Oleh
Ajarotni Nasution, S.H., M.H.[1]
PENDAHULUAN
Sebelum
diamandemen, Pasal 28 UUD 45 menentukan bahwa “Kebebasan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan undang-undang.” Pasal ini mengandung arti bahwa kebebasan
berserikat adalah pemberian Negara melalui undang-undang. Amandemen UUD 1945
tahap ke-2 tahun 2000 mempertegas dan memperluas makna kebebasan berserikat
dalam UUD 45. Isi Pasal 28 tersebut tetap dipertahankan tetapi esensi kebebasan
berserikat ditegaskan bukan sebagai pemberian negara, tetapi sebagai bagian
dari hak asasi manusia yang melekat pada warga dan dihargai oleh Negara.
Pasal 28E ayat (3) menegaskan bahwa
“Setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” UUD 1945 memberikan jaminan
sangat tegas terhadap hak setiap orang atas kebebasan bersertikat, berkumpul
dan mengeluarkan pendapat. Dalam pelaksanaannya ada pengaturan lebih lanjut
dalam Pasal 28J ayat (2) yang berbunyi, “Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
dan kebebasan atas hak dan kebebasan orang lain dan memenuhi tuntutan yang adil
sesuai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Dalam rangka pengaturan lebih lanjut
dan pembatasan dalam undang-undang seperti yang dinaksud pasal 28J ayat (2) UUD
185 tersebut, harus pula diingat bahwa hak atas kemerdekaan berserikat dan
berkumpul seperti dimaksud dalam pasal 28E ayat (3) juncto Pasal 28 UUU 1945
tersebut di atas, terkait erat dengan hak atas kemerdekaan pikiran hati nurani.
Karena, kemerdekaan berserikat atau freedom
of association itu sendiri merupakan salah satu bentuk ekspresi pendapat
dan aspirasi atas ide-ide yang disalurkan dengan cara bekerjasama dengan orang
lain yang seide dan seaspirasi.[2]
Dalam UUD 1945, hak atas kemerdekaan
pikiran, pendapat, sikap dan hati nurani itu dijamin dengan tegas oleh pasal
28E ayat (2) yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.”
Ketentuan pasal ini dianggap sangat fundamental, sehingga digolongkan dalam
kelompok hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun
seperti yang ditentukan dalam pasal 28I ayat (1). Pasal ini menyatakan bahwa
“hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”
Kebebasan berserikat, atau lengkapnya
kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat, adalah conditio sine qua
non (prasyarat mutlak) bagi tegaknya mekanisme checks and balances yang dianut UUD 45. Pembagian kekuasaan antara
eksekutif, legislatif dan judikatif hanya akan bermakna bila ada kewenangan
untuk saling mengimbangi di antara cabang kekuasaan itu. Kemampuan saling
mengimbangi hanya akan mempunyai relevansi dengan aspirasi masyarakat luas bila
ada kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pikiran bagi warga.
Selanjutnya kebebasan berserikat juga merupakan landasan perkembangan demokrasi
yang sehat.
Jika kebebasan freedom of expression tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun,
maka seharusnya freedom of association
sebagai salah satu bentuk penyaluran freedom
of expression tersebut juga tidak dapat dikurangi. Karena itu pengaturan
menurut pasal 28 dan 28J, tidak boleh bersifat mengurangi kebebasan atas
berserikat itu. Pengaturan dan pembatasan itu harus benar-benar didasarkan atas
suatu reasonable ground (alasan
rasional yang masuk akal) dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.[3]
Jadi
yang diperlukan untuk memerinci ketentuan pasal 28 dan 28E ini adalah sebuah
undang-undang tentang kebebasan berserikat, bukan sebuah undang-undang yang
justru membatasinya. Apabila manusia dibiarkan mengejar kepentingannya masing-masing
dan bersaing tanpa batas, maka akan timbul
keadaan yang penuh pertentangan yang dapat merugikan masyarakat secara
keseluruhan.
PARTAI POLITIK
DALAM NEGARA DEMOKRASI
Menurut teori, apakah suatu negara
menjalankan atau tidak menjalankan demokrasi dapat ditilik dari sistem
kepartaiannya (Man and Society; 1968). Dalam demokrasi yang ideal, sistem
kepartaian membuka kesempatan kepada rakyat untuk mendapat kebebasan membuat
pilihan politik. Maka di negara-negara demokrasi, sedikitnya ada dua partai
untuk saling memperebutkan suara rakyat. Dalam
negara demokrasi, seluruh rakyat bebas menjalankan kehidupan masing-masing sesuai
aturan yang dibuat bersama.[4]
Pasal 1 ayat (2) UUD 45 mengatur bahwa ,
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar”. Demokrasi di negara Republik Indonesia adalah demokrasi konstitusional, demokrasi yang
dilaksanakan menurut ketentuan UUD.
Pancasila sebagai norma dasar yang terkandung dalam Pembukaan UUD
menjadi nilai dasar (value) dan moral
demokrasi bangsa Indonesia. Demikian pula penegasan Pasal 1 ayat (3) UUD 45
bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”, memberi kualifikasi bahwa
demokrasi di Indonesia bergerak dalam batasan hukum. Dalam hubungan ini, maka
batasan hukum bukanlah sekedar batasan hukum positif, tetapi batasan hukum yang
memenuhi rasa keadilan dalam lingkup nilai-nilai Pancasila.
Pembentukan partai-partai politik adalah
implementasi nyata dari kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan
pendapat. Kemudian, sebagai hasil berkembangnya kebebasan berserikat yang sehat
adalah terbentuknya organisasi kemasyarakatan dan partai politik yang menjadikan
masyarakat sipil lebih matang dan dewasa. Dalam konteks Indonesia maka yang diharapkan
adalah adanya partai politik yang
didukung oleh kebebasan berserikat dan berkumpul yang mengacu pada nilai-nilai
Pancasila.
Keberadaan partai politik merupakan
salah satu wujud pelaksanaan asas kedaulatan rakyat. Sebab dengan partai
politik itulah aspirasi rakyat yang beraneka ragam disalurkan. Apabila
kedaulatan rakyat ada di tangan rakyat, maka kekuasaan politik harus berasal
dari rakyat. Sebagai konsekwensinya, kepada rakyat harus diberikan kebebasan
mendirikan partai politik. Karena itu, diperlukan pembatasan hak berserikat
berdasarkan undang-undang, agar asas kedaulatan rakyat itu dapat diwujudkan
secara lebih baik.
Partai politik dan kebebasan kerap kali
disebut dalam satu nafas, seolah-olah keduanya bisa bertukar tempat tanpa
meninggalkan persoalan sedikit pun. Kehadiran partai politik selalu
diasosiasikan dengan kebebasan dan sebaliknya untuk mengamati kebebasan
perhatikanlah kehadiran partai politik dalam suatu negara. Intensitas kebebasan
dianggap berhubungan langsung dengan eksistensi kepartaian.
Kehadiran partai politik dalam sebuah
negara demokrasi, menurut Miriam Budiardjo, berfungsi sebagai : (i) sarana
komunikasi politiki; (ii) sarana sosialisasi politik (political socialization) (iii)
sarana rekruitmen politik (political
rekruitment), (iv) sarana pengatur
konflik (conlict management).[5]
Dengan sejumlah fungsi yang melekat
pada partai politik, kehadiran dan peranan partai politik amat penting dalam
kehidupan politik yang demokratis.
Karena partai politik menjadi salah satu sarana untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat,
mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang
saling bersaing, serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan politik secara
sah dan damai. Di samping itu partai politik juga dapat memperjuangkan
kepentingan warga konstituennya serta memberikan penjelasan kepada mereka
mengenai keputusan-keputusan politik yang diambil pemerintah. Jika
fungsi-fungsi tersebut bekerja dengan baik maka demokrasi akan berjalan dengan
sehat, jika sebaliknya maka kehidupan demokrasi akan mengalami ketidakstabilan.
Sebagai sarana komunikiasi politik, partai
politik berperan sangat penting dalam upaya mengaktualisasikan kepentingan
politik masyarakat. Berbagai kepentingan tersebut diserap sebaik-baiknya oleh
partai politik menjadi ide-ide, visi dan kebijakan yang kemudian dilaksanakan
sehingga diharapkan dapat mempengaruhi atau bahkan menjadi materi kebijakan
penting dalam melakukan sosialisasi politik. Ide, visi dan kebijakan partai
politik disosialisasikan kepada konstituen untuk mendapatkan umpan balik berupa
dukungan dari masyarakat. Dalam hubungan ini partai politik pun berperan
sebagai sarana pendidikan politik rakyat. Sebagai sarana rekruitmen politik,
parpol dapat diperankan sebagai kendaraan politik bagi para kadernya untuk
meraih jabatan/kedudukan politik dalam pemerintahan. Sebagai pengatur konflik,
partai politik berperan sebagai sarana yang menyalurkan berbagai kepentingan
melalui saluran lembaga politik.
Memang, kebebasan mendirikan partaipolitik
tanpa batas dapat menimbulkan persoalan
yang justru merugikan perkembangan demokrasi. Kalau memang jumlah partai harus
dibatasi, maka persoalannya kemudian adalah bagaimana caranya agar
partai-partai itu dapat memainkan perananannya secara wajar dan optimal baik
sebagai wahana penyalur aspirasi rakyat maupun sebagai sarana membangun
pemerintahan secara demokratis dari bawah, yang mampu menunjukkan bahwa negara
memang menganut asas kedaulatan rakyat.
Atas dasar itu, maka pengaturan yang
berpotensi menerobos atau bahkan melanggar hak asasi manusia, temasuk mengenai
organisasi partai politik, haruslah dilakukan melalui sebuah proses demokrasi,
yaitu dalam berupa undang-undang yang dibentuk bersama oleh DPR dengan Presiden.
UUD 45 menegaskan pengaturan dan pembatasan seperti itu hanya dapat dilakukan
dengan undang-undang (Pasal 28J ayat (2)
UUD 45), tidak dengan bentuk peraturan perundang-undangan lainnya.
PEMBENTUKAN PARTAI
POLITIK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
UUD 1945 mengamanatkan bahwa kemerdekaan
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat merupakan hak asasi manusia
yang harus dilaksanakan guna menumbuhkan semangat kebangsaan dalam NKRI yang
demokratis. Hak berserikat dan berkumpul ini diwujudkan dalam pembentukan
partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi dalam sistem politik
Indonesia. Namun, kebebasan berserikat
dalam membentuk partai politik di Indonesia memiliki batasan-batasan tertentu
agar tidak kebablasan dan mengancam persatuan di Indonesia. Oleh karena
itu, partai politik harus ditata untuk
mewujudkan sistem politik yang demokratis dan mendukung sistem pemerintahan yang
efektif.
Penataan partai politik diarahkan pada
dua hal utama, yaitu, pertama, membentuk sikap dan perilaku partai politik yang
terpola atau sistemik sehingga terbentuk budaya politik yang mendukung
prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi. Kedua, memaksimalkan fungsi-fungsi
partai politik baik fungsi partai politik terhadap negara maupun fungsi partai politik
terhadap rakyat. Untuk itu paling tidak dilakukan empat hal yaitu pertama, mengkondisikan
terbentuknya sistem multipartai sederhana, kedua, mendorong terciptanya
pelembagaan partai yang demokratis dan akuntabel, ketiga, mengkondisikan
terbentuknya kepemimpinan partai yang demokratis dan akuntabel, dan keempat
mendorong penguatan basis dan struktur kepartaian pada tingkat masyarakat.[6]
Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2
Tahun
2008 tentang Partai Politik, telah mengatur
hal-hal pokok, antara lain, tentang
penataan
dan penyempurnaan partai politik di Indonesia, yaitu persyaratan pembentukan
partai
politik, demokratisasi internal partai politik, perubahan AD dan ART, transparansi dan
akuntabelitas
pengelolaan keuangan partai politik, mempertahankan tingkat kesetaraan
gender,
rekrutmen dan pendidikan politik, pengelolaan keuangan partai politik dan
kemandirian
partai politik.
Pengertian partai politik, menurut Pasal
1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, adalah organisasi yang bersifat nasional
dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar
kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan
politik anggota masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945. Dari rumusan
pengertian partai politik ini menjadi jelas bahwa negara Indonesia memberikan
kebebasan berserikat yang seluas-luasnya kepada seluruh masyarakat Indonesia
untuk membentuk dan menyampaikan aspirasinya melalui partai politik.
Pembentukan
dan Pembubaran Partai Politik
Menurut
ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik,
partai politik didirikan dan dibentuk
oleh paling sedikit 30 orang warga negara Republik Indonesia yang telah berusia
21 tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi dengan menyertakan 30% (tiga
puluh perseratus) keterwakilan perempuan dalam kepengurusan tingkat pusat,
tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Setiap warga negara Republik Indonesia
dapat menjadi anggota partai politik apabila sudah berumur 17 (tujuh belas)
tahun atau sudah/pernah menikah. Status keanggotaan bersifat sukarela, tidak
diskriminatif dan terbuka bagi setiap warga negara Indonesia yang meyetujui AD
dan ART partai politik yang bersangkutan. Anggota mempunyai hak dalam
menentukan kebijakan serta hak memilih dan dipilih. Sementara kewajibannya adalah
mematuhi dan melaksanakan AD dan ART
serta berpartisipasi dalam kegiatan partai politik yang bersangkutan. Keanggotaan
partai politik berhenti apabila : (a) meninggal dunia; (b) mengundurkan diri
secara tertulis; (c) menjadi anggota partai politik lain; atau (d) melanggar AD
dan ART. Undang-undang ini menentukan
juga bahwa anggota partai politik yang menjadi anggota lembaga
perwakilan rakyat dapat diberhentikan keanggotaannya dari partai politik
diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat
sesuai dengan peraturan perundangundangan. Anggota partai politik yang berhenti
atau yang diberhentikan dari kepengurusan dan/atau keanggotaan partai politiknya
tidak dapat membentuk kepengurusan dan/atau partai politik yang sama.
Organisasi partai politik mempunyai
hubungan kerja yang bersifat hierarkis. Memiliki
kepengurusan tingkat pusat yang
berkedudukan di ibu kota negara, tingkat provinsi berkedudukan di ibu kota
provinsi; dan tingkat kabupaten/kota kota berkedudukan di ibu kota
kabupaten/kota, serta dapat memiliki kepengurusan sampai tingkat kelurahan/desa
atau sebutan lain. Kepengurusan di setiap tingkatan dipilih secara demokratis
melalui musyawarah sesuai dengan AD dan ART dengan memperhatikan kesataraan
gender. Kesetaraan dan keadilan gender dicapai melalui peningkatan jumlah
perempuan secara signifikan dalam kepengurusan partai politik. Pasal 20 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011,
mengharuskan kepengurusan partai politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota
keterwakilan perempuan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) yang diatur
dalam AD dan ART partai politik masing-masing. Kepengurusan partai politik
dapat membentuk badan/lembaga yang bertugas untuk menjaga kehormatan dan
martabat partai politik beserta anggotanya. Kekuasaan tertinggi atau kedaulatan
dalam partai politik berada di tangan para anggota yang dilaksanakan menurut AD
dan ART.
Dalam hal terjadi pergantian kepengurusan
partai politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART, susunan
kepengurusan hasil pergantian pusat didaftarkan ke Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia paling lama 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak terbentuknya kepengurusan yang baru. Paling lama 7
tujuh) hari terhitung sejak persyaratan diterima, Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia sudah memberikan keputusan
terdaftar kepada pengurus baru.
Pasal
32 menentukan, apabila terjadi perselisihan kepengurusan dalam partai politik,
akan diselesaikan secara internal oleh suatu mahkamah partai politik atau sebutan
lain yang dibentuk oleh partai politik. Susunan mahkamah partai politik atau
sebutan lain disampaikan oleh Pimpinan partai politik kepada Kementerian. Perselisihan
kepengurusan terjadi apabila pergantian kepengurusan partai politik yang
bersangkutan ditolak oleh paling rendah 2/3 (dua pertiga) dari jumlah peserta
forum tertinggi pengambilan keputusan partai politik. Perselisihan partai politik meliputi antara lain: (1) perselisihan yang
berkenaan dengan kepengurusan; (2) pelanggaran terhadap hak anggota partai politik;
(3) pemecatan tanpa alasan yang jelas; (4) penyalahgunaan kewenangan; (5)
pertanggung jawaban keuangan; dan/atau (6) keberatan terhadap keputusan partai
politik. Apabila terjadi perselisihan dalam kepengurusan, Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia belum dapat mengesahkan
perubahan kepengurusan sampai perselisihan terselesaikan.
Penyelesaian perselisihan internal
partai politik harus diselesaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari. Putusan dalam
hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan, bersifat final dan
mengikat secara internal. Apabila
penyelesaian perselisihan tidak tercapai, maka penyelesaian dilakukan melalui Pengadilan Negeri.
Pengadilan Negeri menyelesaikan paling lama 60 (enam puluh) hari sejak gugatan
perkara terdaftar di kepaniteraan. Putusan Pengadilan Negeri adalah putusan
tingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah
Agung. Di tingkat kasasi paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak memori kasasi
terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Agung
Partai politik dinyatakan bubar, menurut
Pasal 41 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, apabila: (a) membubarkan diri atas
keputusan sendiri berdasarkan AD dan ART; (b) menggabungkan diri dengan partai
politik lain; atau (c) dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Pembubaran partai
politik diberitahukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Menteri
mencabut status badan hukum partai politik yang bersangkutan dan mengumumkannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Partai politik dapat bergabung dengan
partai politik lain dengan cara: (a) menggabungkan diri membentuk partai
politik baru dengan nama, lambang, dan tanda gambar baru; atau (b)
menggabungkan diri dengan menggunakan nama, lambang, dan tanda gambar salah
satu partai politik. Partai politik baru hasil penggabungan harus memenuhi ketentuan pembentukan partai
politik, yaitu harus mendaftarkan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
untuk memperoleh status sebagai badan hukum. Kewajiban ini tidak berlaku bagi
partai politik yang menerima penggabungan.
Pendaftaran
Partai politik
Untuk menjadi badan
hukum, partai politik harus didaftarkan ke Kementerian Hukum dan Hak Manusia
oleh paling sedikit 50 orang pendiri yang mewakili seluruh pendiri partai
politik dengan persyaratan mempunyai : (a) akta notaris yang memuat AD dan ART serta kepengurusan partai politik
tingkat pusat; (b) nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai
persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda
gambar yang telah dipakai secara sah oleh Partai Politik lain sesuai dengan
peraturan perundang-undangan; (c) kepengurusan pada setiap provinsi dan paling
sedikit 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada
provinsi yang bersangkutan dan paling sedikit 50% (lima puluh perseratus)
darijumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan; (d) kantor tetap
pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir
pemilihan umum; dan (e) rekening atas
nama partai politik.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
menerima pendaftaran dan melakukan penelitian dan/atau verifikasi kelengkapan
dan kebenaran persyaratan pendirian dan pembentukan partai politik. Pelaksanaan
penelitian dan/atau verifikasi ini paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak
dokumen persyaratan secara lengkap diterima. Pengesahan partai politik menjadi
badan hukum dilakukan dengan Keputusan Menteri paling lama 15 (lima belas) hari
sejak berakhirnya proses penelitian dan/atau verifikasi. Kemudian Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia mengumumkan keputusan tentang pengesahan partai politik dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Dalam hal terjadi perubahan AD dan ART,
karena dinamika dan kebutuhan partai politik, harus didaftarkan ke Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia RI paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
perubahan tersebut terjadi dengan menyertakan akta notaris mengenai perubahan
AD dan ART. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengesahkan perubahan dimaksud
dengan Keputusan Menteri paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak
dokumen persyaratan secara lengkap diterima dan selanjutnya mengumumkan dalam
Berita Negara Republik Indonesia. Dalam AD, setiap partai politik dapat
mencantumkan asas dan ciri tertentu sesuai dengan kehendak dan cita-cita partai
politik yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Asas dan ciri
Partai Politik merupakan penjabaran dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Tujuan
dan Fungsi Patai Politik
Selanjutnya
Pasal 10 menentukan, tujuan partai politik adalah (a)
mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945; (b) menjaga dan memelihara keutuhan NKRI; (c) mengembangkan
kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan
rakyat dalam NKRI; dan (d) mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat
Indonesia. Ini tujuan umum, sedangkan tujuan khusus partai politik meliputi :
(a) meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka
penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan; (b) memperjuangkan cita-cita
partai politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan (c)
membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
Kemudian Pasal 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011
menenetukan bahwa partai politik berfungsi sebagai sarana : (a) pendidikan
politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia
yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara; (b) penciptaan iklim yang
kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;
(c) penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam
merumuskan dan menetapkan kebijakan negara; (d) partisipasi politik warga
negara Indonesia; dan (e) rekruitmen politik dalam proses pengisian jabatan
politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan
keadilan gender.
Mengenai fungsi pendidikan partai
politik, Pasal 31 menentukan bahwa partai politik melakukan pendidikan politik
bagi masyarakat sesuai dengan ruang lingkup tanggung jawabnya dengan memperhatikan
keadilan dan kesetaraan gender dengan tujuan, antara lain : (a) meningkatkan
kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara; (b) meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif
masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan (c)
meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter bangsa dalam
rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Pendidikan politik dimaksud
dilaksanakan untuk membangun etika dan budaya politik sesuai dengan Pancasila.
Fungsi rekruitmen partai politik, Pasal
29 (1) menentukan bahwa partai politik melakukan rekruitmen terhadap warga
negara Indonesia untuk menjadi: (a) anggota partai politik; (b) bakal calon
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dilaksanakan
melalui seleksi kaderisasi secara demokratis sesuai dengan AD dan ART dengan
mempertimbangkan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan
perempuan.(c) bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan
secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD dan ART serta peraturan
perundang-undangan.; dan (d) bakal calon Presiden dan Wakil Presiden dilakukan
secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD dan ART serta peraturan
perundang-undangan.
Hak
dan Kewajiban Partai Politik
Dalam Pasal 12
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, menentukan hak-hak partai politik, yaitu : (a)
memperoleh perlakuan yang sama, sederajat, dan adil dari negara; (b) mengatur
dan mengurus rumah tangga organisasi secara mandiri; (c) memperoleh hak cipta
atas nama, lambang, dan tanda gambar partai politik;(d) ikut serta dalam
pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah; (e) membentuk fraksi di tingkat Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota; (f) mengajukan calon untuk mengisi
keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. (g) mengusulkan
pergantian antarwaktu anggotanya di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah; (h) mengusulkan
pemberhentian anggotanya di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah; (i) mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, calon
gubernur dan wakil gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon
walikota dan wakil walikota; (j) membentuk dan memiliki organisasi sayap Partai
Politik; dan (k) Parpol berhak memperoleh bantuan keuangan dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD). Bantuan tersebut diberikan secara proporsional kepada parpol yang
mendapatkan kursi di DPR dan DPRD yang penghitungannya berdasarkan jumlah
perolehan suara, bukan jumah kursi.
Selain memiliki hak-hak sebagaimana
tersebut di atas, partai politik juga mempunyai beberapa kewajiban, yaitu : (a)
mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD 1945, dan peraturan perundang-undangan;
(b) memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
(c) berpartisipasi dalam pembangunan nasional; (d) menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi,
dan hak asasi manusia; (e) melakukan
pendidikan politik dan menyalurkan aspirasi politik anggotanya; (f) menyukseskan
penyelenggaraan pemilihan umum; (g) melakukan pendaftaran dan memelihara
ketertiban data anggota; (h) membuat pembukuan, memelihara daftar penyumbang
dan jumlah sumbangan yang diterima,
serta terbuka kepada masyarakat; (i) menyampaikan laporan pertanggungjawaban
penerimaan dan pengeluaran keuangan yang bersumber dari dana bantuan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah secara
berkala 1 (satu) tahun sekali kepada Pemerintah setelah diperiksa oleh Badan
Pemeriksa Keuangan; (j) memiliki rekening khusus dana kampanye pemilihan umum;
dan (k) menyosialisasikan program partai politik kepada masyarakat.
Dalam kaitan dengan bantuan keuangan
dari APBN dan APBD, partai politik wajib menyampaikan laporan
pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran kepada Badan Pemeriksaan Keuangan
(BPK) secara berkala 1 (satu) tahan sekali untuk diaudit paling lambat 1 (satu)
bulan setelah tahun anggaran berakhir. Hasil audit disampaikan kepada partai
politik paling lambat 1 (satu) bulan setelah diaudit. Tidak melaksanakan
kewajiban ini, dikenai sanksi administratif berupa penghentian bantuan APBN dan
APBD sampai laporan diterima oleh Pemerintah dalam tahun anggaran berkenaan.
Keuangan
Partai Politik
Faktor dana atau keuangan dalam dunia
perpolitikan sangat menentukan dalam berfungsinya pengurus dan kepengurusan
serta proses pelembagaan partai politik. Keuangan partai politik bersumber
dari: (a) iuran anggota; (b) sumbangan yang sah menurut hukum yang dapat berupa
uang, barang dan atau jasa; dan (c)
bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah. Bantuan ini diberikan secara proporsional kepada
partai politik yang mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
kabupaten/kota yang penghitungannya berdasarkan jumlah perolehan suara. Bantuan
ini diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota partai
politik dan masyarakat. Pendidikan politik di sini berkaitan dengan kegiatan: (a) pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan
bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia; (b) pemahaman mengenai hak dan kewajiban warga negara
Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik; dan (c) pengkaderan anggota
partai politik secara berjenjang dan berkelanjutan.
Partai politik dapat menerima sumbangan
yang sah menurut hukum dari (a) perseorangan anggota partai politik yang
pelaksanaannya diatur dalam AD dan ART; (b) perseorangan bukan anggota partai politik,
paling banyak senilai Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per orang dalam
waktu 1 (satu) tahun anggaran; dan (c) perusahaan dan/atau badan usaha, paling
banyak senilai Rp 7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah) per
perusahaan dan/atau badan usaha dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran. Sumbangan ini didasarkan pada prinsip
kejujuran, sukarela, keadilan, terbuka, tanggung jawab, serta kedaulatan dan
kemandirian partai politik. Setiap orang atau badan usaha yang melanggar
ketentuan ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan
denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang disumbangkannya. Pengurus partai
politik yang menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan
usaha yang melebihi ketentuan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang diterima.
Keuangan yang diterima partai politik
merupakan pendapatan yang dapat digunakan untuk pengeluaran dalam pelaksanaan
program, mencakup pendidikan politik, dan operasional sekretariat partai
politik. Penerimaan dan pengeluaran keuangan dikelola melalui rekening kas umum
partai politik. Pengurus di setiap tingkatan melakukan pencatatan atas semua
penerimaan dan pengeluaran keuangan dan menyusun laporan pertanggungjawaban
penerimaan dan pengeluaran keuangan setelah tahun anggaran berkenaan berakhir.
Hasil pemeriksaan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan
terbuka untuk diketahui masyarakat.
Pengelolaan keuangan partai politik
dilakukan secara transparan dan akuntabel dan
diaudit oleh akuntan publik setiap 1 (satu) tahun dan diumumkan secara
periodik, artinya dipublikasikan setiap setahun sekali melalui media massa.
Partai politik wajib membuat laporan keuangan untuk keperluan audit dana yang
meliputi (a) laporan realisasi anggaran partai politik; (b) laporan neraca; dan
(c) laporan arus kas.
Larangan
Partai Politik
Pasal 40 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2011 menenetukan bahwa partai politik dilarang :
1.
menggunakan nama, lambang, atau tanda gambar yang sama dengan: (a) bendera atau
lambang negara Republik Indonesia; (b) lambang lembaga negara atau lambang
Pemerintah; (c) nama, bendera, lambang negara lain atau lembaga/badan
internasional; (d) nama, bendera, simbol organisasi gerakan separatis atau
organisasi terlarang; (e) nama atau gambar seseorang; atau (f) yang mempunyai
persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda
gambar partai politik lain;
2.
melakukan : (a) kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan; atau (b)
kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
3. untuk : (a) menerima dari atau memberikan
kepada pihak asing sumbangan dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan; (b) menerima sumbangan berupa uang, barang,
ataupun jasa dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas; (c)
menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha melebihi
batas yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; (d) meminta atau menerima dana dari badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik desa atau dengan
sebutan lainnya; atau (e) menggunakan
fraksi di Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
kabupaten/kota sebagai sumber pendanaan Partai Politik;
4.
mendirikan badan usaha dan/atau memiliki
saham suatu badan usaha:
5.
menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham komunisme/ Marxisme-Leninisme.
Pelanggaran dan Sanksi
Pasal 47 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2011 menentukan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan pembentukan partai
politik, pendaftaran partai politik, asas partai politik bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945, dikenai sanksi
administratif berupa penolakan pendaftaran partai politik sebagai badan hukum
oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kepada partai politik yang
melanggar ketentuan tentang pembuatan pembukuan, memelihara daftar penyumbang
dan jumlah sumbangan secara tidak transparan dan terbuka, dapat dikenai sanksi
berupa teguran secara terbuka oleh Komisi Pemilihan Umum. Apabila suatu partai
politik lalai atau tidak membuat laporan keuangan, tidak memiliki rekening
khusus dana kampanye dan tidak membuat laporan neraca keuangan kepada KPU, maka dapat dikenani sanksi administratif
berupa prenghentian bantuan dari
anggaran negara. Pelanggaran terhadap ketentuan kewajiban memiliki rekening
khusus dana kampanye pemilihan umum, dikenai sanksi administratif berupa teguran
oleh Komisi Pemilihan Umum. Pelanggaran terhadap ketentuan kewajiban melakukan
pendidikan politik dan menyalurkan aspirasi politik anggotanya, dikenai sanksi
administratif yang ditetapkan oleh badan/lembaga yang bertugas untuk menjaga
kehormatan dan martabat partai politik beserta anggotanya.
Pasal 48 menetukan bahwa (a) Partai politik
yang telah memiliki badan hukum melanggar larangan menggunakan bendera atau
lambang negara RI, lambang-lambang negara atau lambang pemerintah, nama,
bendera, lambang negara lain atau lembaga/badan internasional, nama, bendera,
simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang, nama atau gambar
seseorang, atau yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
dengan nama, lambang, atau tanda gambar partai politik lain, dikenai sanksi
administratif berupa pembekuan
kepengurusan oleh Pengadilan Negeri. Pelanggaran terhadap ketentuan UUD 1945
dan peraturan perundang-undangan, atau kegiatan yang membahayakan keutuhan dan
keselamatan NKRI, dikenai sanksi administratif berupa pembekuan sementara partai
politik yang bersangkutan sesuai dengan tingkatannya oleh Pengadilan Negeri
paling lama 1 (satu) tahun. Partai Politik yang telah dibekukan sementara dan
melakukan pelanggaran lagi terhadap ketentuan larangan menerima dari atau
memberikan kepada pihak asing sumbangan dalam bentuk apapun yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, dibubarkan dengan putusan Mahkamah
Konstitusi.
Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap
ketentuan larangan menerima dari atau memberikan
kepada pihak asing sumbangan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, pengurus partai politik yang bersangkutan
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda 2 (dua) kali
lipat dari jumlah dana yang diterimanya. Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap
ketentuan: (a) menerima sumbangan berupa uang, barang, ataupun jasa dari pihak
mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas, (b) menerima sumbangan dari
perseorang dan atau perusahaan/badan usaha melebihi batas yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan, dan (c) meminta atau menerima dana dari badan
usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik desa atau
dengan sebutan lain, pengurus partai politik
yang bersangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan
denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang diterimanya. Pelanggaran
terhadap ketentuan larangan partai politik mendirikan badan usaha dan/atau
memiliki saham suatu badan usaha, dikenai sanksi administratif berupa pembekuan
sementara kepengurusan partai politik yang bersangkutan sesuai dengan
tingkatannya oleh Pengadilan Negeri serta aset dan sahamnya disita untuk
negara. Pelanggaran terhadap ketentuan larangan partai politik menganut dan
mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham komunisme/Marxisme-Leninisme,
dikenai sanksi pembubaran partai politik oleh Mahkamah Konstitusi.
PENUTUP
Dari semua yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa kebebasan
berserikat yang diamanahkan oleh Undang-Undang Dasar 1945, antara lain, telah
diimplementasikan dalam pembentukan partai politik dengan pembatasan-pembatasan
yang diatur di dalam Undang-Undang No.2
Tahun 2011. Implementasi kebebasan berserikat yang terdapat di dalam Undang-Undang
Dasar 1945 memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat Indonesia
untuk membentuk partai politik dan menyuarakan apa yang menjadi kepentingannya.
Asalkan sesuai dengan ketentuan yang telah diatur di dalam Undang-Undang No. 2
Tahun 2011 tersebut.
Dalam sebuah negara demokrasi, partai politik
dibentuk sebagai cerminan representasi politik dalam masyarakat dan merupakan
bagian dari mekanisme demokrasi politik. Oleh sebab itulah aktivitas dan dinamika
kehidupan partai politik perlu diorientasikan bagi peningkatan kualitas
demokrasi. Pelembagaan demokrasi perlu diperkokoh dengan penguatan kelembagaan partai-partai
politiknya.
Partai politik memiliki fungsi-fungsi
yang terkait dengan upaya peningkatan kualitas kehidupan demokrasi, yakni
sebagai berikut: sarana agregasi politik; sarana komunikasi politik; sarana
sosialisasi politik; sarana rekruitmen politik; sarana pendidikan politik; dan
sarana pengatur konflik politik. Partai-partai politik di negeri ini perlu
mengaktifkan fungsi-fungsinya secara optimal, dan tidak hanya terfokus pada
fungsi rekruitmen politik semata, tetapi juga fungsi-fungsi penting lainnya,
terutama fungsi pendidikan politik.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang
Partai Politik, telah mengakomodasikan
beberapa
pradigma baru sejalan dengan menguatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Undang-undang
ini mengatur hal-hal pokok tentang penataan dan penyempurnaan partai
politik
di Indonesia, yaitu persyaratan pembentukan, demokratisasi internal, perubahan
AD
dan
ART, transparansi dan akuntabelitas
pengelolaan keuangan partai politik, rekrutmen dan
pendidikan
politik, mempertahankan tingkat kesetaraan gender, pengelolaan keuangan dan
kemandirian
partai politik.
Sehubungan dengan hal tersebut, perlu
adanya pengawasan pemerintah dalam menjalankan ketentuan Undang-Undang No.2
Tahun 2011 tentang Partai Politik, agar kebebasan berserikat yang
diimplementasikan di dalamnya benar benar
dapat dilaksanakan dan menghasilkan
proses politik yang baik. Juga perlu memberikan penyuluhan dan sosialisasi
mengenai kebebasan berserikat yang dituangkan di dalam Undang-Undang No.2 Tahun
2011.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Miriam
Budiardjo, 2004, Dasar Dasar Ilmu Politik,
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Sigit Pamungkas,
2011, Partai Politik, Teori dan Praktek
di Indonesia, Yogyakarta : Perum
Griya Saka Permai
Jimly
Asshiddiqie, 2006, Kemerdekaan
Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan
Magkamah konstitusi,
Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI
..............,
2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara
Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta :
Buana Ilmu Populer
Yusril Ihza
Mahendra, 1996, Dinamika Tatanegara
Indonesia, Kompilasi Aktual Masalah
Konstitusi Dewan Perwakilan dan
Sistem Kepartaian, Jakarta : Bina Insani
Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik.
[1] Kepala Pusat Penelitian
dan Pengembangan Transformasi Konflik
Hak Asasi Manusia, Balitbangham, Kemkumhan RI
[2] Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Bersxerikat, Pembubaran Partai
Politik, dan Mahkamah Konstitusi, Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, Jakarta, 2006, hal. 11
[3] Ibid
[4] Tuti Adhitama, Pencerahan Partai
Politik, Media Indonesia, 8 April 2011
[5] Miriam Budiardjo, Dasar Dasar Ilmu Politik, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2004, hal. 163
[6] Penjelasan umum
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undsang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar