Oleh
Ajarotni Nasution, S.H.,M.H.[1]
PENDAHULUAN
Keanekaragaman
suku, agama, ras, dan budaya Indonesia merupakan suatu kekayaan bangsa. Kondisi
ini, di satu sisi dapat memberikan kontribusi positif bagi upaya menciptakan kesejahteraan
masyarakat. Di sisi lain dapat membawa dampak buruk bagi kehidupan nasional
apabila terdapat ketimpangan pembangunan, ketidakadilan dan kesenjangan sosial
dan ekonomi, serta dinamika kehidupan politik yang tidak terkendali.
Selain
itu, transisi demokrasi dalam tatanan dunia yang makin terbuka mengakibatkan
makin cepatnya dinamika sosial. Kondisi seperti ini menempatkan Indonesia
sebagai salah satu negara yang rawan konflik, terutama konflik yang bersifat
horisontal. Konflik yang demikian, terbukti telah mengakibatkan hilangnya rasa
aman, timbulnya rasa takut masyarakat, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda, korban jiwa dan trauma psikologis seperti dendam, benci, dan antipati,
menghambat terwujudnya kesejahteraan umum.
Berbagai
upaya Penanganan Konflik terus dilakukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang ada. Sistem
penanganan Konflik yang dikembangkan selama ini lebih mengarah pada penanganan
yang bersifat militeristik dan represif. Selain itu, peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan Penanganan Konflik masih bersifat
parsial dan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari
undang-undang, seperti dalam bentuk Instruksi Presiden, Keputusan Presiden dan
Peraturan Presiden.
Berdasarkan
pemikiran tersebut, setidaknya terdapat tiga alasan pentingnya undang-undang tentang Penanganan
Konflik Sosial. Pertama, alasan secara filosofis, yaitu : (a) Jaminan tetap eksisnya cita-cita
pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mewujudkan persatuan dan kesatuan
bangsa, tanpa diganggu akibat perbedaan pendapat atau konflik yang terjadi di
antara kelompok masyarakat; (b) Negara Kesatuan Republik Indonesia melindungi
segenap bangsa Indonesia yang terdiri atas beragam suku bangsa, agama, dan
budaya serta melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, termasuk memberikan
jaminan rasa aman dan bebas dari rasa takut dalam rangka terwujudnya
kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945; (c) Tanggung jawab
negara yang memberikan pelindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak
asasi melalui upaya penciptaan suasana yang aman, tenteram, damai, dan
sejahtera baik lahir maupun batin sebagai wujud hak setiap orang atas
pelindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda serta
hak atas rasa aman dan pelindungan dari ancaman ketakutan. Bebas dari rasa
takut merupakan jaminan terhadap hak hidup secara aman, damai, adil, dan
Kedua,
argumentasi secara sosiologis, pembentukan undang-undang tentang Penanganan
Konflik Sosial penting karena : (a) Negara Republik Indonesia dengan
keanekaragaman suku bangsa, agama, dan budaya yang masih diwarnai ketimpangan
pembangunan, ketidakadilan, dan kesenjangan sosial, ekonomi dan politik,
berpotensi melahirkan Konflik di tengah masyarakat; (b) Indonesia pada satu
sisi sedang mengalami transisi demokrasi dan pemerintahan, membuka peluang bagi
munculnya gerakan radikalisme di dalam negeri, dan pada sisi lain hidup dalam
tatanan dunia yang terbuka dengan pengaruh asing sangat rawan dan berpotensi
menimbulkan Konflik; (c) Kekayaan sumber daya alam dan daya dukung lingkungan
yang makin terbatas dapat menimbulkan Konflik, baik karena masalah kepemilikan
maupun karena kelemahan dalam sistem pengelolaannya yang tidak memperhatikan kepentingan
masyarakat setempat; (d) Konflik menyebabkan hilangnya rasa aman, timbulnya
rasa takut, rusaknya lingkungan dan pranata sosial, kerugian harta benda,
jatuhnya korban jiwa, timbulnya trauma psikologis (dendam, benci, antipati),
serta melebarnya jarak segresi antara para pihak yang berkonflik sehingga dapat
menghambat terwujudnya kesejahteraan umum; (e) Penanganan Konflik dapat
dilakukan secara komprehensif, integratif, efektif, efisien, akuntabel, dan
transparan serta tepat sasaran melalui pendekatan dialogis dan cara damai
berdasarkan landasan hukum yang memadai; (f) Dalam mengatasi dan menangani
berbagai Konflik Sosial, Pemerintah Indonesia belum memiliki suatu format
kebijakan Penanganan Konflik komprehensif, integratif, efektif, efisien,
akuntabel dan transparan, serta tepat sasaran berdasarkan pendekatan dialogis
dan cara damai.
Ketiga,
argumentasi secara yuridis tentang perlunya pembentukan Undang-Undang tentang
Penanganan Konflik Sosial adalah peraturan perundang-undangan tentang
penanganan konflik yang masih bersifat sektoral dan reaktif, dan tidak sesuai
dengan perkembangan sistem ketatanegaraan.
Bertolak
dari alasan-alasan tersebut di atas, DPR
berinisiatif menyusun RUU tentang Penanganan Konflik Sosial. Setelah melalui pembahasan
yang panjang, akhirnya DPR dan Pemerintah menyetujui RUU Penanganan Konflik
Sosial (PKS) disahkan menjadi
undang-undang dalam rapat paripurna tanggal 11 April 2012 di Kompleks
Parlemen Senayan, Jakarta. Selanjutnya pada tanggal 10 Mei 2012 Presiden menandatangani Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
Berikut
ini akan dipapakan, bagaimana arah dan
jangkauan pangaturan serta apa saja yang menjadi ruang lingkup materi
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
UNDANG-UNDANG TENTANG PENANGANAN KONFLIK
SOSIAL
Penanganan
Konflik Sosial menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2012 adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan
terencana dalam situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun sesudah
terjadi Konflik yang mencakup pencegahan konflik, penghentian konflik, dan
pemulihan pascakonflik.
Undang-undang
ini, dalam penanganan konflik harus mencerminkan asas kemanusiaan, hak asasi
manusia, kebangsaan, kekeluargaan, mengacu pada bhineka tunggal ika, keadilan,
esetaraan gender, ketertiban, dan kepastian hukum. Juga mencerminkan
keberlanjutan, kearifan lokal, tanggung
jawab negara, partisipatif, tidak memihak, dan tidak membeda-bedakan.
Tujuan
Penanganan Konflik Sosial, menurut Pasal 3 undang-undang ini, adalah menciptakan
kehidupan masyarakat yang aman, tenteram, damai dan sejahtera. Lalu memelihara
kondisi damai dan harmonis dalam hubungan sosial kemasyarakatan. Meningkatkan
tenggang rasa dan toleransi, memelihara fungsi pemerintahan, melindungi jiwa, harta
benda, serta sarana dan prasarana umum. Serta memberikan perlindungan dan
pemenuhan hak korban, dan memulihkan kondisi fisik dan mental masyarakat serta
sarana dan prasarana umum.
Dalam
undang-undang ini juga disebutkan bahwa
konflik dapat bersumber dari permasalahan yang berkaitan dengan politik,
ekonomi, dan sosial budaya; perseteruan antarumat beragama dan/atau interumat
beragama, antarsuku, dan antaretnis; sengketa batas wilayah desa, kabupaten/kota
dan/atau propinsi; sengketa sumber daya
alam antarmasyasrakat dan/atau antarmasyarakat dengan pelaku usaha, dan
distribusi sumber daya alam yang tidak seimbang dalam masyarakat.
Undang-Undang
tentang Penanganan Konflik Sosial memuat 62 pasal yang mengatur Penanganan
Konflik Sosial melalui tiga tahapan. Mulai dari pencegahan konflik, penghentian
konflik, dan pemulihan pascakonflik.
Pencegahan Konflik
Pencegahan
Konflik adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya
Konflik dengan peningkatan kapasitas kelembagaan dan sistem peringatan dini.
Dalam hal terjadi konflik sosial, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat,
dapat melakukan beberapa upaya, yaitu memelihara kondisi damai dalam masyarakat,
mengembangkan penyelesaian perselisihan secara damai, meredam potensi Konflik,
dan membangun sistem peringatan dini
Dalam
rangka memelihara kondisi damai dalam masyarakat, Pasal 7 mewajibkan setiap
orang untuk (a) mengembangkan sikap toleransi dan saling menghormati kebebasan
menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya; (b) menghormati
perbedaan suku, bahasa, dan adat istiadat orang lain; (c) mengakui dan
memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya; (d) mengakui
persamaan derajat serta persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia tanpa
membedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan
sosial, dan warna kulit; (e) mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar
kebhinneka-tunggalikaan; dan/atau (f) menghargai pendapat dan kebebasan orang
lain. Penyelesaian perselisihan
dalam masyarakat dilakukan secara damai dengan mengutamakan musyawarah untuk
mufakat. Hasil penyelesaian perselisihan secara damai harus dihormati, ditaati,
dan dilaksanakan oleh seluruh pihak yang berkonflik. Hasil musyawarah mufakat
dimaksud mengikat para pihak.
Kemudian
untuk Meredam Potensi Konflik, Pasal 9 mewajibkan Pemerintah dan Pemerintah
Daerah meredam potensi Konflik dalam masyarakat dengan cara (a) melakukan
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang memperhatikan aspirasi masyarakat;
(b) menerapkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik; (c) melakukan
program perdamaian di daerah potensi Konflik; (d) mengintensifkan dialog
antarkelompok masyarakat; (e) menegakkan hukum tanpa diskriminasi; (f) membangun karakter bangsa; (g) melestarikan
nilai-nilai Pancasila dan kearifan lokal; dan (h) menyelenggarakan musyawarah dengan kelompok
masyarakat untuk membangun kemitraan dengan pelaku usaha di daerah setempat.
Pemerintah
dan Pemerintah Daerah Membangun Sistem Peringatan Dini melalui media komunikasi
dengan maksud untuk mencegah: (a) Konflik di daerah yang diidentifikasi sebagai
daerah potensi Konflik; dan/atau (b) perluasan Konflik di daerah yang sedang
terjadi Konflik. Sistem peringatan dini ini dapat berupa penyampaian informasi
mengenai potensi Konflik atau terjadinya Konflik di daerah tertentu kepada
masyarakat. Demikian Pasal 10 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 Tentang
Penanganan Konflik Sosial.
Dalam
rangka Membangun Sistem Peringatan Dini, Pasal 11 menugaskan Pemerintah dan
Pemerintah Daerah untuk melakukan (a) penelitian dan pemetaan wilayah potensi
Konflik; (b) penyampaian data dan informasi mengenai Konflik secara cepat dan
akurat; (c) penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; (d) peningkatan dan
pemanfaatan modal sosial; dan (e) penguatan dan pemanfaatan fungsi intelijen
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penghentian Konflik Sosial
Penghentian
Konflik adalah serangkaian kegiatan untuk mengakhiri kekerasan, menyelamatkan
korban, membatasi perluasan dan eskalasi Konflik, serta mencegah bertambahnya
jumlah korban dan kerugian harta benda. Apabila apabila telah terjadi Konflik, Pasal 12 menegaskan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat
menghentikannya melalui upaya penghentian kekerasan fisik, penetapan Status
Keadaan Konflik, tindakan darurat
penyelamatan dan pelindungan korban, serta bantuan penggunaan dan pengerahan
kekuatan TNI.
Jika
kekerasan fisik yang ditempuh pemerintah, penyelesaikan Konflik harus dikoordinasikan
dan dikendalikan Polri, melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan/atau
tokoh adat, serta sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Penetapan
Status Keadaan Konflik, menurut Pasal
14, dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah jika Konflik tidak dapat dikendalikan oleh Polri
dan terganggunya fungsi pemerintahan. Artinya Jika kondisi di mana eskalasi konflik makin
meningkat dan resiko makin meluas karena terbatasnya jumlah personil dan
peralatan Polri serta terganggunya kegiatan administrasi pemerintahan dan
fungsi pelayanan pemerintahan kepada masyarakat. Penetapan Status Keadaan
Konflik berlaku paling lama 90 (sembilan puluh) hari dan dapat diperpanjang
paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Apabila
terjadi eskalasi politik dalam suatu daerah atau wilayah kabupaten/kota dan
memiliki dampak hanya pada tingkat kabupaten/kota, bupati/walikota setelah
berkonsultasi dengan pimpinan DPRD menetapkan Status Keadaan Konflik skala
kabupaten/kota. Bupati/walikota bertanggung jawab dan wajib melaporkan
perkembangan Penanganan Konflik kepada gubernur dengan tembusan kepada menteri
yang membidangi urusan dalam negeri dan/atau menteri terkait serta DPRD
kabupaten/kota. DPRD kabupaten/kota mengawasi pelaksanaan penanganan konflik
selama Status Keadaan Konflik.
Lalu,
apabila terjadi eskalasi konflik dalam suatu daerah atau wilayah kabupaten/kota
dan/atau beberapa kabupaten/kota dalam suatu provinsi dan memiliki dampak pada
tingkat provinsi, gubernur setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRD provinsi
menetapkan Status Keadaan Konflik skala provinsi. Gubernur bertanggung jawab
dan wajib melaporkan perkembangan penanganan kepada Presiden melalui menteri
yang membidangi urusan dalam negeri dan atau menteri terkait serta tembusan
kepada DPRD Provinsi. DPRD provinsi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
penanganan konflik selama Status Keadaan Konflik.
Kemudian,
apabila terjadi eskalasi konflik mencakup suatu daerah atau wilayah
kabupaten/kota dan/atau beberapa provinsi dan memiliki dampak secara nasional,
Presiden setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPR menetapkan Status Keadaan
Konflik skala nasional. Presiden bertanggung jawab atas penanganan atas
penanganan Konflik nasional. Dalam melakasanakan tangung jawabnya, Presiden
dapat menunjuk menteri yang membidangi koordinasi urusan politik, hukum dan
keamanan sebagai koordinatir dengan melibatkan
menteri/pimpinan lembaga terkait. Dalam penanganan status Kedaan Konflik
skala nasional, Presiden menyampaikan perkembangan penanganan Status Keadaan
Konflik kepada DPR. DPR melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Penanganan
Konflik selama Status Keadaan Konflik skala nasional.
Dalam
Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota, provinsi dan nasional,
bupati/walikota, gubernur dan Presiden untuk melakukan (a) pembatasan dan
penutupan kawasan Konflik untuk sementara waktu; (b) pembatasan orang di luar rumah untuk sementara
waktu; (c) penempatan orang di luar kawasan Konflik untuk sementara waktu; dan
(d) pelarangan orang untuk memasuki kawasan Konflik atau keluar dari kawasan
Konflik untuk sementara waktu.
Terkait
dengan Tindakan Darurat Penyelamatan dan Perlindungan Korban, Pasal 32
menugaskan Pemerintah dan Pemerintah Daerah ujntuk melakukan tindakan darurat
penyelamatan dan pelindungan korban sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan
wewenangnya. Tindakan darurat dimaksud
meliputi: (a) penyelamatan, evakuasi, dan identifikasi korban Konflik secara
cepat dan tepat; (b) pemenuhan kebutuhan dasar korban Konflik; (c) pemenuhan
kebutuhan dasar pengungsi, termasuk kebutuhan spesifik perempuan, anak-anak,
dan kelompok orang yang berkebutuhan khusus; (d) pelindungan terhadap kelompok
rentan; (e) upaya sterilisasi tempat yang rawan Konflik; (f) penyelamatan
sarana dan prasarana vital; (g) penegakan hukum; (h) pengaturan mobilitas
orang, barang, dan jasa dari dan ke daerah Konflik; dan (i) penyelamatan harta
benda korban Konflik.
Mengenai
bantuan TNI, Pasal 33 menegaskan, apabila dalam status keadaan Konflik skala
kabupaten/kota, bupati/walikota dapat meminta bantuan penggunaan kekuatan TNI
kepada pemerintah. Kemudian untuk skala provinsi, gubernur meminta bantuan
penggunaan TNI kepada pemerintah. Sedangkan untuk skala nasional, pengerahan
TNI dilakukan dengan lebih dulu dilakukan konsultasi oleh presiden kepada DPR.
Bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan
bantuan penggunaan kekuatan TNI dikoordinasikan oleh Polri.
Menurut
undang-undang ini, kekuatan TNI baru
bisa dikerahkan dalam penyelesaian konflik sosial jika ada ijin langsung dari
pemerintah, dalam hal ini diartikan kepada Presiden dan DPR. Rumusan ini
sejalan ketentuan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang menyatakan
pelibatan TNI harus atas perintah Presiden setelah mendapat persetujuan DPR.
Undang-undang
ini menentukan, TNI tetap dilibatkan dalam penanganan konflik karena penanganan
konflik jadi salah satu tugas pokok TNI. Pelibatan TNI juga diperlukan untuk
memperkuat kepolisian dalam menciptakan keamanan dan ketertiban. Dalam Pasal 2
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI berbunyi, “Tentara Nasional,
yaitu tentara kebangsaan Indonesia yang bertugas demi kepentingan negara di atas
kepentingan daerah, suku, ras dan golongan. Pasal 3 menentukan, “Tentara Profesional, yaitu
tentaran yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik
praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti
kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak
asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah
diratifikasi.
Kemudian,
Pasal 7 ayat 1 menegaskan bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan
negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan
negara. Apapun namanya, dilibatkannya TNI dalam penanganan konflik sosial itu
merupakan bagian dari tugas pokok TNI yang diatur berdasarkan Pancasila dan UUD
1945.
Adanya pihak-pihak maupun LSM yang mencurigai
dilibatkannya TNI dalam penanganan konflik sosial, menurut Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia, merupakan kecurigaan
yang sangat berlebihan. Mengapa? Karena TNI merupakan alat negara yang
jelas-jelas mempunyai tugas pokok menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan
keutuhan wilayah NKRI. Jadi konflik sosial yang mungkin muncul di suatu daerah
di Indonesia penting untuk melibatkan TNI guna mengamankan, menertibkan dan
juga mendamaikan konflik yang timbul di suatu daerah di Indonesia. Intinya
diikutsertakan TNI dalam penanganan konflik sosial adalah demi untuk persatuan,
perdamaian dan keutuhan NKRI
Penggunaan
dan pengerahan kekuatan TNI berakhir apabila telah dilakukan pencabutan
penetapan status keadaan konflik. Atau berakhirnya jangka waktu status keadaan
konflik. Demikian Pasal 34 ayat (1) dan (2) Undang-Undang ini menyebutkan.
Pemulihan Pascakonflik
Pemulihan
Pascakonflik adalah serangkaian kegiatan untuk mengembalikan keadaan dan
memperbaiki hubungan yang tidak harmonis dalam masyarakat akibat Konflik
melalui kegiatan rekonsiliasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Pasal 33
mewajibkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk melakukan upaya Pemulihan
Pascakonflik secara terencana, terpadu, berkelanjutan, dan terukur melalui
upaya rekonsiliasi; rehabilitasi; dan rekonstruksi.
Menurut ketentuan Pasal 37, Pemerintah dan
Pemerintah Daerah melakukan rekonsiliasi antara para pihak dengan cara
perundingan secara damai, pemberian restitusi, dan/atau pemaafan. Rekonsilias dapat dilakukan dengan Pranata Adat dan/atau
Pranata Sosial atau Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial.
Pemerintah
dan Pemerintah Daerah melaksanakan rehabilitasi di daerah pascakonflik dan
daerah terkena dampak Konflik sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan
wewenangnya. Pelaksanaan rehabilitasi dimaksud
meliputi: (a) pemulihan psikologis korban Konflik dan pelindungan kelompok
rentan; (b) pemulihan kondisi sosial, ekonomi, budaya, keamanan, dan
ketertiban; (c) perbaikan dan pengembangan lingkungan dan/atau daerah
perdamaian; (d) penguatan relasi sosial yang adil untuk kesejahteraan
masyarakat; (e) penguatan kebijakan publik yang mendorong pembangunan
lingkungan dan/atau daerah perdamaian berbasiskan hak masyarakat; (f) pemulihan
ekonomi dan hak keperdataan, serta peningkatan pelayanan pemerintahan; (g)
pemenuhan kebutuhan dasar spesifik perempuan, anak-anak, lanjut usia, dan
kelompok orang yang berkebutuhan khusus; (h) pemenuhan kebutuhan dan pelayanan
kesehatan reproduksi bagi kelompok perempuan;
(i)
peningkatan pelayanan kesehatan anak-anak; dan (i) pemfasilitasian serta
mediasi pengembalian dan pemulihan aset korban Konflik.
Pasal
39 menugaskan Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan rekonstruksi,
sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya. Pelaksanaan
rekonstruksi dimaksud meliputi: (a) pemulihan dan peningkatan fungsi pelayanan
publik di lingkungan dan/atau daerah pascakonflik; (b) pemulihan dan penyediaan
akses pendidikan, kesehatan, dan mata pencaharian; (c) perbaikan sarana dan
prasarana umum daerah Konflik; (d) perbaikan berbagai struktur dan kerangka
kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan, termasuk kesenjangan
ekonomi; (e) perbaikan dan penyediaan fasilitas pelayanan pemenuhan kebutuhan
dasar spesifik perempuan, anak-anak, lanjut usia, dan kelompok orang yang
berkebutuhan khusus; (f) perbaikan dan pemulihan tempat ibadah.
KELEMBAGAAN DAN MEKANISME PENYELESAIAN KONFLIK
Kelembagaan
penyelesaian Konflik, menurut Pasal 40, terdiri atas Pemerintah, Pemerintah Daerah,
Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial, serta Satuan Tugas Penyelesaian Konflik
Sosial.
Pasal
41 menentukan bahwa Penyelesaian Konflik dilaksanakan oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah dengan mengedepankan Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial
yang ada dan diakui keberadaannya. Penyelesaian Konflik melalui mekanisme ini difasilitasi
oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota dengan melibatkan aparatur kecamatan dan
kelurahan/desa setempat. Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengakui hasil
penyelesaian Konflik melalui mekanisme Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial. Hasil
kesepakatan penyelesaian Konflik melalui mekanisme ini memiliki kekuatan yang
mengikat bagi kelompok masyarakat yang terlibat dalam Konflik. Apabila penyelesaian Konflik melalui mekanisme Pranata
Adat dan/atau Pranata Sosial tidak dapat diselesaikan, maka penyelesaian
Konflik dilakukan oleh Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial.
Satuan
Tugas Penyelesaian Konflik Sosial, menurut Pasal 42, merupakan lembaga penyelesaian Konflik yang
bersifat ad hoc dibentuk oleh Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah dalam hal: (a) tidak ada Pranata Adat dan/atau
Pranata Sosial di daerah Konflik; (b) tidak berfungsinya Pranata Adat dan/atau
Pranata Sosial di daerah Konflik; (c) tidak berjalannya mekanisme musyawarah
untuk mufakat melalui Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial; (d) tidak
tercapainya kesepakatan melalui mekanisme musyawarah Pranata Adat dan/atau
Pranata Sosial; dan (e) telah ditetapkannya Status Keadaan Konflik.
Adapun
Tugas Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial bertugas menyelesaikan Konflik
sosial melalui musyawarah untuk mufakat. Penyelesaian Konflik melalui
musyawarah untuk mufakat mengikat bagi kelompok masyarakat yang terlibat dalam
Konflik. Dalam hal penyelesaian Konflik) tidak tercapai, penyelesaiannya
dilakukan melalui pengadilan.
Dalam
melaksanakan tugas tersebut di atas, Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial
menyelenggarakan fungsi: (a) pencarian fakta dan pemberian kesempatan kepada
pihak yang berkonflik untuk menyampaikan fakta dan penyebab terjadinya Konflik;
(b) pencarian data atau informasi di instansi pemerintah dan/atau swasta
terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (c) koordinasi
dengan instansi terkait untuk memberikan pelindungan kepada korban, saksi,
pelapor, pelaku, dan barang bukti sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; (d) perumusan opsi yang dapat disepakati dengan
mempertimbangkan kepentingan pihak yang berkonflik; (e) perumusan kesepakatan
yang telah dicapai; (f) penghitungan jumlah kerugian dan besaran kompensasi,
restitusi, rehabilitasi, dan/atau rekonstruksi; (g) penyampaian rekomendasi
kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dalam upaya rehabilitasi dan
Pemulihan Pascakonflik; dan (h) penyampaian laporan akhir pelaksanaan tugas
dan fungsi Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial kepada
Pemerintah/Pemerintah Daerah dengan tembusan kepada DPR/DPRD.
Pasal
45 menentukan Pembentukan, Penetapan, dan Pembubaran Satuan Tugas Penyelesaian
Konflik Sosial. Pembentukan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial dilakukan
melalui mekanisme: (a) pembentukan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial
untuk menyelesaikan Konflik skala kabupaten/kota dilakukan oleh bupati/wali
kota; (b) pembentukan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial untuk
menyelesaikan Konflik skala provinsi dilakukan oleh gubernur; dan/atau (c) pembentukan
Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial untuk menyelesaikan Konflik skala
nasional diusulkan oleh menteri yang membidangi koordinasi urusan politik,
hukum, dan keamanan kepada Presiden.
Jika
keadaan Konflik skala kabupaten/kota meningkat menjadi keadaan Konflik skala
provinsi, Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial kabupaten/kota tidak dengan
sendirinya dibubarkan. Demikian juga apabila keadaan Konflik skala provinsi
meningkat menjadi keadaan Konflik skala nasional, Satuan Tugas Penyelesaian
Konflik Sosial kabupaten/kota dan provinsi tidak dengan sendirinya dibubarkan.
Satuan
Tugas Penyelesaian Konflik Sosial berakhir apabila: (a) Konflik telah
diselesaikan melalui musyawarah untuk mufakat; atau (b) penyelesaian Konflik
diajukan oleh pihak yang berkonflik melalui pengadilan. Penyelesaian Konflik
selama proses di pengadilan difasilitasi oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah. Fasilitasi dimaksud mencakup
pemantauan, pengendalian, dan pengamanan terhadap pihak yang berkonflik tanpa
intervensi terhadap proses peradilan.
Keanggotaan
Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial kabupaten/kota terdiri atas unsur Pemerintah
Daerah dan masyarakat yang terdiri atas: (a) bupati/wali kota; (b) ketua DPRD kabupaten/kota; (c) instansi
Pemerintah dan/atau satuan kerja perangkat daerah sesuai dengan kebutuhan; (e) kepala
kepolisian resor; (f) komandan distrik militer/komandan satuan unsur TNI; dan
(g) kepala kejaksaan negeri. Unsur masyarakat terdiri atas tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat,
pegiat perdamaian, dan wakil pihak yang
berkonflik.
Lalu,
Keanggotaan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial provinsi terdiri atas
unsur Pemerintah Daerah dan masyarakat terdiri atas: (a) gubernur; (b) ketua
DPRD provinsi; (c) instansi Pemerintah dan/atau satuan kerja pemerintah daerah
provinsi sesuai dengan kebutuhan; (d) kepala kepolisian daerah; (e) panglima daerah
militer/komandan satuan unsur TNI; (f) kepala kejaksaan tinggi; dan (g) unsur Pemerintah Daerah pada Satuan Tugas
Penyelesaian Konflik Sosial skala kabupaten/kota.
Unsur
masyarakat terdiri atas: tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, pegiat perdamaian, dan wakil pihak yang berkonflik dari Satuan
Tugas Penyelesaian Konflik Sosial skala kabupaten/kota.
Kemudian,
Keanggotaan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial skala nasional terdiri
atas unsur Pemerintah dan masyarakat terdiri atas: (a) kementerian yang
membidangi koordinasi urusan politik, hukum, dan keamanan; (b) koordinasi urusan kesejahteraan rakyat; (c) urusan dalam negeri; (d) urusan pertahanan; (e) kementerian yang
membidangi urusan keuangan negara; (f) kementerian yang membidangi urusan
kesehatan; (g) kementerian yang membidangi urusan sosial; (h) kementerian yang
membidangi urusan agama; (i) Polri; (j) TNI;
(k) Kejaksaan Agung; (l) Badan Nasional
Penanggulangan Bencana; (m) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia; (n) unsur
Pemerintah Daerah dari Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial skala provinsi
yang berkonflik; dan (o) instansi
pemerintah terkait lainnya sesuai dengan kebutuhan.
Unsur
masyarakat terdiri atas tokoh agama, tokoh
adat, tokoh masyarakat, pegiat perdamaian, wakil pihak yang berkonflik dari
Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial skala provinsi, dan lembaga masyarakat lain yang terkait sesuai
dengan kebutuhan.Penetapan unsur masyarakat dalam keanggotaan Satuan Tugas
skala kabupaten/kota, provinsi dan nasional harus mempertimbangkan ketokohan, integritas, dan
moralitas dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 %
(tiga puluh persen).
PERAN SERTA MASYARAKAT DAN PENDANAAN
Pasal
52 – Pasal 58 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Pengananan Konflik
Sosial, menetapkan peran serta
masyarakat dan pendanaan. Undang-undang
ini menentukan bahwa masyarakat dapat berperan serta dalam Penanganan Konflik
berupa pembiayaan, bantuan teknis, penyediaan kebutuhan dasar minimal bagi
korban Konflik, dan/atau bantuan tenaga dan pikiran.
Kemudian
mengenai pendanaan Penanganan Konflik yang digunakan untuk Pencegahan Konflik,
Penghentian Konflik, dan Pemulihan Pascakonflik menjadi tanggungjawab bersama Pemerintah dan
Pemerintah Daerah yang dialokasikan pada APBN dan/atau APBD sesuai dengan
tugas, wewenang, dan tanggung jawab masing-masing. Pemerintah mengalokasikan
dana APBN untuk Pencegahan Konflik melalui anggaran kementerian/lembaga yang
bertanggung jawab sesuai tugas dan fungsinya. Pemerintah Daerah mengalokasikan dana APBD
untuk Pencegahan Konflik melalui anggaran satuan kerja perangkat daerah yang
bertanggung jawab sesuai tugas dan fungsinya.
Adapun
pendanaan Penghentian Konflik dan rekonsiliasi pascakonflik diambil dari dana
siap pakai pada APBN dan/atau dana belanja tidak terduga pada APBD oleh
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sebagai unsur Satuan Tugas Penyelesaian
Konflik Sosial yang dapat dipakai sewaktu-waktu secara langsung oleh Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah. Dana siap pakai ini bersumber dari dana bagian anggaran
bendahara umum negara.
Pemerintah
mengalokasikan dana pascakonflik melalui anggaran kementerian/lembaga yang
bertanggung jawab sesuai tugas dan fungsinya. Lalu Pemerintah Daerah
mengalokasikan dana pascakonflik melalui APBD. Dana pascakonflik digunakan
untuk mendanai kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pada tahap pascakonflik
yang terjadi di daerah.
Pemerintah
Daerah yang daerahnya mengalami konflik dan memiliki keterbatasan kemampuan
pendanaan dapat mengajukan permintaan dana pascakonflik kepada Pemerintah
melalui dana alokasi khusus (DAK) dengan melampirkan kerangka acuan kegiatan
rehabilitasi dan rekonstruksi pascakonflik beserta rencana anggaran biaya. Pengajuan
dana pascakonflik oleh Pemerintah
Daerah dikoordinasikan oleh kementerian
yang membidangi urusan dalam negeri.
Pasal
61 Ketentuan Penutup Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan
Konflik Sosial, memberikan batas waktu kepada pemerintah untuk menetapkan
peraturan pelaksanaan undang-undang ini paling lambat 1 (satu) tahun 6 (enam)
bulan. Undang-undang ini mendelegasikan kepada pemerintah untuk membuat 4
(empat) Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan mengenai tindakan darurat
penyelamatan dan perlindungan korban, bantuan penggunaan kekuatan TNI, peran
serta masyarakat dalam Penanganan Konflik, dan perencanaan, penganggaran,
penyaluran, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban pengelolaan
pendanaan Penanganan Konflik.
PENUTUP
Bangsa
Indonesia telah memiliki pegangan dalam Penanganan Konflik Sosial sejak
Presiden menandatangani Undang-Undang
7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial pada 10 Mei 2012. Undang-undang ini
memuat 62 pasal yang mengatur tentang penanganan konflik sosial yang dilakukan
melalui tiga tahapan. Yakni pencegahan konflik, penghentian konflik, dan
pemulihan pascakonflik.
Dalam
UU itu disebutkan pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban meredam potensi
konflik dalam masyarakat, dan membangun sistem peringatan dini untuk mencegah
konflik atau perluasan konflik di daerah yang sedang terjadi konflik melalui
media komunikasi. Dalam hal konflik telah terjadi, penghentian bisa dilakukan dengan penggunaan tindakan kekerasan fisik;
penetapan status keadaan konflik; tindakan darurat penyelamatan dan
perlindungan korban; dan/atau bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI.
Namun,
undang-undang ini juga menegaskan, dalam hal dilakukan tindakan kekerasan
fisik, harus dikoordinasikan dan dikendalikan Polri; melibatkan tokoh
masyarakat, tokoh agama, dan/atau tokoh adat; dan harus sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
Mengenai
bantuan TNI, ditegaskan dalam status keadaan konflik skala kabupaten/kota,
bupati/walikota dapat meminta bantuan penggunaan kekuatan TNI kepada
Pemerintah. Sedangkan untuk skala provinsi, gubernur meminta bantuan penggunaan
TNI kepada Pemerintah. Untuk skala nasional pengerahan TNI dilakukan dengan
lebih dulu dilakukan konsultasi oleh Presiden kepada DPR.
Dengan
adanya Undang-Undang Tentang Penanganan Konflik Sosial ini akan semakin
menjamin kepada masyarakat Indonesia rasa aman, persatuan, perdamaian, dan yang
pasti keutuhan wilayah NKRI diatas segalanya.
Guud
BalasHapus