Minggu, 01 September 2013

HAK MEMPEROLEH KEADILAN DALAM PERSPEKTIF PENERAPAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH



Oleh : Ajarotni Nasution, S.H., M.H*


PENDAHULUAN
       Negara Indonesia adalah Negara hukum[1]. Menurut Stahl, konsep Negara hukum yang disebut dengan istilah “rechtsstaat” mencakup empat elemen penting, yaitu:[2]  perlindungan hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, pemerintahan berdasarkan undang-undang dan  peradilan tata usaha negara. Atas dasar ciri-ciri negera hukum ini menunjukkan bahwa ide sentral negara hukum adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang bertumpu kepada prinsip kebebasan dan persamaan.
       Sehubungan dengan pernyataan tersebut, khususnya elemen perlindungan hak asasi manusia, secara konstitusional negara Indonesia telah menjamin, menghormati, menjunjung tinggi dan melindungi Hak Asasi Manusia. Sebelum dilakukan perubahan, UUD 1945 dapat dikatakan tidak mencatumkan secara tegas mengenai jaminan Hak Asasi Manusia.  Tetapi setelah UUD 1945 diamandemen, terutama amandemen kedua tahun 2000, ketentuan mengenai HAM dalam UUD 1945 telah mengalami perubahan yang mendasar. UUD 1945 perubahan ini telah memuat materi HAM yang diatur dalam pasal 28A ayat (1) sampai dengan pasal 28j ayat (2). Materi yang berkaitan dengan hak memperoleh keadilan terdapat dalam pasal 28D yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Selain itu, pasal 28I ayat (1)  juga menyebutkan hak atas pengakuan sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak ini merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikuragi dalam keadaan apapun.
       Dalam rangka menegakkan butir-butir hak asasi manusia tersebut, telah diatur pula kewajiban orang lain untuk menghormati hak asasi orang lain serta tanggung jawab Negara atas tegaknya hak asasi manusia, khususnya hak memperoleh keadilan. Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Demikian juga pasal 28I ayat (5) yang menyatakan bahwa untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Kemudian pengaturan kewajiban orang lain untuk menghormati hak asasi orang lain terdapat dalam Pasal 28J ayat (1) yang menyebutkan bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Juga dalam Pasal 28J ayat (2) menyebutkan bahwa dalam menjalankan hak dan kewajibannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta  untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
       Ketentuan-ketentuan tentang hak asasi manusia yang terdapat dalam UUD 1945 tersebut, merupakan substansi yang berasal dari rumusan Tap.MPR No. XVII/MPR/1998, yang selanjutnya menjelma menjadi materi Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
       Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 telah merumuskan  pengertian  hak asasi manusia, yaitu seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[3] Terdapat sepuluh elemen hak yang melekat pada hak asasi manusia, yaitu:[4] (1) hak untuk hidup; (2) hak berkeluarga; (3) hak mengembangkan diri; (4) hak memperoleh keadilan; (5) hak atas kebebasan pribadi; (6) hak atas rasa aman; (7) hak atas kesejahteraan; (8)  hak atas turut serta dalam pemerintahan; (9)  hak wanita; dan (10) hak anak.        
       Dalam rangka pemenuhan hak memperoleh keadilan, sebagaimana yang disebut angka (4) di atas, dilakukan tanpa diskriminasi dengan cara mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara perdata, pidana maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.[5] Dalam proses pemenuhan hak memperoleh keadilan berlaku asas:[6] (1) presumption of innocence (praduga tidak bersalah); (2) Nullum Delictum Siena Previa Lege Poenale (tidak ada kesalahan tanpa diatur lebih dahulu dalam undang-undang sebelum tindak pidana dilakukan); (3) ketentuan yang lebih menguntungkan (dalam hal terjadi perubahan peraturan perundang-undangan); (4) mendapat bantuan hukum; (5) Ne Bis In Idem  (tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama).            
       Instrumen hukum  di Indonesia yang berhubungan dengan hak asasi manusia, khususnya jaminan hak memperoleh keadilan di bidang hukum pidana sebenarnya sudah memadai. Jumlah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penegakan hak asasi manusia sudah cukup banyak. Sarana fisik lembaga penegak hukum sudah sampai ke tingkat Kabupaten/Kota, Kecamatan dan Desa  sudah tersedia. Rekrutmen aparatur penegak hukum hampir setiap tahun dilakukan dengan standar pendidikan dan seleksi yang terus diperketat.
       Kalau paranata, sarana dan aparat penegak  hukum sudah memadai. Lalu permasalahan yang dihadapi bukan lagi masalah substansi atau materi hukum, namun masalah lain. Masalah hukum yang menjadi tuntutan masyarakat sebenarnya adalah masalah penerapan dan penegakan hukum yang sudah ada.  Hukum tanpa penegakan bukan apa-apa, yang memberi makna pada hukum adalah aparat hukum dan masyarakat. Tanpa substansi hukum atau hukum yang kurang jelas pun sebenarnya hukum dapat ditegakkan, karena sudah menjadi tugas para  hakim untuk menciptakan hukum.[7] Hal ini sejalan dengan ungkapan Profesor Taverne, “Berilah aku hakim yang baik, jaksa yang baik dan polisi yang baik, maka dengan hukum yang buruk sekalipun akan memperoleh hasil yang lebih baik”.
       Salah satu esensi pokok tugas penegakan hukum adalah tegaknya hukum dan keadilan.  Keadilan adalah sesuatu nilai dan rasa yang bersifat nisbi atau relatif. Apa yang adil bagi seseorang atau suatu kelompok, belum tentu dirasakan adil bagi orang lain. Oleh karena itu perlu diketahui hukum dan keadilan yang bagaimana yang hendak ditegakkan di Negara Hukum Republik Indonesia, sesuai dengan apa yang menjadi tujuan KUHAP?  Bagaimana proses peradilan pidana yang adil dan mewujudkan kebenaran dan keadilan yang dikehendaki di negara hukum?Atau kemana kita menguji hukum dan keadilan yang hendak ditegakkan.
       Tujuan KUHAP diundangkan adalah untuk menegakkan  hukum dan keadilan di tengah-tengah kehidupan masyarakat bangsa. Oleh karena itu, untuk mewujudkan sistem peradilan pidana yang adil dan benar sesuai dengan tujuan dan harapan masyarakat, sangat relevan apabila dilakukan kajian mengenai penerapan asas praduga tidak bersalah dalam proses peradilan pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).                                          
       Tujuan pembahasan mengenai hak memperoleh keadilan ini adalah untuk menjelaskan asas praduga tidak bersalah dan asas-asas lain yang berhubungan dengan masalah itu, di mana asas-asas itu memberikan banyak pelajaran tentang persamaan dan kebebasan manusia di mata hukum dan perlindungan atau pemeliharaan terhadap hak-hak pencari keadilan. Dengan cara yang demikian  akan dapat membantu mempertajam sudut pandang pada hal-hal yang relevan dan secara umum pengetahuan ini akan bermanfaat bagi masyarakat.

KEADILAN DI NEGARA HUKUM REPUBLIK INDONESIA

         Kata adil berasal dari bahasa Arab “adl”, akar kata dari ‘adala ya’dilu ‘adlan, yang maknanya kira-kira sama dengan justice dalam bahasa Inggeris, yaitu keadilan. Dengan demikian kata adil dalam budaya Indonesia merupakan serapan dari bahasa asing. Dalam kamus bahasa Indonsia kata adil diartikan dengan tidak berat sebelah/tidak memihak,  berpihak kepada kebenaran, dan sepatutnya/tidak sewenang-wenang. Pengertian semacam ini mengisyaratkan keadilan sebagai adanya keseimbangan[8].  
Keadilan adalah salah satu sifat hukum yang hakiki. Tuntutan keadilan itu mempunyai dua arti. Dalam arti formal kedilan menuntut bahwa hukum berlaku umum. Dalam arti materilal, keadilan menuntut agar hukum sesesuai mungkin dengan cita-cita keadilan dalam masyarakat. Keadilan juga menuntut agar semua orang dalam situasi sama diperlakukan dengan sama. Jadi di hadapan hukum semua orang sama derajatnya. Semua orang berhak atas perlindungan hukum dan tidak ada orang yang kebal terhadap hukum. Ini yang disebut asas kesamaan hukum atau kesamaan kedudukan di hadapan hukum. Namun biasanya bila berbicara tentang keadilan hukum, maka  maksudnya adalah keadilan dalam artian material : isi hukum itu harus adil. Isi hukum yang tidak mau adil, bukan hukum namanya. Yang diperlukan dan diakui masyarakat bukan sembarang tatanan normatif, melainkan suatu tatanan yang menunjang kehidupan bersama berdasarkan apa yang dinilai baik dan wajar. Maka arah pelaksanaan keadilan adalah konstitutif atau merupakan prasyarat hakiki bagi hukum.
Untuk menentukan apa hukum itu adil atau tidak, perlu diperhatikan kenyataan yang ada di dalam masyarakat. Jadi yang dipersoalkan  bukanlah pertanyaan etis tentang apa kriteria objektif keadilan, melainkan apa yang dianggap masyarakat adil. Di sini berbicara tentang legitimasi sosiologi hukum dan bukan tentang legitimasi etis. Dan oleh karena itu tuntutan keadilan dapat diterjamahkan ke dalam tuntutan bahwa hukum harus sesesuai mungkin dengan cita-cita keadilan dalam masyarakat yang bersangkutan[9]. 
       Tentang menegakkan hukum dan keadilan. Yang patut dan wajib diperhatikan bahwa hukum itu hanya sebagai sarana dan bukan tujuan. Tujuannya adalah menegakkan keadilan. Dan tentang keadilan itu ada pada hati nurani masing-masing. Jadikan hati nurani tolok ukur dalam menerapkan hukum dan peraturan undang-undang, apakah sudah sesuai dengan rasa keadilan. Sebagai sarana diakui ada peraturan tertulis dan yang tidak tertulis. Perhatikan tentang tanggung jawab hakim : memutus atas nama Tuhan Yang Maha Esa; memutus sebagai hakim yang bijaksana dan bertanggung jawab pertama kepada Tuhan Yang Maha Esa; mengadili, menemu dan merumus hukum yang sesuai dengan rasa keadilan di kalangan rakyat.[10]
       Negara Indonesia adalah negara Hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta  yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan  pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak  ada kecualinya[11]. Menyimak  pernyataan ini, dapat diketahui bahwa hukum acara pidana adalah undang-undang yang berdasarkan asas legalitas. Artinya semua tindakan penegakan hukum harus berdasarkan ketentuan hukum, menempatkan kepentingan hukum di atas segala-galanya.  Sehingga terwujud suatu kehidupan masyarakat yang selaras dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan dan rasa keadilan bangsa Indonesia.
        Dengan asas legalitas, para aparat penegak hukum tidak dibenarkan bertindak  sewenang-wenang. Setiap orang, tersangka ataupun terdakwa, mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat di hadapan hukum (equal before teh law), mempunyai kedudukan perlindungan yang sama oleh hukum (equal protection of law) serta mendapat perlakuan keadilan  yang sama di bawah hukum (equal justice of law).
       Pembangunan  hukum nasional dibidang  acara pidana  adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya serta untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan UUD 1945.[12] Dari pernyataan ini, dapat disimpulkan bahwa dalam setiap penegakan hukum harus berlandaskan asas keseimbangan yang serasi antara perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dengan kepentingan dan ketertiban masyarakat. Oleh karena itu setiap aparat penegak hukum harus mampu  mempertahakan kepentingan masyarakat, sekaligus harus menjunjung tinggi kemanusiaan dan perlindungan kepentingan anggota masyarakat. Dengan demikian dalam setiap penegakan hukum, aparat penegak hukum sudah semestinya menggunakan cara-cara pendekatan yang manusiawi yang berlandaskan pada sila Ketuhanan YME dan  sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. 
           Dari uraian di atas, jelas bahwa titik senteral penegakan hukum di Indonesia menurut KUHAP harus berorientasi pada  asas keseimbangan. Pada satu sisi aparat penegak hukum wajib melindungi harkat dan martabat hak asasi manusia seorang tersangka/terdakwa,  sedangkan pada sisi lain mereka berkewajiban melindungi dan mempertahankan kepentingan ketertiban umum. Bergeser dari landasan keseimbangan ini pasti akan menjurus ke arah orientasi kekuasaan dan bersifat sewenang-wenang. Akibatnya akan menghasilkan keadilan yang diperoleh melalui pemerasan dan penyiksaan.
        Dengan demikian keadilan yang hendak ditegakkan di negara hukum Republik Indonesia itu tiada lain dari pada nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah Pancasila, UUD 1945 serta nilai-nilai yang terdapat dalam perundang-undangan yang lain, yang nilai-nilainya aspiratif dengan nilai dan rasa keadilan masyarakat. Sedangkan cara menegakkan hukum dan keadilan dilakukan sesuai dengan tata pelaksanaan yang berpedoman kepada asas praduga tidak bersalah dan asas-asas lain yang ditentukan KUHAP[13].

PENERAPAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH 

       Dalam hukum acara pidana dikenal beberapa asas yang menjadi pedoman dalam penyelesaian perkara pidana. Kebanyakan asas ini  berada di luar rumusan peraturan perundang-undangan, namun terkadang asas ini secara tegas dirumuskan dalam pasal-pasal tertentu dalam suatu undang-undang. Asas-asas hukum ini ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Asas yang bersifat umum artinya asas yang dapat berlaku pada setiap tingkat pemeriksaan, mulai dari tingkat penyelidikan sampai dengan peneriksaan di sidang pengadilan. Sedangkan asas yang bersifat khusus adalah asas yang hanya berlaku pada tingkatan pemeriksaan tertentu[14].
         Salah satu asas pokok dalam proses peradilan pidana adalah asas praduga tidak bersalah atau presumtion of innocence. Asas ini bersifat umum, artinya dapat diterapkan di setiap tingkat pemeriksaan, mulai dari tingkat penyelidikan/penyidikan sampai dengan pemeriksaan di sidang pengadilan. Penjelasan KUHAP merumuskan pengertian asas praduga tidak bersalah, yaitu setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.[15]      
       Asas praduga tidak bersalah merupakan  pedoman kepada aparat penegak hukum untuk menempatkan tersangka/terdakwa sebagai subjek yang mempunyai harkat dan martabat dalam setiap tingkat pemeriksaan. Di sini yang menjadi objek pemeriksaan adalah kesalahan yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa. Dalam pemeriksaan, harus menjauhi cara-cara yang menempatkan tersangka/terdakwa sebagai objek yang dapat diperlakukan sewenang-wenang. Cara-cara ini sama sekali tidak memberi hak dan kesempatan bagi tersangka/terdakwa untuk membela diri. Sebab sejak semula sudah menganggap sebagai tersangka/terdakwa yang bersalah.
          Dalam rangka menegakkan asas praduga tidak bersalah ini, KUHAP telah memberikan seperangkat hak kepada tersangka/terdakwa. Dengan hak-hak ini, maka  sejak pemeriksaan permulaan, kedudukan tersangka/terdakwa sama derajatnya dengan pejabat pemeriksa. Hak-hak yang wajib dipenuhi dan dilindungi para aparat penegak hukum tersebut, antara lain, adalah sebagai berikut :
1. Hak untuk mengetahui dasar atau alasan penangkapan, penahanan dan atau     
    penjatuhan pidana terhadap dirinya[16].
2. Hak memperoleh ganti kerugian maupun rehabilitasi, apabila penangkapan,      
    penahanan atau pun penjatuhann pidana terhadap dirinya tidak berdasarkan
    hukum yang berlaku[17] .
3. Hak untuk memperoleh perlakuan yang manusiawi dan hak-hak  yang sesuai dengan  
    peraturan perundang-undangann yang berlaku selama masa penangkapan, penahanan  
    maupun selama menjalani pidana atas dirinya [18]. 
4. Penangkapan, penahanan dan penjatuhan pidana, pada hakekatnya perampasan
    kemerdekaan dan kebebasan secara pisik. Oleh karena itu, maka  hak-hak asasi yang
    sifatnya non fisik haruslah dipenuhi, dijunjung tinggi dan dihormati[19].
5. Hak untuk menyampaikan pokok pikiran, pendapat baik secara langsung maupun   
    secara tertulis[20].
6. Hak untuk diam, dalam arti tidak mengeluarkan pernyataan atau pengakuan dan tidak diperkenankan adanya tekanan-kekanan[21].
       Pelanggaran terhadap hak-hak tersebut, tersangka/terdakwa atau orang yang merasa haknya dilanggar dapat mengajukan  kepada praperadilan untuk menilai sah atau tidaknya  pelanggaran itu,  sekaligus dapat menuntut ganti rugi dan rehabilitasi.
       Untuk menyelamatkan manusia dari perampasan dan pembatasan hak-hak  asasi tersangka/terdakwa tanpa dasar dan demi tegaknya hukum dan keadilan, KUHAP telah memberikan batasan-batasan terhadap kewenangan yang diberikan undang-undang kepada para aparat penegak hukum. Pembatasan tersebut tercermin dalam beberapa  asas yang diuraikan berikut ini.

Pembatasan dalam Penangkapan
          KUHAP telah  memberikan wewenang kepada pejabat penegak hukum untuk membatasi kebebasan dan hak asasi manusia seseorang dalam bentuk penangkapan. Tindakan ini harus benar-benar diletakkan pada proporsi demi untuk kepentingan pemeriksaan.  Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan.
       Sekalipun KUHAP memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk menangkap, tetapi dalam pelaksanaannya diberikan batasan-batasan. Tindakan penangkapan baru bisa dilakukan apabila terdapat bukti permulaan yang cukup. Pada saat penangkapan, petugas harus membawa surat tugas dan surat perintah. Dengan menunjukkan  surat tersebut orang yang akan ditangkap dapat mengetahui nama orang yang akan ditangkap, pejabat yang menangkap dan pejabat yang  memerintahkan penangkapan, tindak pidana yang dipersangkakan dan akan dibawa kemana.  Sehingga dengan informasi ini orang yang akan ditangkap dan keluarganya merasa tenteram, karena semuanya jelas dan tidak menimbulkan kesan akan terjadi penculikan.
          Demikian pula dengan waktu penangkapan sudah dibatasi, tidak boleh lebih dari satu hari, dalam pengertian 24 hari. Lewat satu hari berarti sudah terjadi pelanggaran hukum dan penangkapan dengan sendirinya dianggap tidak sah. Sebagai konsekwensi hukumnya tersangka harus dilepas demi hukum. Bahkan  apabila batas waktu itu tetap dilanggar, tersangka atau penasehat hukumnya dapat memintakan pemeriksaan praperadilan tentang sah atau tidaknya penangkapan.

Pembatasan Penahanan
       Setiap penahanan dengan sendirinya menyangkut pembatasan dan pencabutan sementara sebagian hak-hak asasi manusia. Penahanan merupakan perampasan kebebasan dan kemerdekaan serta nilai-nilai perikemanusiaan dan harkat  diri peribadi. Oleh karena itu guna menyelamatkan nilai-nilai dasar hak asasi manusia dan demi tegaknya hukum dan keadilan, KUHAP telah menetapkan secara tegas dan terinci batas-batas kewewenang menahan yang boleh dilakukan oleh setiap jajaran aparat penegak hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan.
      Pada setiap tingkat pemeriksaan,  KUHAP telah memberikan kewenangan kepada jajaran aparat penegak hukum untuk menahan dengan batasan waktu tertentu. Pejabat penyidik dalam rangka penyidikan diberikan kewenangan menahan seorang tersangka selama 20 hari dan dapat diperpanjang 40 hari oleh penuntut umum; penuntut umum, untuk kepentingan membuat surat dakwaan, memiliki kewenangan menahan tersangka selama 20 hari dan dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri selama 30 hari; hakim Pengadilan Negeri, guna kepentingan pemeriksaan di pengadilan,  juga memiliki kewenangan menahan terdakwa selama 30 hari dan dapat diperpanjang  oleh Ketua Pengadilan Negeri selama 60 hari; hakim Pengadilan Tinggi berwewenang menahan terdakwa selama 30 hari dan dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Tinggi selama 60 hari; Demikian juga Hakim Agung berwenang melakukan penahanan terdakwa selama 50 hari dan dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung tidak lebih dari 60 hari.
       Dari uraian batas-batas waktu penahanan tersebut, diperoleh kepastian hukum bahwa seseorang tersangka/terdakwa yang dikenakan perintah penahanan, mulai dari penyidik sampai ke Mahkamah Agung, paling lama 400  hari. Setiap kali melebihi batas waktu kewenangan penahanan,  tahanan harus dilepaskan demi hukum.
       Memang tidak semua tindak pidana dapat dilakukan penahanan atas tersangka/terdakwa. KUHAP sudah menentukan kejahatan mana yang pelakunya dapat ditahan. Penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka/terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih (alasan obyektif). Alasan lain yang dapat dijadikan dasar penahanan adalah karena tersangka/terdakwa  dikhawatirkan akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau akan mengulangi tindak pidana (alasan subyektif).
       Dengan adanya asas praduga tidak bersalah ini, berarti memberikan penegasan bahwa hukum hanya memberikan kewenangan kepada hakim  untuk menghukum seseorang yang sudah dinyatakan bersalah. Kalau ada orang atau pejabat lain di luar hakim yang menghukum seseorang, hal itu sama artinya dengan mengambil alih kewenangan hakim, alias melakukan perbuatan main hakim sendiri. Perjalanan asas praduga tidak bersalah ini akan berakhir setelah ada putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap. Setelah terdakwa
       Hal lain yang menarik dari pembatasan kewenangan tersebut,  nampak adanya pengelompokan fungsi dan wewenang antar setiap instansi penegak hukum. Pengelompokan diatur sedemikian rupa, sehingga tetap terbina saling korelasi dan koordinasi dalam proses penegakan hukum yang saling berkaitan dan berkelanjutan antara satu instansi dengan instansi lain. Mulai dari taraf penyidikan oleh pihak kepolisian sampai dengan pelaksanaan putusan pengadilan oleh kejaksaan, selalu terjalin hubungan fungsi yang berkelanjutan, yang akan menciptakan suatu mekanisme saling mengawasi antara satu instansi dengan instansi penegak hukum lainnya yang saling terkait.

Peradilan dengan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan
            Asas ini menghendaki agar setiap pelaksanaan penegakan hukum di Indoensia berpedoman kepada asas : cepat, tepat, sederhana dan dengan biaya ringan. Tidak boleh berbelit-belit, apalagi ada unsur kesengajaan memperlambat penyelesaian kasus pidana, tentu kesengajaan ini merupakan perkosaan terhadap hukum dan martabat kemanusia. Jajaran penegak hukum harus  membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan[22].      
        Dapat dibayangkan betapa sengsaranya seorang tersangka/terdakwa yang menghadapi  ketidakpastian sangkaan atau dakwaan yang dituduhkan kepadanya. Untuk itu, KUHAP telah meletakkan asas  yang mengarahkan peradilan harus dilakukan dengan cepat, tepat dan sederhana. Tegaknya asas  ini ke dalam kenyataan, kembali kepada kesadaran moral aparat penegak hukum. Idealisme penegakan hukum oleh aparat penegak hukum itulah yang paling menentukan. Karena dengan dukungan idealisme yang kuat para aparat penegak hukum akan memahami kedudukan mereka bukan hanya sebagai alat kekuasaan, tapi  juga sebagai pelayan manusia. Kesadaran inilah yang dapat memotivasi mereka memberi dan melaksanakan hukum secara sepat, tepat dan sederhana.
      Beberapa ketentuan yang menjamin  pelaksanaan asas tersebut, antara lain, menyatakan bahwa tersangka/terdakwa berhak  segera mendapat pemeriksaan penyidik, diajukan ke penuntut umum oleh penyidik, diajukan ke pengadilan negeri oleh penuntut umum dan segera diadili oleh pengadilan[23]. Mengenai pelimpahan perkara agar terlaksana dengan tepat, diatur dalam tenggang waktu pengirimaman berkas perkara, misalnya  dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Tinggi sebagai tingkat banding ditentukan waktunya 14 hari dari tanggal permohonan banding[24]. Kemudian 7 hari sesudah diputus di tingkat banding, Pengadilan Tinggi harus mengembalikan ke Pengadilan Negeri[25]. Demikian pula halnya  pada tingkat Kasasi, 14 hari dari tanggal permohonan kasasi, Pengadilan Negeri harus sudah mengirimkan berkas perkara ke Mahkamah Agung (MA) untuk diperiksa di tingkat kasasi dan 7 hari setelah diputus, MA sudah harus dikirim ke Pengadilan Negeri[26].
       Sedangkan mengenai asas sederhana dan biaya ringan di dalam KUHAP dijabarkan sebagaimana diatur : penggabungan perkara pidana dengan tuntutan ganti rugi yang bersifat perdata oleh seorang korban yang mengalami kerugian akibat langsung tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa[27]; banding tidak dapat diminta terhadap putusan dalam acara cepat. Tidak kurang artinya sebagai pelasanaan dari perinsip mempercepat dan menyedehanakan proses penahanan.

PENCAPAIAN KEADILAN
              Di dalam upaya memeroleh keadilan yang asasi melalui pelaksanaan peradilan pidana, ada suatu istilah hukum yang dapat merupakan cita-cita peradilan pidana, yaitu doe process of law atau proses hukum yang adil. Benar dan adilnya penyelesaian perkara di depan sidang pengadilan bukan dilihat pada hasil akhir putusan yang dijatuhkan, tetapi harus dimulai sejak awal proses pemeriksaan dimulai. Apakah sejak tahap awal ditangani pengadilan memberi pelayanan sesuai dengan ketentuan hukum acara. Dengan kata lain, apakah proses pemeriksaan perkara sejak awal sampai akhir benar-benar proses hukum yang adil. Apakah sejak awal sampai putusan dijatuhkan proses pemeriksaan dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana. Apabila sejak awal sampai putusan dijatuhkan sesuai dengan hukum acara pidana, berarti pengadilan telah melaksanakan dan menegakkan kebenaran dan keadilan.
       Putusan pengadilan merupakan bagian dari proses penegakan hukum yang bertujuan untuk memperoleh kebenaran dan keadilan. Putusan pengadilan merupakan produk penegak hukum yang didasarkan pada hal-hal yang relevan secara yuridis yang muncul secara sah di persidangan. Kualitas putusan pengadilan berhubungan dengan profesionalisme, kecerdasan moral dan kepekaan nurani hakim. Pertimbangan hukum yang dipakai hakim sebagai landasan dalam mengeluarkan amar putusan merupakan determinan dalam melihat kualitas putusan.
        Selaku pelaksana kekuasaan yudikatif, para hakim tidak boleh takut kepada suatu golongan atau kekuasaan pemerintahan, mereka hanya boleh takut kepada kemurkaan  Tuhan. Dengan demikian pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman yang berfalsafah Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan semata-mata untuk kepentingan hukum, keadilan dan peradilan serta ketertiban masyarakat semata. Tetapi lebih jauh dari itu, yaitu penegakan hukum yang mampu mewujudkan  tegaknya hukum, keadilan dan kebenaran serta ketertiban masyarakat lahir dan batin bagi seluruh anggota masyarakat.
       Untuk mencapai keadilan yang demikian, asas praduga tidak bersalah  dan asas-asas pokok lain yang mendukungnya  dalam tahapan persidangan harus ditegakkan. Beberapa asas yang mendukung penegakan asas  praduga tidak bersalah dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan, adalah sebagaimana diuraikan berikut.


Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka
       Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh dan campur tangan kekuasaan di luar kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman yang demikian sudah dijaminan[28]. Kemudian jaminan ini diperkuat lagi dalam undang-undang yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indoensia[29]. Dengan penegasan ini semakin jelas kedudukan kekuasaan kehakiman, yaitu,  kekuasaan peradilan yang bebas dan merdeka.
         Dengan kebebasan dan kemerdekaan, akan dapat dicapai peradilan yang objektif, jujur dan tidak memihak. Peradilan yang  mengejar kebenaran materil, mampu menghargai harkat dan martabat manusia serta melindungi hak-hak asasi tersangka/terdakwa. Namun dalam memahami kebebasan dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman ini, para hakim harus menyadari dan menghayati bahwa kekuasaan yang bebas  dan merdeka itu adalah kekuasaan negara.
         Selain itu, peradilan adalah satu-satunya instansi tertinggi dan terakhir yang berwenang memutuskan sesuatu tindakan benar atau salah, berdasar hukum atau tidak, dan menentukan hukum apa yang berlaku terhadap suatu peristiwa. Dari rumusan ini, hukum melarang setiap orang atau golongan untuk memberi pendapat atau tafsiran yang mendahului putusan peradilan mengenai sesuatu kasus yang sedang diperiksa. Hal ini bukan berarti masyarakat dan pers dilarang melakukan sosial kontrol. Perjalanan asas praduga tidak bersalah belum berakhir. Masyarakat dan pers boleh saja melakukan kontrol, asal jangan mendahului putusan peradilan. Masayakat baru boleh mengatakan seseorang penipu, koruptor, pencuri, dan sebagainya setelah ada putusan hakim, karena undang-undang hanya memberikan kewenangan kepada hakim untuk menyatakan seseorang telah melakukan tindak pidana.
.
Asas Peradilan Terbuka untuk Umum
          Peradilan terbuka untuk umum penting artinya dalam pelaksanaan penegakan hukum. Oleh karena itu pasal-pasal KUHAP yang mendukung asas ini mengarahkan tindakan penegakan hukum di Indonesia harus dijiwai oleh  jiwa persamaan dan keterbukaan serta penerapan sistem musyawarah dan mufakat dari majelis hakim dalam mengambil putusan. Dengan landasan persamaan hak dan kedudukan antara tersangka/terdakwa dengan aparat penegak hukum, ditambah dengan sifat keterbukaan perlakuan oleh aparat hukum kepada tersangka/terdakwa, tidak ada dan tidak boleh dirahasiakan segala sesuatu pemeriksaan terhadap diri tersangka/terdakwa. Semua hasil pemeriksaan kesalahan yang disangkakan kepada sejak mulai pemeriksaan penyidikan harus terbuka kepada tersangka.
        Untuk mempertegas tentang adanya asas ini dalam penegakan hukum, maka pemeriksaan di pengadilan harus terbuka untuk umum.[30] Pada saat membuka persidangan pemeriksaan seorang terdakwa, hakim ketua majelis  yang memimpin sidang harus menyatakan : ”sidang dibuka dan terbuka untuk umum”. Pelanggaran atas ketentuan ini mengakibatkan putusan pengadilan batal demi hukum. Tentu ada pengecualian sepanjang mengenai perkara yang menyangkut kesusilaan atau anak-anak. Dalam hal ini persidangan dilakukan dengan pintu tertutup. Alasannya, karena perkara kesusilaan dianggap masalah yang sangat peribadi dan tidak pantas diungkapkan di muka umum. Demikian juga terhadap anak-anak yang melakukan tindak pidana secara filosofis sifatnya kenakalan. Oleh karena itulah pemeriksaan dilakukan secara tertutup. Jika persidangan dilakukan terbuka dikhawatirkan akan membawa akibat psikologis yang tidak menguntungkan bagi si anak.
          Selain itu,  KUHAP juga memperlihatkan adanya landasan asas demokrasi dalam penegakan hukum. Hal ini terlihat dari ketentuan yang mengatur bahwa hakim dilarang menunjukkan sikap dan atau mengeluarkan pernyataan tentang keyakinannya mengenai salah tidaknya terdakwa dalam pemeriksaan persidangan. Selama sidang belum ditutup, hakim dilarang melontarkan ucapan atau sikap pernyataan salah terhadap terdakwa. Salah tidaknya terdakwa baru dapat dinyatakan setelah hakim menutup pemeriksaan. Dan saat yang diperbolehkan untuk menyatakan salah tidaknya terdakwa hanya dapat dilakukan hakim pada saat  mengucapkan putusan perkara; hakim wajib menjaga supaya jangan sampai melakukan pertanyaan-pertanyaan yang bisa mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara tidak bebas; tidak seorang hakim pun diperkenankan mengadili perkara yang ia sendiri mempunyai kepentingan di dalamnya, baik langsung maupun tidak langsung; putusan diambil oleh majelis hakim berdasarkan musyawarah dan mufakat; apabila kata sepakat tidak tercapai putusan diambil berdasarkan suara terbanyak; jika suara terbanyak juga tidak diperoleh, putusan harus diambil berdasarkan pendapat paling menguntungkan terdakwa;
       Demikianlah beberapa ketentuan KUHAP yang menunjukkan bahwa KUHAP bukan hanya berperinsip terbuka untuk umum saja, tetapi sikap dan jiwa demokrasi harus  hadir pada setiap tingkat pemeriksaan, dengan jalan menghayati sifat-sifat keterbukaan.

Peradilan atas Hadirnya Terdakwa
       Asas ini melarang pemeriksaan dan pemutusan perkara secara di luar hadirnya terdakwa. Oleh karena itu pengadilan memeriksa dan memutus perkara pidana, terdakwa dan saksi  harus hadir di muka persidangan. Di sini hakim dan terdakwa ataupun para saksi berada dalam satu sidang yang tidak dibatasi sekat apapun. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk membela diri sebelum hakim menjatuhkan putusan. Hakim menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana, setelah terlebih dahulu  diberikan kesempatan untuk membela diri. Dengan demikian, kehadiran terdakwa dan saksi dalam suatu persidangan pengadilan mutlak sifatnya, tanpa hadirnya terdakwa peangdilan tidak mungkin dilakukan.
       Dengan asas ini diharapkan informasi atau keterangan langsung diberikan terdakwa, tanpa melalui perantara. Sehingga dapat dijamin kebenarannya sekaligus memberikan jaminan perlindungan hak-hak asasi terdakwa. Lagi pula seandainya pemeriksaan tanpa hadirnya terdakwa, akan timbul kecendrungan untuk memilih jalan pintas memutus perkara tanpa hadirnya terdakwa Akibatnya akan bamuara ke arah putusan pengadilan yang kurang dapat dipertanggung jawabkan ditinjau dari segi kebenaran dan keadilan.

Peradilan Majelis
       Semua peradilan memeriksa dan memutus dengan sekurang-kurangnya tiga orang hakim. Peradilan dilakukan dengan majelis hakim yang terdiri dari sekurang-kurangnya tiga orang hakim. Maksud persidangan majelis ini untuk dapat mewujudkan keputusan peradilan yang objektif. Inilah ide yang sebenarnya bahwa dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh majelis akan diharapkan pemeriksaan dapat dilakukan dengan lebih teliti, dan akan lebih menjamin terhindar dari kecerobohan, kealpaan dan kehilapan.

Asas Kebenaran Materil
       Dalam pemeriksaan perkara pidana lebih mementingkan penemuan kebenaran materil. Artinya suatu kebenaran yang benar-benar sesuai  kenyataan yang sesungguhnya. Asas ini nampak dalam proses peradilan, di mana pengakuan terdakwa tidak dapat dijadikan alasan untuk menjatuhkan putusan, tapi pengakuan itu perlu didukung oleh  alat bukti. Pengakuan dalam proses perkara pidana  bukan sebagai suatu kebenaran, melainkan hanya sebagai petunjuk yang masih perlu dibuktikan dengan alat bukti saksi atau barang bukti lainnya.
         Selain asas-asas yang diuraikan di atas, kekuasaan peradilan di dalam melaksanakan fungsi dan wewenangnya harus dijalankan : ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[31] Bertitik tolak dari landasan filosofis ini, cita-cita dan tujuan pelaksanaan peradilan di Indonesia adalah untuk mengwujudkan keadilan yang berdasarkan Ketuhana yang Maha Esa. Yaitu wujud keadilan dan kebenaran yang diridhoi Tuhan, bukan keadilan dan kebenaran yang dimurkai Tuhan. Oleh karena itu setiap putusan yang diambil oleh hakim harus mempertanggungjawabkan langsung kepada Tuhan Yang Maha Esa, bukan kepada atasannya atau masyarakat. Dengan demikian fungsi pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Indonesia, bukan untuk dan atas nama kepentingan penguasa maupun kepentingan tegaknya hukum saja.
       Demikianlah penerapan asas praduga tidak bersalah beberapa asas lainnya yang mendukung dalam proses peradilan pidana. Tentu masih ada asas yang lain. Semua asas tersebut sama pentingnya. Namun tidak berlebihan untuk mengatakan prinsip kekuasaan peradilan yang paling pokok ialah asas kekuasaan  peradilan yang bebas  dan merdeka. Sehingga kekuasaan peradilan itu benar-benar sebagai kekuasaan kehakiman yang independen tanpa pengaruh dan campur tangan dari luar peradilan. Demikian pun kebebasan bukanlah tanpa tujuan dan tanpa batas. Setiap kebebasan yang tidak mempunyai tujuan dan tanpa batas bukan lagi kebebasan, tetapi berobah menjadi kejaliman dan kesewenang-wenangan. Kebebasan kehakiman yang mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan kekuasaan negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan.

PENUTUP

        Dari uraian tersbut di atas, dapat disimpulkan bahwa  hak memperoleh keadilan, sebagai salah satu elemen hak asasi manusia, telah diakui dalam negara hukum Indonesia. UUD 1945 dan beberapa peraturan perundang-undangan telah memberikan jaminan pemenuhannya. Bahkan KUHAP dengan  Asas praduga tidak bersalah dan asas-asas pendung lainnya telah memberikan arahan yang jelas dalam rangka pencapaian keadilan melalui proses peradilan pidana yang adil.
       Keadilan yang hendak ditegakkan di negara hukum Republik Indonesia adalah keadilan yang mengandung nilai-nilai falsafah Pancasila, UUD 1945 serta nilai-nilai yang terdapat dalam perundang-undangan yang lain, yang nilai-nilainya aspiratif dengan nilai dan rasa keadilan masyarakat. Sedangkan cara menegakkan hukum dan keadilan dilakukan sesuai dengan tata pelaksanaan yang berpedoman kepada asas praduga tidak bersalah dan asas-asas lain yang ditentukan KUHAP. Dengan demikian  titik senteral penegakan hukum di Indonesia adalah melalui proses peradilan pidana harus berorientasi pada  asas keseimbangan. Pada satu sisi aparat hukum wajib melindungi harkat dan martabat hak asasi manusia seorang tersangka/terdakwa, sedangkan pada sisi lain mereka berkewajiban melindungi dan mempertahankan kepentingan ketertiban umum. Bergeser dari landasan keseimbangan ini pasti akan menjurus ke arah orientasi kekuasaan dan bersifat sewenang-wenang. Akibatnya akan menghasilkan keadilan yang diperoleh melalui pemerasan dan penyiksaan.
       Pelaksanaan peradilan secara sadar selalu menuntut dipenuhinya prosedur-prosedur yang ditentukan dalam hukum acara. Tidak terpenuhinya prosedur baku yang diatur dalam hukum acara, dapat mengakibatkan proses peradilan itu menjadi batal dan tidak sah. Jajaran aparat penegak hukum yang terlibat aktif dalam prosedur-prosedur berperkara dalam peradilan mempunyai mandat hukum untuk melaksanakan tindakan  hukum. Setiap mandat hukum yang diberikan kepada para penegak hukum tersebut harus dilaksanakan secara profesional. Oleh karena itu setiap aparat penegak hukum perlu memiliki pengetahuan hukum yang mendalam, keterampilan teknik penerapan hukum yang cukup dan  integritas moral yang tinggi
       Kemudian eksistensi seorang penegak hukum tidak cukup hanya didukung oleh undang-undang yang mengharuskannya berlaku adil. Tapi yang terpenting, adalah sikapnya yang positif dan tangguh saat ia mengemban kekuasaan atau bertugas langsung sebagai penegak hukum. Oleh karena itu, jajaran aparat penegak hukum perlu menjaga tingkah laku dan integritasnya serta  memelihara kejujurannya. Sebab apabila penegak hukum sendiri tidak mampu melaksanakan tugasnya, terlebih kalau banyak diantara mereka yang justru melakukan pelanggaran hukum, hampalah cita-cita yang diuraikan dalam tulisan ini.
      Hal lain yang perlu dilaksanakan secara terus menerus adalah kegiatan sosialisasi dan diseminasi materi hak asasi manusia kepada kelompok masyarakat luas, baik yang rentan terhadap pelanggaran  maupun kelompok yang berpotensi melanggar hak asasi manusia.
       
      













DAFTAR KEPUSTAKAAN


Achmad Fauzan, 2004, Himpunan Undang-Undang Lengkap tentang Badan Peradilan,
                 Yrama Widya, Bandung.
Bagir Manan, 2007, Kekuasaan Kehakiman Indonesia dalam UU No. 4 Tahun 2004, FH
                 UII Press, Yogyakarta.
Bismar Siregar, 1999, Catatan Bijak Membela Kebenaran Menegakkan Keadilan, Rosda,
                 Bandung.
Darwan Prinst, 2001, Sosialisasi & Diseminasi Penegakan Hak Asasi Manusia,  Citra
                 Aditiya Bakti, Bandung.
Frans Magnis Suseno, 1994, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan
                 Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Jimly Asshiddiqie, 2009, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Bhuana Ilmu
                Populer, Jakarta.
Mardjono Reksodiputro, 1997, Bungan Rampai Permasalahan dalam Sistem Peradilan
                Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukuk Uniuversitas  
                Indonesia, Jakarta.
Mien Rukmini, 2003, Perlindungan HAM melalui Asas Praduga tidak Bersalah dan Asas
                Persamaan Kedudukan dalam Hukum pada Sistem Peradilan Pidana
                Indonesia, Alumni, Bandung.
Muladi (Editor), 2005, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep, dan Implikasinya dalam
                Prespektif  Hukum dan Masyarakat.
M.Yahya Harahap, 1985, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid I
                dan II, Pustaka Kartini, Jakarta.
Rusli Muhammad, 2006, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Raja Grafindo Persada,
               Jakarta.
St. Harum Pudjiarto, 1999, Hak Asasi Manusia Kajian Filosofis dan Implementasinya
                dalam Hukum Pidana di Indonesia, Universitas Admajaya, Yogyakarta.
Yusti Probowati Rahayu, 2005, Di Balik Putusan Hakim Kajian Psikologi Hukum Dalam  
                Perkara Pidana, Srikandi, Surabaya.



* Kepala Pusat Dokumentasi dan Jaringan Hukum Nasional, BPHN, Kementerian Hukum dan HAM
[1] UUD 1945, Pasal 1 ayat (3)
[2] Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Bina Ilmu Populer, Jakarta, 2009, hlm. 396
[3] Undang-undang Tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 angka 1
[4] Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia, pasal 6-66.
[5] Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia, pasal 17
[6] Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia, pasal 18-19
[7] Pasal 16 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
[8] M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Mizan, Bandung, 1996, hlm.111
[9] Frans Magnis Suseno, Etika Politik, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,1987, hlm.82
[10] Bismar Siregar, Catatan Bijak Membela Kebenaran Menegakkan Keadilan, Rosda, Bandung, 1999,
    hlm.55.
[11] KUHAP, Konsiderans Menimbang, Huruf a.
[12] KUHAP, Konsiderans Menimbang, huruf c.
[13] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid I, Pustaka Kartini, 1985,
    hlm.70
[14] Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Raja Grapindo Persada, Jakarta, 2006, hlm.41
[15] KUHAP, Penjelasan Umum, butir 3, huruf c.
[16] KUHAP, Pasal 50, Pasal 51, dan Pasal 59.
[17] KUHAP, Pasal 95 dan  Pasal 97.
[18] KUHAP, Pasal 52-68 dan Pasal 224, Pasal 259 dan Pasal 263
[19] KUHAP, Pasal 53-58, Pasal 66-68.
[20] KUHAP, Pasal 60-63
[21] KUHAP, Pasal 52
[22] Undang-undangan Kekuasaan Kehakiman, Pasal 5 ayat (1)
[23] KUHAP, Pasal 50
[24] KUHAP, Pasal 362
[25] KUHAP, Pasal 234.
[26] KUHAP, Pasal 275.
[27] KUHAP, Pasal 98.
[28] UUD 1945, Pasal 24.
[29] UU Kekuasaan Kehakiman, Pasal 1.
[30] KUHAP, Pasal 153 ayat 3
[31] Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 4.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar