Minggu, 01 September 2013

PENANGANAN KONFLIK SOSIAL



Oleh Ajarotni Nasution, S.H.,M.H.[1]

PENDAHULUAN

Keanekaragaman suku, agama, ras, dan budaya Indonesia merupakan suatu kekayaan bangsa. Kondisi ini, di satu sisi dapat memberikan kontribusi positif bagi upaya menciptakan kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain dapat membawa dampak buruk bagi kehidupan nasional apabila terdapat ketimpangan pembangunan, ketidakadilan dan kesenjangan sosial dan ekonomi, serta dinamika kehidupan politik yang tidak terkendali.

Selain itu, transisi demokrasi dalam tatanan dunia yang makin terbuka mengakibatkan makin cepatnya dinamika sosial. Kondisi seperti ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang rawan konflik, terutama konflik yang bersifat horisontal. Konflik yang demikian, terbukti telah mengakibatkan hilangnya rasa aman, timbulnya rasa takut masyarakat, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, korban jiwa dan trauma psikologis seperti dendam, benci, dan antipati, menghambat terwujudnya kesejahteraan umum.

Berbagai upaya Penanganan Konflik terus dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada.  Sistem penanganan Konflik yang dikembangkan selama ini lebih mengarah pada penanganan yang bersifat militeristik dan represif. Selain itu, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Penanganan Konflik masih bersifat parsial dan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari undang-undang, seperti dalam bentuk Instruksi Presiden, Keputusan Presiden dan Peraturan Presiden.
Berdasarkan pemikiran tersebut, setidaknya terdapat tiga alasan  pentingnya undang-undang tentang Penanganan Konflik Sosial. Pertama, alasan secara filosofis,  yaitu : (a) Jaminan tetap eksisnya cita-cita pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, tanpa diganggu akibat perbedaan pendapat atau konflik yang terjadi di antara kelompok masyarakat; (b) Negara Kesatuan Republik Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia yang terdiri atas beragam suku bangsa, agama, dan budaya serta melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, termasuk memberikan jaminan rasa aman dan bebas dari rasa takut dalam rangka terwujudnya kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945; (c) Tanggung jawab negara yang memberikan pelindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi melalui upaya penciptaan suasana yang aman, tenteram, damai, dan sejahtera baik lahir maupun batin sebagai wujud hak setiap orang atas pelindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda serta hak atas rasa aman dan pelindungan dari ancaman ketakutan. Bebas dari rasa takut merupakan jaminan terhadap hak hidup secara aman, damai, adil, dan
Kedua, argumentasi secara sosiologis, pembentukan undang-undang tentang Penanganan Konflik Sosial penting karena : (a) Negara Republik Indonesia dengan keanekaragaman suku bangsa, agama, dan budaya yang masih diwarnai ketimpangan pembangunan, ketidakadilan, dan kesenjangan sosial, ekonomi dan politik, berpotensi melahirkan Konflik di tengah masyarakat; (b) Indonesia pada satu sisi sedang mengalami transisi demokrasi dan pemerintahan, membuka peluang bagi munculnya gerakan radikalisme di dalam negeri, dan pada sisi lain hidup dalam tatanan dunia yang terbuka dengan pengaruh asing sangat rawan dan berpotensi menimbulkan Konflik; (c) Kekayaan sumber daya alam dan daya dukung lingkungan yang makin terbatas dapat menimbulkan Konflik, baik karena masalah kepemilikan maupun karena kelemahan dalam sistem pengelolaannya yang tidak memperhatikan kepentingan masyarakat setempat; (d) Konflik menyebabkan hilangnya rasa aman, timbulnya rasa takut, rusaknya lingkungan dan pranata sosial, kerugian harta benda, jatuhnya korban jiwa, timbulnya trauma psikologis (dendam, benci, antipati), serta melebarnya jarak segresi antara para pihak yang berkonflik sehingga dapat menghambat terwujudnya kesejahteraan umum; (e) Penanganan Konflik dapat dilakukan secara komprehensif, integratif, efektif, efisien, akuntabel, dan transparan serta tepat sasaran melalui pendekatan dialogis dan cara damai berdasarkan landasan hukum yang memadai; (f) Dalam mengatasi dan menangani berbagai Konflik Sosial, Pemerintah Indonesia belum memiliki suatu format kebijakan Penanganan Konflik komprehensif, integratif, efektif, efisien, akuntabel dan transparan, serta tepat sasaran berdasarkan pendekatan dialogis dan cara damai.

Ketiga, argumentasi secara yuridis tentang perlunya pembentukan Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial adalah peraturan perundang-undangan tentang penanganan konflik yang masih bersifat sektoral dan reaktif, dan tidak sesuai dengan perkembangan sistem ketatanegaraan.

Bertolak dari alasan-alasan tersebut di atas, DPR berinisiatif menyusun RUU tentang Penanganan Konflik Sosial. Setelah melalui pembahasan yang panjang, akhirnya DPR dan Pemerintah menyetujui RUU Penanganan Konflik Sosial (PKS) disahkan menjadi  undang-undang dalam rapat paripurna tanggal 11 April 2012 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. Selanjutnya pada tanggal 10 Mei 2012  Presiden menandatangani Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.

Berikut ini akan dipapakan,  bagaimana arah dan jangkauan pangaturan serta apa saja yang menjadi ruang lingkup materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.

UNDANG-UNDANG TENTANG PENANGANAN KONFLIK SOSIAL

Penanganan Konflik Sosial menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2012 adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi Konflik yang mencakup pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pascakonflik.

Undang-undang ini, dalam penanganan konflik harus mencerminkan asas kemanusiaan, hak asasi manusia, kebangsaan, kekeluargaan, mengacu pada bhineka tunggal ika, keadilan, esetaraan gender, ketertiban, dan kepastian hukum. Juga mencerminkan keberlanjutan, kearifan lokal, tanggung  jawab negara, partisipatif, tidak memihak, dan tidak membeda-bedakan.

Tujuan Penanganan Konflik Sosial, menurut Pasal 3 undang-undang ini,  adalah  menciptakan kehidupan masyarakat yang aman, tenteram, damai dan sejahtera. Lalu memelihara kondisi damai dan harmonis dalam hubungan sosial kemasyarakatan. Meningkatkan tenggang rasa dan toleransi, memelihara fungsi pemerintahan, melindungi jiwa, harta benda, serta sarana dan prasarana umum. Serta memberikan perlindungan dan pemenuhan hak korban, dan memulihkan kondisi fisik dan mental masyarakat serta sarana dan prasarana umum.

Dalam undang-undang ini juga disebutkan  bahwa konflik dapat bersumber dari permasalahan yang berkaitan dengan politik, ekonomi, dan sosial budaya; perseteruan antarumat beragama dan/atau interumat beragama, antarsuku, dan antaretnis;  sengketa batas wilayah desa, kabupaten/kota dan/atau propinsi;  sengketa sumber daya alam antarmasyasrakat dan/atau antarmasyarakat dengan pelaku usaha, dan distribusi sumber daya alam yang tidak seimbang dalam masyarakat.

Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial memuat 62 pasal yang mengatur Penanganan Konflik Sosial melalui tiga tahapan. Mulai dari pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pascakonflik.

Pencegahan Konflik
Pencegahan Konflik adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya Konflik dengan peningkatan kapasitas kelembagaan dan sistem peringatan dini. Dalam hal terjadi konflik sosial, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat, dapat melakukan beberapa upaya, yaitu  memelihara kondisi damai dalam masyarakat, mengembangkan penyelesaian perselisihan secara damai, meredam potensi Konflik, dan membangun sistem peringatan dini

Dalam rangka memelihara kondisi damai dalam masyarakat, Pasal 7 mewajibkan setiap orang untuk (a) mengembangkan sikap toleransi dan saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya; (b) menghormati perbedaan suku, bahasa, dan adat istiadat orang lain; (c) mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya; (d) mengakui persamaan derajat serta persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia tanpa membedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, dan warna kulit; (e) mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar kebhinneka-tunggalikaan; dan/atau (f) menghargai pendapat dan kebebasan orang lain. Penyelesaian perselisihan dalam masyarakat dilakukan secara damai dengan mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Hasil penyelesaian perselisihan secara damai harus dihormati, ditaati, dan dilaksanakan oleh seluruh pihak yang berkonflik. Hasil musyawarah mufakat dimaksud mengikat para pihak.

Kemudian untuk Meredam Potensi Konflik, Pasal 9 mewajibkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah meredam potensi Konflik dalam masyarakat dengan cara (a) melakukan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang memperhatikan aspirasi masyarakat; (b) menerapkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik; (c) melakukan program perdamaian di daerah potensi Konflik; (d) mengintensifkan dialog antarkelompok masyarakat; (e) menegakkan hukum tanpa diskriminasi; (f)  membangun karakter bangsa; (g) melestarikan nilai-nilai Pancasila dan kearifan lokal; dan (h)  menyelenggarakan musyawarah dengan kelompok masyarakat untuk membangun kemitraan dengan pelaku usaha di daerah setempat.

Pemerintah dan Pemerintah Daerah Membangun Sistem Peringatan Dini melalui media komunikasi dengan maksud untuk mencegah: (a) Konflik di daerah yang diidentifikasi sebagai daerah potensi Konflik; dan/atau (b)  perluasan Konflik di daerah yang sedang terjadi Konflik. Sistem peringatan dini ini dapat berupa penyampaian informasi mengenai potensi Konflik atau terjadinya Konflik di daerah tertentu kepada masyarakat. Demikian Pasal 10 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial.

Dalam rangka Membangun Sistem Peringatan Dini, Pasal 11 menugaskan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk melakukan  (a)  penelitian dan pemetaan wilayah potensi Konflik; (b) penyampaian data dan informasi mengenai Konflik secara cepat dan akurat; (c) penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; (d) peningkatan dan pemanfaatan modal sosial; dan (e) penguatan dan pemanfaatan fungsi intelijen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
       
Penghentian Konflik Sosial
Penghentian Konflik adalah serangkaian kegiatan untuk mengakhiri kekerasan, menyelamatkan korban, membatasi perluasan dan eskalasi Konflik, serta mencegah bertambahnya jumlah korban dan kerugian harta benda. Apabila apabila telah terjadi Konflik, Pasal 12 menegaskan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat menghentikannya melalui upaya penghentian kekerasan fisik, penetapan Status Keadaan Konflik,  tindakan darurat penyelamatan dan pelindungan korban, serta bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI.

Jika kekerasan fisik yang ditempuh pemerintah, penyelesaikan Konflik harus dikoordinasikan dan dikendalikan Polri, melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan/atau tokoh adat, serta sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Penetapan Status Keadaan Konflik, menurut  Pasal 14, dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah jika  Konflik tidak dapat dikendalikan oleh Polri dan terganggunya fungsi pemerintahan. Artinya Jika  kondisi di mana eskalasi konflik makin meningkat dan resiko makin meluas karena terbatasnya jumlah personil dan peralatan Polri serta terganggunya kegiatan administrasi pemerintahan dan fungsi pelayanan pemerintahan kepada masyarakat. Penetapan Status Keadaan Konflik berlaku paling lama 90 (sembilan puluh) hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Apabila terjadi eskalasi politik dalam suatu daerah atau wilayah kabupaten/kota dan memiliki dampak hanya pada tingkat kabupaten/kota, bupati/walikota setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRD menetapkan Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota. Bupati/walikota bertanggung jawab dan wajib melaporkan perkembangan Penanganan Konflik kepada gubernur dengan tembusan kepada menteri yang membidangi urusan dalam negeri dan/atau menteri terkait serta DPRD kabupaten/kota. DPRD kabupaten/kota mengawasi pelaksanaan penanganan konflik selama Status Keadaan Konflik.

Lalu, apabila terjadi eskalasi konflik dalam suatu daerah atau wilayah kabupaten/kota dan/atau beberapa kabupaten/kota dalam suatu provinsi dan memiliki dampak pada tingkat provinsi, gubernur setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRD provinsi menetapkan Status Keadaan Konflik skala provinsi. Gubernur bertanggung jawab dan wajib melaporkan perkembangan penanganan kepada Presiden melalui menteri yang membidangi urusan dalam negeri dan atau menteri terkait serta tembusan kepada DPRD Provinsi. DPRD provinsi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penanganan konflik selama Status Keadaan Konflik.

Kemudian, apabila terjadi eskalasi konflik mencakup suatu daerah atau wilayah kabupaten/kota dan/atau beberapa provinsi dan memiliki dampak secara nasional, Presiden setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPR menetapkan Status Keadaan Konflik skala nasional. Presiden bertanggung jawab atas penanganan atas penanganan Konflik nasional. Dalam melakasanakan tangung jawabnya, Presiden dapat menunjuk menteri yang membidangi koordinasi urusan politik, hukum dan keamanan sebagai koordinatir dengan melibatkan  menteri/pimpinan lembaga terkait. Dalam penanganan status Kedaan Konflik skala nasional, Presiden menyampaikan perkembangan penanganan Status Keadaan Konflik kepada DPR. DPR melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Penanganan Konflik selama Status Keadaan Konflik skala nasional.

Dalam Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota, provinsi dan nasional, bupati/walikota, gubernur dan Presiden untuk melakukan (a) pembatasan dan penutupan kawasan Konflik untuk sementara waktu; (b)  pembatasan orang di luar rumah untuk sementara waktu; (c) penempatan orang di luar kawasan Konflik untuk sementara waktu; dan (d) pelarangan orang untuk memasuki kawasan Konflik atau keluar dari kawasan Konflik untuk sementara waktu.

Terkait dengan Tindakan Darurat Penyelamatan dan Perlindungan Korban, Pasal 32 menugaskan Pemerintah dan Pemerintah Daerah ujntuk melakukan tindakan darurat penyelamatan dan pelindungan korban sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya. Tindakan darurat  dimaksud meliputi: (a) penyelamatan, evakuasi, dan identifikasi korban Konflik secara cepat dan tepat; (b) pemenuhan kebutuhan dasar korban Konflik; (c) pemenuhan kebutuhan dasar pengungsi, termasuk kebutuhan spesifik perempuan, anak-anak, dan kelompok orang yang berkebutuhan khusus; (d) pelindungan terhadap kelompok rentan; (e) upaya sterilisasi tempat yang rawan Konflik; (f) penyelamatan sarana dan prasarana vital; (g) penegakan hukum; (h) pengaturan mobilitas orang, barang, dan jasa dari dan ke daerah Konflik; dan (i) penyelamatan harta benda korban Konflik.

Mengenai bantuan TNI, Pasal 33 menegaskan, apabila dalam status keadaan Konflik skala kabupaten/kota, bupati/walikota dapat meminta bantuan penggunaan kekuatan TNI kepada pemerintah. Kemudian untuk skala provinsi, gubernur meminta bantuan penggunaan TNI kepada pemerintah. Sedangkan untuk skala nasional, pengerahan TNI dilakukan dengan lebih dulu dilakukan konsultasi oleh presiden kepada DPR. Bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.  Pelaksanaan bantuan penggunaan kekuatan TNI dikoordinasikan oleh Polri.

Menurut undang-undang ini,  kekuatan TNI baru bisa dikerahkan dalam penyelesaian konflik sosial jika ada ijin langsung dari pemerintah, dalam hal ini diartikan kepada Presiden dan DPR. Rumusan ini sejalan ketentuan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang menyatakan pelibatan TNI harus atas perintah Presiden setelah mendapat persetujuan DPR.
Undang-undang ini menentukan, TNI tetap dilibatkan dalam penanganan konflik karena penanganan konflik jadi salah satu tugas pokok TNI. Pelibatan TNI juga diperlukan untuk memperkuat kepolisian dalam menciptakan keamanan dan ketertiban. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI berbunyi, “Tentara Nasional, yaitu tentara kebangsaan Indonesia yang bertugas demi kepentingan negara di atas kepentingan daerah, suku, ras dan golongan. Pasal 3  menentukan, “Tentara Profesional, yaitu tentaran yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.
Kemudian, Pasal 7 ayat 1 menegaskan bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Apapun namanya, dilibatkannya TNI dalam penanganan konflik sosial itu merupakan bagian dari tugas pokok TNI yang diatur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
 Adanya pihak-pihak maupun LSM yang mencurigai dilibatkannya TNI dalam penanganan konflik sosial, menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,  merupakan kecurigaan yang sangat berlebihan. Mengapa? Karena TNI merupakan alat negara yang jelas-jelas mempunyai tugas pokok menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI. Jadi konflik sosial yang mungkin muncul di suatu daerah di Indonesia penting untuk melibatkan TNI guna mengamankan, menertibkan dan juga mendamaikan konflik yang timbul di suatu daerah di Indonesia. Intinya diikutsertakan TNI dalam penanganan konflik sosial adalah demi untuk persatuan, perdamaian dan keutuhan NKRI
Penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI berakhir apabila telah dilakukan pencabutan penetapan status keadaan konflik. Atau berakhirnya jangka waktu status keadaan konflik. Demikian Pasal 34 ayat (1) dan (2) Undang-Undang ini menyebutkan.

Pemulihan Pascakonflik
Pemulihan Pascakonflik adalah serangkaian kegiatan untuk mengembalikan keadaan dan memperbaiki hubungan yang tidak harmonis dalam masyarakat akibat Konflik melalui kegiatan rekonsiliasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Pasal 33 mewajibkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk melakukan upaya Pemulihan Pascakonflik secara terencana, terpadu, berkelanjutan, dan terukur melalui upaya rekonsiliasi; rehabilitasi; dan rekonstruksi.

 Menurut ketentuan Pasal 37, Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan rekonsiliasi antara para pihak dengan cara perundingan secara damai, pemberian restitusi, dan/atau pemaafan. Rekonsilias  dapat dilakukan dengan Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial atau Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial.

Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan rehabilitasi di daerah pascakonflik dan daerah terkena dampak Konflik sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya. Pelaksanaan rehabilitasi  dimaksud meliputi: (a) pemulihan psikologis korban Konflik dan pelindungan kelompok rentan; (b) pemulihan kondisi sosial, ekonomi, budaya, keamanan, dan ketertiban; (c) perbaikan dan pengembangan lingkungan dan/atau daerah perdamaian; (d) penguatan relasi sosial yang adil untuk kesejahteraan masyarakat; (e) penguatan kebijakan publik yang mendorong pembangunan lingkungan dan/atau daerah perdamaian berbasiskan hak masyarakat; (f) pemulihan ekonomi dan hak keperdataan, serta peningkatan pelayanan pemerintahan; (g) pemenuhan kebutuhan dasar spesifik perempuan, anak-anak, lanjut usia, dan kelompok orang yang berkebutuhan khusus; (h) pemenuhan kebutuhan dan pelayanan kesehatan reproduksi bagi kelompok perempuan;
(i) peningkatan pelayanan kesehatan anak-anak; dan (i) pemfasilitasian serta mediasi pengembalian dan pemulihan aset korban Konflik.

Pasal 39 menugaskan Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan rekonstruksi, sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya. Pelaksanaan rekonstruksi  dimaksud meliputi: (a)  pemulihan dan peningkatan fungsi pelayanan publik di lingkungan dan/atau daerah pascakonflik; (b) pemulihan dan penyediaan akses pendidikan, kesehatan, dan mata pencaharian; (c) perbaikan sarana dan prasarana umum daerah Konflik; (d) perbaikan berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi; (e) perbaikan dan penyediaan fasilitas pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar spesifik perempuan, anak-anak, lanjut usia, dan kelompok orang yang berkebutuhan khusus; (f) perbaikan dan pemulihan tempat ibadah.

KELEMBAGAAN DAN MEKANISME PENYELESAIAN KONFLIK
Kelembagaan penyelesaian Konflik, menurut Pasal 40,  terdiri atas Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial, serta Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial.

Pasal 41 menentukan bahwa Penyelesaian Konflik dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan mengedepankan Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial yang ada dan diakui keberadaannya. Penyelesaian Konflik melalui mekanisme ini difasilitasi oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota dengan melibatkan aparatur kecamatan dan kelurahan/desa setempat. Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengakui hasil penyelesaian Konflik melalui mekanisme Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial. Hasil kesepakatan penyelesaian Konflik melalui mekanisme ini memiliki kekuatan yang mengikat bagi kelompok masyarakat yang terlibat dalam Konflik. Apabila  penyelesaian Konflik melalui mekanisme Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial tidak dapat diselesaikan, maka penyelesaian Konflik dilakukan oleh Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial.

Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial, menurut Pasal 42,  merupakan lembaga penyelesaian Konflik yang bersifat ad hoc  dibentuk oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dalam hal: (a) tidak ada Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial di daerah Konflik; (b)    tidak berfungsinya Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial di daerah Konflik; (c) tidak berjalannya mekanisme musyawarah untuk mufakat melalui Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial; (d) tidak tercapainya kesepakatan melalui mekanisme musyawarah Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial; dan (e) telah ditetapkannya Status Keadaan Konflik.

Adapun Tugas Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial bertugas menyelesaikan Konflik sosial melalui musyawarah untuk mufakat. Penyelesaian Konflik melalui musyawarah untuk mufakat mengikat bagi kelompok masyarakat yang terlibat dalam Konflik. Dalam hal penyelesaian Konflik) tidak tercapai, penyelesaiannya dilakukan melalui pengadilan.

Dalam melaksanakan tugas tersebut di atas, Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial menyelenggarakan fungsi: (a) pencarian fakta dan pemberian kesempatan kepada pihak yang berkonflik untuk menyampaikan fakta dan penyebab terjadinya Konflik; (b) pencarian data atau informasi di instansi pemerintah dan/atau swasta terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (c) koordinasi dengan instansi terkait untuk memberikan pelindungan kepada korban, saksi, pelapor, pelaku, dan barang bukti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (d) perumusan opsi yang dapat disepakati dengan mempertimbangkan kepentingan pihak yang berkonflik; (e) perumusan kesepakatan yang telah dicapai; (f) penghitungan jumlah kerugian dan besaran kompensasi, restitusi, rehabilitasi, dan/atau rekonstruksi; (g) penyampaian rekomendasi kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dalam upaya rehabilitasi dan Pemulihan Pascakonflik; dan (h)  penyampaian laporan akhir pelaksanaan tugas dan fungsi Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial kepada Pemerintah/Pemerintah Daerah dengan tembusan kepada DPR/DPRD.

Pasal 45 menentukan Pembentukan, Penetapan, dan Pembubaran Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial. Pembentukan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial dilakukan melalui mekanisme: (a) pembentukan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial untuk menyelesaikan Konflik skala kabupaten/kota dilakukan oleh bupati/wali kota; (b) pembentukan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial untuk menyelesaikan Konflik skala provinsi dilakukan oleh gubernur; dan/atau (c) pembentukan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial untuk menyelesaikan Konflik skala nasional diusulkan oleh menteri yang membidangi koordinasi urusan politik, hukum, dan keamanan kepada Presiden.

Jika keadaan Konflik skala kabupaten/kota meningkat menjadi keadaan Konflik skala provinsi, Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial kabupaten/kota tidak dengan sendirinya dibubarkan. Demikian juga apabila keadaan Konflik skala provinsi meningkat menjadi keadaan Konflik skala nasional, Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial kabupaten/kota dan provinsi tidak dengan sendirinya dibubarkan.

Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial berakhir apabila: (a) Konflik telah diselesaikan melalui musyawarah untuk mufakat; atau (b) penyelesaian Konflik diajukan oleh pihak yang berkonflik melalui pengadilan. Penyelesaian Konflik selama proses di pengadilan difasilitasi oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. Fasilitasi dimaksud  mencakup pemantauan, pengendalian, dan pengamanan terhadap pihak yang berkonflik tanpa intervensi terhadap proses peradilan.

Keanggotaan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial kabupaten/kota terdiri atas unsur Pemerintah Daerah dan masyarakat yang terdiri atas: (a) bupati/wali kota;  (b) ketua DPRD kabupaten/kota; (c) instansi Pemerintah dan/atau satuan kerja perangkat daerah sesuai dengan kebutuhan; (e) kepala kepolisian resor; (f) komandan distrik militer/komandan satuan unsur TNI; dan (g) kepala kejaksaan negeri. Unsur masyarakat terdiri atas  tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, pegiat perdamaian, dan  wakil pihak yang berkonflik.

Lalu, Keanggotaan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial provinsi terdiri atas unsur Pemerintah Daerah dan masyarakat terdiri atas: (a) gubernur; (b) ketua DPRD provinsi; (c) instansi Pemerintah dan/atau satuan kerja pemerintah daerah provinsi sesuai dengan kebutuhan; (d) kepala kepolisian daerah; (e) panglima daerah militer/komandan satuan unsur TNI; (f) kepala kejaksaan tinggi; dan  (g) unsur Pemerintah Daerah pada Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial skala kabupaten/kota.
Unsur masyarakat terdiri atas: tokoh agama,  tokoh adat,  tokoh masyarakat, pegiat perdamaian,  dan wakil pihak yang berkonflik dari Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial skala kabupaten/kota.

Kemudian, Keanggotaan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial skala nasional terdiri atas unsur Pemerintah dan masyarakat terdiri atas: (a) kementerian yang membidangi koordinasi urusan politik, hukum, dan keamanan; (b)  koordinasi urusan kesejahteraan rakyat; (c)  urusan dalam negeri; (d)  urusan pertahanan; (e) kementerian yang membidangi urusan keuangan negara; (f) kementerian yang membidangi urusan kesehatan; (g) kementerian yang membidangi urusan sosial; (h) kementerian yang membidangi urusan agama; (i)  Polri; (j) TNI; (k)  Kejaksaan Agung; (l) Badan Nasional Penanggulangan Bencana; (m) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia; (n) unsur Pemerintah Daerah dari Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial skala provinsi yang berkonflik; dan (o)  instansi pemerintah terkait lainnya sesuai dengan kebutuhan.

Unsur masyarakat terdiri atas  tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, pegiat perdamaian, wakil pihak yang berkonflik dari Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial skala provinsi,  dan  lembaga masyarakat lain yang terkait sesuai dengan kebutuhan.Penetapan unsur masyarakat dalam keanggotaan Satuan Tugas skala kabupaten/kota, provinsi dan nasional harus  mempertimbangkan ketokohan, integritas, dan moralitas dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 % (tiga puluh persen).

   
PERAN SERTA MASYARAKAT DAN PENDANAAN

Pasal 52 – Pasal 58 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Pengananan Konflik Sosial, menetapkan  peran serta masyarakat dan pendanaan.  Undang-undang ini menentukan bahwa masyarakat dapat berperan serta dalam Penanganan Konflik berupa pembiayaan, bantuan teknis, penyediaan kebutuhan dasar minimal bagi korban Konflik, dan/atau bantuan tenaga dan pikiran.

Kemudian mengenai pendanaan Penanganan Konflik yang digunakan untuk Pencegahan Konflik, Penghentian Konflik, dan Pemulihan Pascakonflik  menjadi tanggungjawab bersama Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang dialokasikan pada APBN dan/atau APBD sesuai dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawab masing-masing. Pemerintah mengalokasikan dana APBN untuk Pencegahan Konflik melalui anggaran kementerian/lembaga yang bertanggung jawab sesuai tugas dan fungsinya.  Pemerintah Daerah mengalokasikan dana APBD untuk Pencegahan Konflik melalui anggaran satuan kerja perangkat daerah yang bertanggung jawab sesuai tugas dan fungsinya.

Adapun pendanaan Penghentian Konflik dan rekonsiliasi pascakonflik diambil dari dana siap pakai pada APBN dan/atau dana belanja tidak terduga pada APBD oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sebagai unsur Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial yang dapat dipakai sewaktu-waktu secara langsung oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. Dana siap pakai ini bersumber dari dana bagian anggaran bendahara umum negara.

Pemerintah mengalokasikan dana pascakonflik melalui anggaran kementerian/lembaga yang bertanggung jawab sesuai tugas dan fungsinya. Lalu Pemerintah Daerah mengalokasikan dana pascakonflik melalui APBD. Dana pascakonflik digunakan untuk mendanai kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pada tahap pascakonflik yang terjadi di daerah.

Pemerintah Daerah yang daerahnya mengalami konflik dan memiliki keterbatasan kemampuan pendanaan dapat mengajukan permintaan dana pascakonflik kepada Pemerintah melalui dana alokasi khusus (DAK) dengan melampirkan kerangka acuan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pascakonflik beserta rencana anggaran biaya. Pengajuan dana pascakonflik  oleh Pemerintah Daerah  dikoordinasikan oleh kementerian yang membidangi urusan dalam negeri.

Pasal 61 Ketentuan Penutup Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, memberikan batas waktu kepada pemerintah untuk menetapkan peraturan pelaksanaan undang-undang ini paling lambat 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan. Undang-undang ini mendelegasikan kepada pemerintah untuk membuat 4 (empat) Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan mengenai tindakan darurat penyelamatan dan perlindungan korban, bantuan penggunaan kekuatan TNI, peran serta masyarakat dalam Penanganan Konflik, dan perencanaan, penganggaran, penyaluran, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban pengelolaan pendanaan Penanganan Konflik.

PENUTUP

Bangsa Indonesia telah memiliki pegangan dalam Penanganan Konflik Sosial sejak Presiden  menandatangani Undang-Undang 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial pada 10 Mei 2012. Undang-undang ini memuat 62 pasal yang mengatur tentang penanganan konflik sosial yang dilakukan melalui tiga tahapan. Yakni pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pascakonflik.

Dalam UU itu disebutkan pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban meredam potensi konflik dalam masyarakat, dan membangun sistem peringatan dini untuk mencegah konflik atau perluasan konflik di daerah yang sedang terjadi konflik melalui media komunikasi. Dalam hal konflik telah terjadi,  penghentian bisa dilakukan dengan  penggunaan tindakan kekerasan fisik; penetapan status keadaan konflik; tindakan darurat penyelamatan dan perlindungan korban; dan/atau bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI.

Namun, undang-undang ini juga menegaskan, dalam hal dilakukan tindakan kekerasan fisik, harus dikoordinasikan dan dikendalikan Polri; melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan/atau tokoh adat; dan harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Mengenai bantuan TNI, ditegaskan dalam status keadaan konflik skala kabupaten/kota, bupati/walikota dapat meminta bantuan penggunaan kekuatan TNI kepada Pemerintah. Sedangkan untuk skala provinsi, gubernur meminta bantuan penggunaan TNI kepada Pemerintah. Untuk skala nasional pengerahan TNI dilakukan dengan lebih dulu dilakukan konsultasi oleh Presiden kepada DPR.

Dengan adanya Undang-Undang Tentang Penanganan Konflik Sosial ini akan semakin menjamin kepada masyarakat Indonesia rasa aman, persatuan, perdamaian, dan yang pasti keutuhan wilayah NKRI diatas segalanya.


[1] Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Transformasi Konflik HAM, Balitbang HAM, Kemkumhan RI

1 komentar: