiatan bagi warga negara
dalam mencapai tujuan.
Secara universal jaminan terhadap kebebasan berserikat dan
berkumpul diatur dalam pasal 20 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
yang menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan
berpendapat; tidak seorang jua pun dapat dipaksakan memasuki salah satu
perkumpulan. Kebebasan berserikat dan berkumpul merupakan hak asasi manusia
(HAM) yang bersifat universal.
Pengertian hak konstitusional dengan hak-hak hukum warga negara harus dibedakan. Hak
konstitusional adalah hak yang dijamin di dalam dan oleh UUD, sedangkan hak-hak
hukum timbul berdasarkan jaminan undang-undang dan peraturan perundang-undangan
di bawahnya. Setelah ketentuan HAM diadopsi dengan lengkap dalam UUD 1945,
pengertian tentang HAM dan hak asasi warga negara dapat dikaitkan dengan
pengertian “constitutional rigths” yang dijamin dalam UUD 1945. Selain itu,
setiap warga Negara Indonesia juga memilki hak-hak hukum yang lebih rinci dan
operasional yang diatur dengan undang-undang atau peraturan lain yang lebih
rendah. Hak-hak yang lahir dari peraturan di luar UUD disebut hak-hak hukum
(legal rights), bukan hak konstitusional (constitutional rights) (Jumly
Asshiddiqqie, 2009 : hal 432)
Kebebasan berserikat dan berkumpul sudah diadopsi dengan
lengkap dalam UUD 1945, maka secara resmi telah menjadi hak konstitusional
warga negara Indonesia. Pasal 28 UUD 1945
menetapkan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang. Atas dasar itu, maka pengaturan yang berpotensi menerobos atau
bahkan melanggar hak asasi manusia, temasuk mengenai organisasi partai politik,
haruslah dilakukan melalui sebuah proses demokrasi, yaitu dalam berupa
undang-undang yang dibentuk bersama oleh DPR dengan Presiden.
Menurut Philipus M.Hadjon, ide negara hukum (rechtstaat)
cendrung ke arah positvisme hukum, yang membawa konsekwensi bahwa hukum harus
dibentuk secara sadar oleh badan pembentuk undang-undang. Pembentukan
undang-undang pada dasarnya dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan pemerintah
secara tegas dan jelas. Pada sisi lain, pembentukan undang-undang dimaksudkan
untuk melindungi hak-hak dasar. Di samping itu, usaha pembatasan hak-hak dasar
ternyata juga dengan menggunakan instrumen undang-undang. Karena instrunmen
utama di dalam negara hukum adalah undang-undang (dalam Sri Hartini : 2008 ,
hal 65).
Dasar hukum adanya kebebasan berserikat, khususnya organisasi
partai politik, adalah Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, yang kemudian
diubah menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985. Kemudian pada masa reformasi
diatur di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, yang
mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011.
Rumusan pengertian partai politik, menurut Pasal 1
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, adalah organisasi yang bersifat nasional dan
dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar
kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan
politik anggota masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945. Dengan
demikian organisasi partai politik
menjadi sarana untuk menyalurkan pendapat dan pikiran bagi warga negara. Warga
negara Indonesia dapat berperan aktif dalam memantapkan persatuan dan kesatuan
bangsa. Organisasi politik pun diharapkan dapat memberikan pendidikan sehingga
para aggota dan pengurusnya ikut secara sadar berperan aktif dalam mewujudkan
pembangunan nasional.
Keanggotaan dan kepengrusunan merupakan syarat mutlak untuk
berdirinya suatu organisasi partai politik.
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik
menetapkan bahwa partai politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 30
orang warga negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 tahun atau sudah
menikah dari setiap provinsi dengan menyertakan 30% (tiga puluh perseratus)
keterwakilan perempuan dalam kepengurusan tingkat pusat, tingkat provinsi dan
kabupaten/kota. Dengan demikian organisasi politik merupakan sarana untuk
menyalurkan pendapat dan pikiran bagi warga masyarakat. Setiap warga Negara
sangat berperan dalam meningkatkan keikutsertaan secara aktif dalam rangka
memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta menjamin keberhasilan
pembangunan . Sejalan dengan dengan usaha ini setiap warga negara berkesempatan
untuk ikut berperan dalam organisasi partai politik yang dipilihnya.
Selanjutnya, Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011
menetapkan bahwa warga negara Republik Indonesia dapat menjadi anggota partai
politik apabila sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah menikah.
Status keanggotaan bersifat sukarela, tidak diskriminatif dan terbuka bagi
setiap warga negara Indonesia yang meyetujui AD dan ART partai politik yang
bersangkutan. Anggota mempunyai hak dalam menentukan kebijakan serta hak
memilih dan dipilih. Sementara kewajibannya adalah mematuhi dan melaksanakan AD dan ART serta
berpartisipasi dalam kegiatan partai politik yang bersangkutan.
Berdasarkan kriteria keanggotaan partai politik tersebut,
setiap warga negara dapat menjadi anggota dan pengurus organisasi partai
politik. Hal ini berarti Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang juga sebagai bagian
dari warga negara, dapat menjadi anggota atau pengurus partai politik. Banyak
kalangan yang menginginkan agar PNS tidak diikutsertakan di dalam partai
politik. Keinginan agar PNS bersikap netral dalam organisasi partai politik
adalah wajar, karena pengalaman semasa Orde Baru, PNS melalui KORPRI, diarahkan
menjadi pendukung atau mesin politik Golongan Karya (Golkar).
Pada masa Orde Baru terdapat berbagai permasalahan dalam
pelaksanaan sistem pemerintahan. Salah satunya adalah pola pikir dalam struktur
pemerintahan yang menitik beratkan pemegang kekuasaan ada di tangan birokrasi
pemerintah, sehingga rakyat, sebagai unsur utama demokrasi, tidak bisa
melakukan pengawasan. Penguasa Orde Baru menyalahgunakan kekuasaan untuk
menguasai struktur birokrasi.dengan konsep monoloyalitas. Semua PNS memihak dan
memperkuat sistem sentralisasi pemerintahan.
Konsep monoloyalitas ternyata berdampak negatif terhadap
penataan dan pembinaan kepegawaian. Dengan menjadi anggota KOPRI, tidak ada
pilihan lain, PNS hanya memihak kepada kepentingan golongan politik yang
memerintah. Kemampuan PNS semakin berkurang dari yang diharapkan dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Mutu pelayanan kepada masyarakat
menurun, PNS kurang professional, pengisian jabatan sering tidak berdasarkan kemampuan yang diperlukan. Masih banyak lagi
permasalahan akibat penerapan sistem monoloyalitas pada masa Orde Baru.
Untuk mengantisipasi, agar pengalaman masa Orde Baru tidak
terulang, pemerintah pada era reformasi, berupaya untuk memprioritaskan
terwujudnya sistem pemerintahan yang demokratis, bersih, dan berwibawa.
Keterpurukan ekonomi Indonesia pada saat itu, menjadi awal timbulnya kesadaran
untuk menata kembali sistem pemrintahan. Salah satunya adalah mewujudkan tata
pemerintahan yang baik dan demokratis. Untuk ini perlu perhatian khusus untuk
mereformasi penataan PNS.
C. Netralitas
Pegawai Negeri Sipil dan Partai Politik
UUD 1945 amandemen, telah memberikan dasar-dasar
penyelenggaraan negara dan penataan kehidupan berbangsa yang demokratis. Hal
itu tercermin dalam Pasal 1 ayat (2) UUD
1945, yang menyatakan bahwa kedaulatan
adalah di tangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-Undang Dasar.
Kemudian penegasan Indonesia sebagai negara hukum terdapat dalam Pasal 1 ayat
(3) yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Prinsip dasar
negara hukum yang demokratis itu diwujudkan dalam bentuk pengakuan dan jaminan
terhadap hak asasi manusia yang esensial dalam proses demokrasi, pengaturan
mekanisme pemilihan wakil rakyat dan jabatan-jabatan publik sebagai perwujudan
kedaulatan rakyat, serta penataan lembaga-lembaga negara berdasarkan prinsip
chack and blancd (Jimly Asshiddiqie : 2008, hal 377).
Adanya kebebasan dalam sistem politik, merupakan konsekwensi
pengakuan hukum atau konstitusi atas hak asasi manusia dalam kehidupan
kenegaraan. Kebebasan mengeluarkan pendapat dan pikiran merupakan indikasi
bahwa suatu negara menjalankan demokrasi. Setiap negara yang mengaku sebagai
negara hukum yang demokratis harus memasukkan aspek peranserta aktif rakyat
dalam konstitusinya yang dilandasi persamaan dan kebebasan. Kemerdekaan ini dapat dilakukan melalui kebebasan untuk
berserikat atau berkumpul, yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Dengan
demikian setiap warga negara dijamin untuk berserikat dan berkumpul, salah
satunya melalui partai politik.
Pada era Orde Baru, ketentuan yang mengatur PNS berkaitan
dengan partai politik adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 tentang Partai
Politik dan Golongan Karya. Dalam pasal 8 ayat (2) menetapkan bahwa (a) PNS dapat menjadi anggota Partai Politik
dan Golongan Karya dengan sepengetahuan pejabat yang berwenang; (b) PNS yang
memegang jabatan-jabatan tertentu tidak dapat menjadi anggota Partai Politik dan Golongan Karya, kecuali dengan izin
tertulis dari pejabat yang berwenang. Ketentuan pasal 8 asyat (2) ini, secara normatrif memberikan kebebasan kepada
PNS untuk menjadi anggota Partai Politik dan Golongan Karya, namun secara
realistis izin tersebut menjadi permasalahan hukum tersendiri. Pemberian
izin pada masa Orde Baru sering
disalahgunakan oleh pejabat yang berwenang. Izin digunaka sebagai alasan
penolakan dengan alasan mengganggu pelaksanaan tugas.
Pada masa reformasi, hal yang berkaitan dengan PNS dalam
partai politik pun menjadi hangat dibicarakan, akhirnya timbullah kebijakan
tentang netralitas PNS. Kabinet reformasi pemerintahan BJ Habibie berupaya akan
melakukan reformasi di segala bidang. Dalam rangka reformasi di bidang politik,
pemerintah ingin mewujudkan kehidupan politik yang lebih demokratis dan
menciptakan pemerintahan yang baik, berwibawa dan bersih, termasuk meninjau
kembali kedudukan PNS dalam organisasi
partai politik.
Adanya keinginan mereformasi PNS dalam partai politik, karena
PNS sebagai tulang punggung bangsa. PNS seharusnya tidak menjadi kekuatan
politik suatu partai, tetapi melayani dan mengayomi masyarakat. Pemerintahan
Orde Baru menjadikan PNS sebagai alat politik dan kekuatan politik Golkar.
Apabila PNS menjadi pedukung satu kekuatan politik, maka dapat dipastikan dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya tidak akan nertal. Keinginan untuk menjadikan
PNS bersikap netral dalam keanggotaan dan kepengurusan partai politik adalah
wajar. Mengingat selama Orde Baru berkuasa, KORPRI selalu menjadi mesin politik
Golkar dan sebagian besar keanggotaan KORPRI adalah PNS
Berdasarkan kenyataan tersebut, memang sebaiknya PNS itu
besikap netral dalam partai politik. Netralitas PNS pada saat ini sangat
diperlukan. Hal ini seperti yang dinyatakan Mahfud MD : Salah satu persoalan
besar bangsa ini dalam kehidupan bernegara adalah persoalan netralitas PNS
karena secara teoritis sulit ditemukan landasan teoritis yang dapat memberikan
alasan pembenar bagi dimungkinkannya PNS
terlibat dalam kegiatan politik (Sri Hartini : 2008 : 79).
Pada era reformasi, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang 43
Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dan Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 2004 2004 tentang Larangan Pegawai Negeri Sipil menjadi Anggota Partai
Politik,yang menetapkan bahwa Pegawai Negeri. Dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa
Pegawai Negeri termasuk PNS sebagai unsur aparatur negara harus netral dari
pengaruh semua golongan dan partai politik, tidak diskriminatif dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat, dan dilarang menjadi anggota dan/atau
pengurus partai politik. Pegawai Negeri yang menjadi anggota dan/atau pengurus
partai politik harus diberhentikan sebagai Pegawai Negeri, baik dengan hormat
atau tidak dengan hormat.
D. Penutup
Dampak keikutsertaan PNS dalam keanggotaan dan/atau
kepengurusan partai politik, pada masa Orde Lama berdampak pada stabilitas
kepegawaian, karena jatuh bangunnya kabinet;
selama priode pemerintahan Orde Baru PNS dijadikan alat politik untuk
mempertahankan kekuasaan; terakhir pada era pemerintahan reformasi, mengharuskan
PNS bersikap nertal dalam partai politik,
karena ditakutkan PNS dijadikan sebagai alat politik.
Pada masa reformasi, pemerintah mengharuskan bersikap netral
dari semua golongan dan partai politik. .Keharusan bersikap netral bagi PNS ini
berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun
1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Dalam Pasal 3 menetapkan (1) Pegawai
Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk
memberikan pelayanan pada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata
dalam penyelenggaraan tugas negara dan pembangunan; (2) dalam kedudukan dan dalam menjalankan
tugasnya, pegawai negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai
politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat;
(3) pegawai negeri dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.
Jadi, sepanjang sifatnya sementara dan tetap mempunyai hak politik untuk memilih, dan
dipilih dalam pemilihan umum, netralitas PNS dari semua partai politik memang
diperlukan untuk menyelesaian konflik yang terjadi pada masa Orde Lama dan Orde
Baru. Kebijakan pemerintah era reformasi yang menghilangkan hak PNS menjadi
anggota partai politik, tidak
bertentangan dengan hak asasi manusia, karena pengaturan pemberian netralitas
tersebut, sudah dilakukan melalui sebuah proses demokrasi, yaitu dalam
undang-undang yang dibentuk bersama oleh DPR dengan Presiden.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Jimly Asshiddiqie, 2008, Menuju Negara Hukum yang Demokratis,
P.T. Buana Ilmu Populer, Jakarta
---------2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,
Konstitusi Press, Jakarta.
Mahfud MD, 1999, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia,
Gema Media, Yogyakarta
Sigit Pamungkas, 2011, Partai Politik Teori dan Praktek di
Indonesia, Institute for Democracy and Welfarism, Yogyakarta.
Sri Hartini, 2008, Hukum Kepegawaian di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta.
------------2009, Penegakan Hukum Nertalitas Pegaewai Negeri
Sipil (PNS), Jurnal Dinamika Hukum
Nomor 3 September 2009, http://fh.unsud.ac.id
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai politik
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar