Oleh : Ajarotni Nasution,
S.H., M.H*
PENDAHULUAN
Negara Indonesia adalah Negara
hukum[1].
Menurut Stahl, konsep Negara
hukum yang disebut dengan istilah “rechtsstaat”
mencakup empat elemen penting, yaitu:[2] perlindungan hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, pemerintahan
berdasarkan undang-undang dan peradilan
tata usaha negara. Atas
dasar ciri-ciri negera hukum ini menunjukkan bahwa ide sentral negara hukum
adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang bertumpu
kepada prinsip kebebasan dan persamaan.
Sehubungan dengan pernyataan
tersebut, khususnya elemen perlindungan hak asasi manusia, secara
konstitusional negara Indonesia telah menjamin, menghormati, menjunjung tinggi
dan melindungi Hak Asasi Manusia. Sebelum dilakukan perubahan, UUD 1945
dapat dikatakan tidak mencatumkan secara tegas mengenai jaminan Hak Asasi
Manusia. Tetapi setelah UUD 1945
diamandemen, terutama amandemen kedua tahun 2000, ketentuan mengenai HAM dalam
UUD 1945 telah mengalami perubahan yang mendasar. UUD 1945 perubahan ini telah
memuat materi HAM yang diatur dalam pasal 28A ayat (1) sampai dengan pasal 28j
ayat (2). Materi yang berkaitan dengan hak memperoleh keadilan terdapat dalam
pasal 28D yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum. Selain itu, pasal 28I ayat (1)
juga menyebutkan hak atas pengakuan sebagai pribadi di hadapan hukum dan
hak ini merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikuragi dalam keadaan
apapun.
Dalam rangka menegakkan butir-butir hak
asasi manusia tersebut, telah diatur pula kewajiban orang lain untuk
menghormati hak asasi orang lain serta tanggung jawab Negara atas tegaknya hak
asasi manusia, khususnya hak memperoleh keadilan. Pasal 28I ayat (4) UUD 1945
yang menyebutkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, pemenuhan hak asasi
manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Demikian juga pasal
28I ayat (5) yang menyatakan bahwa untuk menegakkan dan melindungi hak asasi
manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan
hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Kemudian pengaturan kewajiban orang lain untuk menghormati hak asasi orang lain
terdapat dalam Pasal 28J ayat (1) yang menyebutkan bahwa setiap orang wajib
menghormati hak asasi orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Juga dalam Pasal 28J ayat (2) menyebutkan bahwa dalam
menjalankan hak dan kewajibannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Ketentuan-ketentuan tentang hak asasi manusia
yang terdapat dalam UUD 1945 tersebut, merupakan substansi yang berasal dari
rumusan Tap.MPR No. XVII/MPR/1998, yang selanjutnya menjelma menjadi materi
Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 telah
merumuskan pengertian hak asasi manusia, yaitu seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[3]
Terdapat sepuluh elemen hak yang melekat pada hak asasi manusia, yaitu:[4]
(1) hak untuk hidup; (2) hak berkeluarga; (3) hak mengembangkan diri; (4) hak memperoleh keadilan; (5) hak
atas kebebasan pribadi; (6) hak atas rasa aman; (7) hak atas kesejahteraan;
(8) hak atas turut serta dalam
pemerintahan; (9) hak wanita; dan (10)
hak anak.
Dalam rangka pemenuhan hak memperoleh
keadilan, sebagaimana yang disebut angka (4) di atas, dilakukan tanpa
diskriminasi dengan cara mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik
dalam perkara perdata, pidana maupun administrasi serta diadili melalui proses
peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin
pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh
putusan yang adil dan benar.[5]
Dalam proses pemenuhan hak memperoleh keadilan berlaku asas:[6]
(1) presumption of innocence (praduga
tidak bersalah); (2) Nullum Delictum Siena
Previa Lege Poenale (tidak ada kesalahan tanpa diatur lebih dahulu dalam
undang-undang sebelum tindak pidana dilakukan); (3) ketentuan yang lebih
menguntungkan (dalam hal terjadi perubahan peraturan perundang-undangan); (4)
mendapat bantuan hukum; (5) Ne Bis In
Idem (tidak dapat dituntut untuk
kedua kalinya dalam perkara yang sama).
Instrumen hukum di Indonesia yang berhubungan dengan hak
asasi manusia, khususnya jaminan hak memperoleh keadilan di bidang hukum pidana
sebenarnya sudah memadai. Jumlah peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan penegakan hak asasi manusia sudah cukup banyak. Sarana fisik lembaga
penegak hukum sudah sampai ke tingkat Kabupaten/Kota, Kecamatan dan Desa sudah tersedia. Rekrutmen aparatur penegak hukum
hampir setiap tahun dilakukan dengan standar pendidikan dan seleksi yang terus
diperketat.
Kalau paranata, sarana dan aparat
penegak hukum sudah memadai. Lalu
permasalahan yang dihadapi bukan lagi masalah substansi atau materi hukum,
namun masalah lain. Masalah hukum yang menjadi tuntutan masyarakat sebenarnya
adalah masalah penerapan dan penegakan hukum yang sudah ada. Hukum tanpa penegakan bukan apa-apa, yang
memberi makna pada hukum adalah aparat hukum dan masyarakat. Tanpa substansi
hukum atau hukum yang kurang jelas pun sebenarnya hukum dapat ditegakkan,
karena sudah menjadi tugas para hakim
untuk menciptakan hukum.[7]
Hal ini sejalan dengan ungkapan Profesor Taverne, “Berilah aku hakim yang baik,
jaksa yang baik dan polisi yang baik, maka dengan hukum yang buruk sekalipun
akan memperoleh hasil yang lebih baik”.
Salah satu esensi pokok tugas penegakan
hukum adalah tegaknya hukum dan keadilan. Keadilan adalah sesuatu nilai dan rasa yang
bersifat nisbi atau relatif. Apa yang adil bagi seseorang atau suatu kelompok,
belum tentu dirasakan adil bagi orang lain. Oleh karena itu perlu diketahui
hukum dan keadilan yang bagaimana yang hendak ditegakkan di Negara Hukum
Republik Indonesia,
sesuai dengan apa yang menjadi tujuan KUHAP?
Bagaimana proses peradilan pidana yang adil dan mewujudkan kebenaran dan
keadilan yang dikehendaki di negara hukum?Atau kemana kita menguji hukum dan
keadilan yang hendak ditegakkan.
Tujuan KUHAP diundangkan adalah untuk
menegakkan hukum dan keadilan di tengah-tengah
kehidupan masyarakat bangsa. Oleh karena itu, untuk mewujudkan sistem peradilan
pidana yang adil dan benar sesuai dengan tujuan dan harapan masyarakat, sangat
relevan apabila dilakukan kajian mengenai penerapan asas praduga tidak bersalah
dalam proses peradilan pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 8
tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Tujuan pembahasan mengenai hak
memperoleh keadilan ini adalah untuk menjelaskan asas praduga tidak bersalah
dan asas-asas lain yang berhubungan dengan masalah itu, di mana asas-asas itu
memberikan banyak pelajaran tentang persamaan dan kebebasan manusia di mata
hukum dan perlindungan atau pemeliharaan terhadap hak-hak pencari keadilan. Dengan
cara yang demikian akan dapat membantu
mempertajam sudut pandang pada hal-hal yang relevan dan secara umum pengetahuan
ini akan bermanfaat bagi masyarakat.
KEADILAN DI NEGARA HUKUM
REPUBLIK INDONESIA
Kata adil berasal dari bahasa
Arab “adl”, akar kata dari ‘adala ya’dilu ‘adlan, yang maknanya kira-kira sama
dengan justice dalam bahasa Inggeris,
yaitu keadilan. Dengan demikian kata adil dalam budaya Indonesia merupakan
serapan dari bahasa asing. Dalam kamus bahasa Indonsia kata adil diartikan
dengan tidak berat sebelah/tidak memihak, berpihak kepada kebenaran, dan
sepatutnya/tidak sewenang-wenang. Pengertian semacam ini mengisyaratkan
keadilan sebagai adanya keseimbangan[8].
Keadilan adalah salah satu sifat hukum yang hakiki.
Tuntutan keadilan itu
mempunyai dua arti. Dalam
arti formal kedilan menuntut bahwa hukum berlaku umum. Dalam arti materilal, keadilan menuntut agar hukum
sesesuai mungkin dengan cita-cita keadilan dalam masyarakat. Keadilan juga menuntut
agar semua orang dalam situasi sama diperlakukan dengan sama. Jadi di hadapan
hukum semua orang sama derajatnya. Semua orang berhak atas perlindungan hukum
dan tidak ada orang yang kebal terhadap hukum. Ini yang disebut asas kesamaan
hukum atau kesamaan kedudukan di hadapan hukum. Namun biasanya bila berbicara
tentang keadilan hukum, maka maksudnya
adalah keadilan dalam artian material : isi hukum itu harus adil. Isi hukum
yang tidak mau adil, bukan hukum namanya. Yang diperlukan dan diakui masyarakat
bukan sembarang tatanan normatif, melainkan suatu tatanan yang menunjang
kehidupan bersama berdasarkan apa yang dinilai baik dan wajar. Maka arah
pelaksanaan keadilan adalah konstitutif atau merupakan prasyarat hakiki bagi
hukum.
Untuk menentukan apa hukum itu adil atau tidak, perlu
diperhatikan kenyataan yang ada di dalam masyarakat. Jadi yang dipersoalkan bukanlah pertanyaan etis tentang apa kriteria
objektif keadilan, melainkan apa yang dianggap masyarakat adil. Di sini berbicara tentang legitimasi
sosiologi hukum dan bukan tentang legitimasi etis. Dan oleh karena itu tuntutan
keadilan dapat diterjamahkan ke dalam tuntutan bahwa hukum harus sesesuai
mungkin dengan cita-cita keadilan dalam masyarakat yang bersangkutan[9].
Tentang menegakkan hukum dan
keadilan. Yang patut dan wajib diperhatikan bahwa hukum itu hanya sebagai
sarana dan bukan tujuan. Tujuannya adalah menegakkan keadilan. Dan tentang
keadilan itu ada pada hati nurani masing-masing. Jadikan hati nurani tolok ukur
dalam menerapkan hukum dan peraturan undang-undang, apakah sudah sesuai dengan
rasa keadilan. Sebagai sarana diakui ada peraturan tertulis dan yang tidak
tertulis. Perhatikan tentang tanggung jawab hakim : memutus atas nama Tuhan
Yang Maha Esa; memutus sebagai hakim yang bijaksana dan bertanggung jawab
pertama kepada Tuhan Yang Maha Esa; mengadili, menemu dan merumus hukum yang
sesuai dengan rasa keadilan di kalangan rakyat.[10]
Negara Indonesia adalah negara
Hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi
manusia serta yang menjamin segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya[11].
Menyimak pernyataan ini, dapat diketahui
bahwa hukum acara pidana adalah undang-undang yang berdasarkan asas legalitas.
Artinya semua tindakan penegakan hukum harus berdasarkan ketentuan hukum,
menempatkan kepentingan hukum di atas segala-galanya. Sehingga terwujud suatu kehidupan masyarakat
yang selaras dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan dan rasa keadilan
bangsa Indonesia.
Dengan asas legalitas, para aparat
penegak hukum tidak dibenarkan bertindak
sewenang-wenang. Setiap orang, tersangka ataupun terdakwa, mempunyai
kedudukan yang sama dan sederajat di hadapan hukum (equal before teh law), mempunyai kedudukan perlindungan yang sama
oleh hukum (equal protection of law)
serta mendapat perlakuan keadilan yang
sama di bawah hukum (equal justice of
law).
Pembangunan hukum nasional dibidang acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan
kewajibannya serta untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak
hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum,
keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban
serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan UUD
1945.[12]
Dari pernyataan ini, dapat disimpulkan bahwa dalam setiap penegakan hukum harus
berlandaskan asas keseimbangan yang serasi antara perlindungan terhadap harkat dan
martabat manusia dengan kepentingan dan ketertiban masyarakat. Oleh karena itu setiap
aparat penegak hukum harus mampu
mempertahakan kepentingan masyarakat, sekaligus harus menjunjung tinggi
kemanusiaan dan perlindungan kepentingan anggota masyarakat. Dengan demikian
dalam setiap penegakan hukum, aparat penegak hukum sudah semestinya menggunakan
cara-cara pendekatan yang manusiawi yang berlandaskan pada sila Ketuhanan YME
dan sila Kemanusiaan yang adil dan
beradab.
Dari uraian di atas, jelas bahwa titik senteral penegakan hukum di
Indonesia menurut KUHAP harus berorientasi pada
asas keseimbangan. Pada satu sisi aparat penegak hukum wajib melindungi
harkat dan martabat hak asasi manusia seorang tersangka/terdakwa, sedangkan pada sisi lain mereka berkewajiban
melindungi dan mempertahankan kepentingan ketertiban umum. Bergeser dari
landasan keseimbangan ini pasti akan menjurus ke arah orientasi kekuasaan dan
bersifat sewenang-wenang. Akibatnya akan menghasilkan keadilan yang diperoleh
melalui pemerasan dan penyiksaan.
Dengan demikian keadilan yang hendak ditegakkan di
negara hukum Republik Indonesia itu tiada lain dari pada nilai-nilai yang
terkandung dalam falsafah Pancasila, UUD 1945 serta nilai-nilai yang terdapat
dalam perundang-undangan yang lain, yang nilai-nilainya aspiratif dengan nilai
dan rasa keadilan masyarakat. Sedangkan cara menegakkan hukum dan keadilan
dilakukan sesuai dengan tata pelaksanaan yang berpedoman kepada asas praduga
tidak bersalah dan asas-asas lain yang ditentukan KUHAP[13].
PENERAPAN ASAS PRADUGA TIDAK
BERSALAH
Dalam hukum acara pidana
dikenal beberapa asas yang menjadi pedoman dalam penyelesaian perkara pidana.
Kebanyakan asas ini berada di luar
rumusan peraturan perundang-undangan, namun terkadang asas ini secara tegas
dirumuskan dalam pasal-pasal tertentu dalam suatu undang-undang. Asas-asas
hukum ini ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Asas yang
bersifat umum artinya asas yang dapat berlaku pada setiap tingkat pemeriksaan,
mulai dari tingkat penyelidikan sampai dengan peneriksaan di sidang pengadilan.
Sedangkan asas yang bersifat khusus adalah asas yang hanya berlaku pada
tingkatan pemeriksaan tertentu[14].
Salah satu asas pokok dalam
proses peradilan pidana adalah asas praduga tidak bersalah atau presumtion of innocence. Asas ini bersifat
umum, artinya dapat diterapkan di setiap tingkat pemeriksaan, mulai dari
tingkat penyelidikan/penyidikan sampai dengan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Penjelasan KUHAP merumuskan pengertian asas praduga tidak bersalah, yaitu setiap
orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka
sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.[15]
Asas praduga tidak bersalah merupakan
pedoman kepada aparat penegak hukum
untuk menempatkan tersangka/terdakwa sebagai subjek yang mempunyai harkat dan
martabat dalam setiap tingkat pemeriksaan. Di sini yang menjadi objek pemeriksaan adalah
kesalahan yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa. Dalam pemeriksaan, harus
menjauhi cara-cara yang menempatkan tersangka/terdakwa sebagai objek yang dapat
diperlakukan sewenang-wenang. Cara-cara ini sama sekali tidak memberi hak dan kesempatan
bagi tersangka/terdakwa untuk membela diri. Sebab sejak semula sudah menganggap
sebagai tersangka/terdakwa yang bersalah.
Dalam
rangka menegakkan asas praduga tidak bersalah ini, KUHAP telah memberikan
seperangkat hak kepada tersangka/terdakwa. Dengan hak-hak ini, maka sejak pemeriksaan permulaan, kedudukan tersangka/terdakwa
sama derajatnya dengan pejabat pemeriksa. Hak-hak yang wajib dipenuhi dan
dilindungi para aparat penegak hukum tersebut, antara lain, adalah sebagai
berikut :
1. Hak
untuk mengetahui dasar atau alasan penangkapan, penahanan dan atau
2. Hak
memperoleh ganti kerugian maupun rehabilitasi, apabila penangkapan,
penahanan atau pun penjatuhann pidana
terhadap dirinya tidak berdasarkan
hukum yang berlaku[17]
.
3. Hak untuk memperoleh perlakuan yang
manusiawi dan hak-hak yang sesuai
dengan
peraturan
perundang-undangann yang berlaku selama masa penangkapan, penahanan
maupun
selama menjalani pidana atas dirinya [18].
4.
Penangkapan, penahanan dan penjatuhan pidana, pada hakekatnya perampasan
kemerdekaan dan kebebasan secara pisik. Oleh
karena itu, maka hak-hak asasi yang
sifatnya non fisik haruslah dipenuhi,
dijunjung tinggi dan dihormati[19].
5. Hak
untuk menyampaikan pokok pikiran, pendapat baik secara langsung maupun
secara tertulis[20].
6. Hak
untuk diam, dalam arti tidak mengeluarkan pernyataan atau pengakuan dan tidak
diperkenankan adanya tekanan-kekanan[21].
Pelanggaran terhadap hak-hak tersebut, tersangka/terdakwa atau orang
yang merasa haknya dilanggar dapat mengajukan
kepada praperadilan untuk menilai sah atau tidaknya pelanggaran itu, sekaligus dapat menuntut ganti rugi dan
rehabilitasi.
Untuk
menyelamatkan manusia dari perampasan dan pembatasan hak-hak asasi tersangka/terdakwa tanpa dasar dan demi
tegaknya hukum dan keadilan, KUHAP telah memberikan batasan-batasan terhadap kewenangan
yang diberikan undang-undang kepada para aparat penegak hukum. Pembatasan
tersebut tercermin dalam beberapa asas
yang diuraikan berikut ini.
Pembatasan dalam Penangkapan
KUHAP telah memberikan wewenang
kepada pejabat penegak hukum untuk membatasi kebebasan dan hak asasi manusia
seseorang dalam bentuk penangkapan. Tindakan ini harus benar-benar diletakkan pada proporsi demi untuk
kepentingan pemeriksaan. Penangkapan
adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan
tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan
penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan.
Sekalipun
KUHAP memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk menangkap, tetapi
dalam pelaksanaannya diberikan batasan-batasan. Tindakan penangkapan baru bisa
dilakukan apabila terdapat bukti permulaan yang cukup. Pada saat penangkapan, petugas harus membawa surat
tugas dan surat perintah. Dengan menunjukkan surat tersebut orang yang akan ditangkap dapat
mengetahui nama orang yang akan ditangkap, pejabat yang menangkap dan pejabat
yang memerintahkan penangkapan, tindak
pidana yang dipersangkakan dan akan dibawa kemana. Sehingga dengan informasi ini orang yang akan
ditangkap dan keluarganya merasa tenteram, karena semuanya jelas dan tidak
menimbulkan kesan akan terjadi penculikan.
Demikian pula dengan waktu penangkapan sudah
dibatasi, tidak boleh lebih dari satu hari, dalam pengertian 24 hari. Lewat
satu hari berarti sudah terjadi pelanggaran hukum dan penangkapan dengan
sendirinya dianggap tidak sah. Sebagai konsekwensi hukumnya tersangka harus dilepas demi hukum.
Bahkan apabila batas waktu itu tetap dilanggar,
tersangka atau penasehat hukumnya dapat memintakan pemeriksaan praperadilan
tentang sah atau tidaknya penangkapan.
Pembatasan Penahanan
Setiap
penahanan dengan sendirinya menyangkut pembatasan dan pencabutan sementara
sebagian hak-hak asasi manusia. Penahanan merupakan perampasan kebebasan dan kemerdekaan serta nilai-nilai
perikemanusiaan dan harkat diri
peribadi. Oleh karena itu guna menyelamatkan nilai-nilai dasar hak asasi
manusia dan demi tegaknya hukum dan keadilan, KUHAP telah menetapkan secara tegas
dan terinci batas-batas kewewenang menahan yang boleh dilakukan oleh setiap
jajaran aparat penegak hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan.
Pada
setiap tingkat pemeriksaan, KUHAP telah memberikan
kewenangan kepada jajaran aparat penegak hukum untuk menahan dengan batasan
waktu tertentu. Pejabat penyidik dalam rangka penyidikan diberikan kewenangan
menahan seorang tersangka selama 20 hari dan dapat diperpanjang 40 hari oleh
penuntut umum; penuntut umum, untuk kepentingan membuat surat dakwaan, memiliki
kewenangan menahan tersangka selama 20 hari dan dapat diperpanjang oleh Ketua
Pengadilan Negeri selama 30 hari; hakim Pengadilan Negeri, guna kepentingan
pemeriksaan di pengadilan, juga memiliki
kewenangan menahan terdakwa selama 30 hari dan dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri selama 60 hari;
hakim Pengadilan Tinggi berwewenang menahan terdakwa selama 30 hari dan dapat diperpanjang
oleh Ketua Pengadilan Tinggi selama 60 hari; Demikian juga Hakim Agung
berwenang melakukan penahanan terdakwa selama 50 hari dan dapat diperpanjang
oleh Ketua Mahkamah Agung tidak lebih dari 60 hari.
Dari
uraian batas-batas waktu penahanan tersebut, diperoleh kepastian hukum bahwa
seseorang tersangka/terdakwa yang dikenakan perintah penahanan, mulai dari
penyidik sampai ke Mahkamah Agung, paling lama 400 hari. Setiap kali melebihi batas waktu
kewenangan penahanan, tahanan harus
dilepaskan demi hukum.
Memang
tidak semua tindak pidana dapat dilakukan penahanan atas tersangka/terdakwa.
KUHAP sudah menentukan kejahatan mana yang pelakunya dapat ditahan. Penahanan
hanya dapat dikenakan terhadap tersangka/terdakwa yang melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih (alasan obyektif).
Alasan lain yang dapat dijadikan dasar penahanan adalah karena tersangka/terdakwa dikhawatirkan akan melarikan diri, merusak
atau menghilangkan barang bukti, atau akan mengulangi tindak pidana (alasan
subyektif).
Dengan
adanya asas praduga tidak bersalah ini, berarti memberikan penegasan bahwa hukum
hanya memberikan kewenangan kepada hakim untuk menghukum seseorang yang sudah
dinyatakan bersalah. Kalau ada orang atau pejabat lain di luar hakim yang
menghukum seseorang, hal itu sama artinya dengan mengambil alih kewenangan
hakim, alias melakukan perbuatan main hakim sendiri. Perjalanan asas praduga
tidak bersalah ini akan berakhir setelah ada putusan pengadilan yang telah
memiliki kekuatan hukum yang tetap. Setelah terdakwa
Hal lain
yang menarik dari pembatasan kewenangan tersebut, nampak adanya pengelompokan fungsi dan
wewenang antar setiap instansi penegak hukum. Pengelompokan diatur sedemikian
rupa, sehingga tetap terbina saling korelasi dan koordinasi dalam proses
penegakan hukum yang saling berkaitan dan berkelanjutan antara satu instansi
dengan instansi lain. Mulai dari taraf penyidikan oleh pihak kepolisian sampai
dengan pelaksanaan putusan pengadilan oleh kejaksaan, selalu terjalin hubungan
fungsi yang berkelanjutan, yang akan menciptakan suatu mekanisme saling
mengawasi antara satu instansi dengan instansi penegak hukum lainnya yang
saling terkait.
Peradilan dengan Sederhana,
Cepat dan Biaya Ringan
Asas ini menghendaki agar setiap
pelaksanaan penegakan hukum di Indoensia berpedoman kepada asas : cepat, tepat,
sederhana dan dengan biaya ringan. Tidak boleh berbelit-belit, apalagi ada
unsur kesengajaan memperlambat penyelesaian kasus pidana, tentu kesengajaan ini
merupakan perkosaan terhadap hukum dan martabat kemanusia. Jajaran penegak
hukum harus membantu pencari keadilan
dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya
peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan[22].
Dapat dibayangkan betapa sengsaranya
seorang tersangka/terdakwa yang menghadapi
ketidakpastian sangkaan atau dakwaan yang dituduhkan kepadanya. Untuk
itu, KUHAP telah meletakkan asas yang
mengarahkan peradilan harus dilakukan dengan cepat, tepat dan sederhana. Tegaknya
asas ini ke dalam kenyataan, kembali
kepada kesadaran moral aparat penegak hukum. Idealisme penegakan hukum oleh
aparat penegak hukum itulah yang paling menentukan. Karena dengan dukungan
idealisme yang kuat para aparat penegak hukum akan memahami kedudukan mereka
bukan hanya sebagai alat kekuasaan, tapi juga sebagai pelayan manusia. Kesadaran inilah
yang dapat memotivasi mereka memberi dan melaksanakan hukum secara sepat, tepat
dan sederhana.
Beberapa ketentuan yang
menjamin pelaksanaan asas tersebut, antara
lain, menyatakan bahwa tersangka/terdakwa berhak segera mendapat pemeriksaan penyidik,
diajukan ke penuntut umum oleh penyidik, diajukan ke pengadilan negeri oleh
penuntut umum dan segera diadili oleh pengadilan[23].
Mengenai pelimpahan perkara agar terlaksana dengan tepat, diatur dalam tenggang
waktu pengirimaman berkas perkara, misalnya dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Tinggi
sebagai tingkat banding ditentukan waktunya 14 hari dari tanggal permohonan
banding[24].
Kemudian 7 hari sesudah diputus di tingkat banding, Pengadilan Tinggi harus
mengembalikan ke Pengadilan Negeri[25].
Demikian pula halnya pada tingkat
Kasasi, 14 hari dari tanggal permohonan kasasi, Pengadilan Negeri harus sudah
mengirimkan berkas perkara ke Mahkamah Agung (MA) untuk diperiksa di tingkat
kasasi dan 7 hari setelah diputus, MA sudah harus dikirim ke Pengadilan Negeri[26].
Sedangkan mengenai asas
sederhana dan biaya ringan di dalam KUHAP dijabarkan sebagaimana diatur : penggabungan
perkara pidana dengan tuntutan ganti rugi yang bersifat perdata oleh seorang
korban yang mengalami kerugian akibat langsung tindak pidana yang dilakukan
oleh terdakwa[27]; banding
tidak dapat diminta terhadap putusan dalam acara cepat. Tidak kurang artinya
sebagai pelasanaan dari perinsip mempercepat dan menyedehanakan proses
penahanan.
PENCAPAIAN KEADILAN
Di dalam upaya memeroleh keadilan yang asasi
melalui pelaksanaan peradilan pidana, ada suatu istilah hukum yang dapat
merupakan cita-cita peradilan pidana, yaitu doe
process of law atau proses hukum yang adil. Benar dan adilnya penyelesaian perkara di depan sidang pengadilan
bukan dilihat pada hasil akhir putusan yang dijatuhkan, tetapi harus dimulai
sejak awal proses pemeriksaan dimulai. Apakah sejak tahap awal ditangani
pengadilan memberi pelayanan sesuai dengan ketentuan hukum acara. Dengan kata
lain, apakah proses pemeriksaan perkara sejak awal sampai akhir benar-benar proses
hukum yang adil. Apakah sejak awal sampai putusan dijatuhkan proses pemeriksaan
dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana. Apabila sejak awal sampai
putusan dijatuhkan sesuai dengan hukum acara pidana, berarti pengadilan telah
melaksanakan dan menegakkan kebenaran dan keadilan.
Putusan pengadilan merupakan bagian dari proses
penegakan hukum yang bertujuan untuk memperoleh kebenaran dan keadilan. Putusan
pengadilan merupakan produk penegak hukum yang didasarkan pada hal-hal yang
relevan secara yuridis yang muncul secara sah di persidangan. Kualitas putusan
pengadilan berhubungan dengan profesionalisme, kecerdasan moral dan kepekaan
nurani hakim. Pertimbangan hukum yang dipakai hakim sebagai landasan dalam
mengeluarkan amar putusan merupakan determinan dalam melihat kualitas putusan.
Selaku pelaksana kekuasaan
yudikatif, para hakim tidak boleh takut kepada suatu golongan atau kekuasaan
pemerintahan, mereka hanya boleh takut kepada kemurkaan Tuhan. Dengan demikian pelaksanaan fungsi
kekuasaan kehakiman yang berfalsafah Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan semata-mata untuk kepentingan hukum, keadilan dan peradilan
serta ketertiban masyarakat semata. Tetapi lebih jauh dari itu, yaitu penegakan
hukum yang mampu mewujudkan tegaknya
hukum, keadilan dan kebenaran serta ketertiban masyarakat lahir dan batin bagi
seluruh anggota masyarakat.
Untuk mencapai keadilan yang
demikian, asas praduga tidak bersalah
dan asas-asas pokok lain yang mendukungnya dalam tahapan persidangan harus ditegakkan. Beberapa
asas yang mendukung penegakan asas praduga tidak bersalah dalam proses
pemeriksaan di sidang pengadilan, adalah sebagaimana diuraikan berikut.
Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka
Kekuasaan kehakiman yang
merdeka dan bebas dari pengaruh dan campur tangan kekuasaan di luar kekuasaan
kehakiman. Kekuasaan kehakiman yang demikian sudah dijaminan[28].
Kemudian jaminan ini diperkuat lagi dalam undang-undang yang menyatakan bahwa
kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi
terselenggaranya negara hukum Republik Indoensia[29].
Dengan penegasan ini semakin jelas kedudukan kekuasaan kehakiman, yaitu, kekuasaan peradilan yang bebas dan merdeka.
Dengan kebebasan dan kemerdekaan, akan dapat
dicapai peradilan yang objektif, jujur dan tidak memihak. Peradilan yang mengejar kebenaran materil, mampu menghargai
harkat dan martabat manusia serta melindungi hak-hak asasi tersangka/terdakwa.
Namun dalam memahami kebebasan dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman ini, para
hakim harus menyadari dan menghayati bahwa kekuasaan yang bebas dan merdeka itu adalah kekuasaan negara.
Selain itu, peradilan adalah
satu-satunya instansi tertinggi dan terakhir yang berwenang memutuskan sesuatu
tindakan benar atau salah, berdasar hukum atau tidak, dan menentukan hukum apa
yang berlaku terhadap suatu peristiwa. Dari rumusan ini, hukum melarang setiap
orang atau golongan untuk memberi pendapat atau tafsiran yang mendahului
putusan peradilan mengenai sesuatu kasus yang sedang diperiksa. Hal ini bukan berarti masyarakat dan pers
dilarang melakukan sosial kontrol. Perjalanan asas praduga tidak bersalah belum
berakhir. Masyarakat dan pers boleh saja melakukan kontrol, asal jangan
mendahului putusan peradilan. Masayakat baru boleh mengatakan seseorang penipu,
koruptor, pencuri, dan sebagainya setelah ada putusan hakim, karena undang-undang
hanya memberikan kewenangan kepada hakim untuk menyatakan seseorang telah
melakukan tindak pidana.
.
Asas Peradilan Terbuka untuk
Umum
Peradilan terbuka untuk
umum penting artinya dalam pelaksanaan penegakan hukum. Oleh karena itu
pasal-pasal KUHAP yang mendukung asas ini mengarahkan tindakan penegakan hukum
di Indonesia harus dijiwai oleh jiwa persamaan
dan keterbukaan serta penerapan sistem musyawarah dan mufakat dari majelis
hakim dalam mengambil putusan. Dengan landasan persamaan hak dan kedudukan
antara tersangka/terdakwa dengan aparat penegak hukum, ditambah dengan sifat
keterbukaan perlakuan oleh aparat hukum kepada tersangka/terdakwa, tidak ada
dan tidak boleh dirahasiakan segala sesuatu pemeriksaan terhadap diri
tersangka/terdakwa. Semua hasil pemeriksaan kesalahan yang disangkakan kepada
sejak mulai pemeriksaan penyidikan harus terbuka kepada tersangka.
Untuk mempertegas tentang adanya asas ini dalam penegakan hukum, maka pemeriksaan
di pengadilan harus terbuka untuk umum.[30]
Pada saat membuka persidangan pemeriksaan seorang terdakwa, hakim ketua
majelis yang memimpin sidang harus
menyatakan : ”sidang dibuka dan terbuka untuk umum”. Pelanggaran atas ketentuan
ini mengakibatkan putusan pengadilan batal demi hukum. Tentu ada pengecualian
sepanjang mengenai perkara yang menyangkut kesusilaan atau anak-anak. Dalam hal ini persidangan dilakukan dengan
pintu tertutup. Alasannya, karena perkara kesusilaan dianggap masalah yang sangat
peribadi dan tidak pantas diungkapkan di muka umum. Demikian juga terhadap
anak-anak yang melakukan tindak pidana secara filosofis sifatnya kenakalan. Oleh
karena itulah pemeriksaan dilakukan secara tertutup. Jika persidangan dilakukan
terbuka dikhawatirkan akan membawa akibat psikologis yang tidak menguntungkan
bagi si anak.
Selain itu, KUHAP juga memperlihatkan adanya landasan asas
demokrasi dalam penegakan hukum. Hal ini terlihat dari ketentuan yang mengatur
bahwa hakim dilarang menunjukkan sikap dan atau mengeluarkan pernyataan tentang
keyakinannya mengenai salah tidaknya terdakwa dalam pemeriksaan persidangan.
Selama sidang belum ditutup, hakim dilarang melontarkan ucapan atau sikap
pernyataan salah terhadap terdakwa. Salah tidaknya terdakwa baru dapat
dinyatakan setelah hakim menutup pemeriksaan. Dan saat yang diperbolehkan untuk
menyatakan salah tidaknya terdakwa hanya dapat dilakukan hakim pada saat mengucapkan putusan perkara; hakim wajib
menjaga supaya jangan sampai melakukan pertanyaan-pertanyaan yang bisa
mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara tidak bebas; tidak
seorang hakim pun diperkenankan mengadili perkara yang ia sendiri mempunyai kepentingan
di dalamnya, baik langsung maupun tidak langsung; putusan diambil oleh majelis
hakim berdasarkan musyawarah dan mufakat; apabila kata sepakat tidak tercapai
putusan diambil berdasarkan suara terbanyak; jika suara terbanyak juga tidak
diperoleh, putusan harus diambil berdasarkan pendapat paling menguntungkan
terdakwa;
Demikianlah beberapa ketentuan KUHAP yang menunjukkan
bahwa KUHAP bukan hanya berperinsip terbuka untuk umum saja, tetapi sikap dan
jiwa demokrasi harus hadir pada setiap
tingkat pemeriksaan, dengan jalan menghayati sifat-sifat keterbukaan.
Peradilan atas Hadirnya
Terdakwa
Asas ini melarang pemeriksaan
dan pemutusan perkara secara di luar hadirnya terdakwa. Oleh karena itu
pengadilan memeriksa dan memutus perkara pidana, terdakwa dan saksi harus hadir di muka persidangan. Di sini hakim
dan terdakwa ataupun para saksi berada dalam satu sidang yang tidak dibatasi
sekat apapun. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada
terdakwa untuk membela diri sebelum hakim menjatuhkan putusan. Hakim
menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana, setelah
terlebih dahulu diberikan kesempatan
untuk membela diri. Dengan demikian, kehadiran terdakwa dan saksi dalam suatu
persidangan pengadilan mutlak sifatnya, tanpa hadirnya terdakwa peangdilan
tidak mungkin dilakukan.
Dengan asas ini diharapkan
informasi atau keterangan langsung diberikan terdakwa, tanpa melalui perantara.
Sehingga dapat dijamin kebenarannya sekaligus memberikan jaminan perlindungan
hak-hak asasi terdakwa. Lagi pula seandainya pemeriksaan tanpa hadirnya terdakwa,
akan timbul kecendrungan untuk memilih jalan pintas memutus perkara tanpa
hadirnya terdakwa Akibatnya akan bamuara ke arah putusan pengadilan yang kurang
dapat dipertanggung jawabkan ditinjau dari segi kebenaran dan keadilan.
Peradilan Majelis
Semua peradilan memeriksa dan memutus dengan sekurang-kurangnya tiga
orang hakim. Peradilan dilakukan dengan majelis hakim yang terdiri dari
sekurang-kurangnya tiga orang hakim. Maksud persidangan majelis ini untuk dapat
mewujudkan keputusan peradilan yang objektif. Inilah ide yang sebenarnya bahwa
dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh majelis akan diharapkan pemeriksaan dapat
dilakukan dengan lebih teliti, dan akan lebih menjamin terhindar dari kecerobohan,
kealpaan dan kehilapan.
Asas Kebenaran Materil
Dalam pemeriksaan perkara pidana lebih mementingkan penemuan kebenaran
materil. Artinya suatu kebenaran yang benar-benar sesuai kenyataan yang sesungguhnya. Asas ini nampak
dalam proses peradilan, di mana pengakuan terdakwa tidak dapat dijadikan alasan
untuk menjatuhkan putusan, tapi pengakuan itu perlu didukung oleh alat bukti. Pengakuan dalam proses perkara
pidana bukan sebagai suatu kebenaran,
melainkan hanya sebagai petunjuk yang masih perlu dibuktikan dengan alat bukti
saksi atau barang bukti lainnya.
Selain asas-asas yang
diuraikan di atas, kekuasaan peradilan di dalam melaksanakan fungsi dan
wewenangnya harus dijalankan : ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”.[31]
Bertitik tolak dari landasan filosofis ini, cita-cita dan tujuan pelaksanaan
peradilan di Indonesia adalah untuk mengwujudkan keadilan yang berdasarkan
Ketuhana yang Maha Esa. Yaitu wujud keadilan dan kebenaran yang diridhoi Tuhan,
bukan keadilan dan kebenaran yang dimurkai Tuhan. Oleh karena itu setiap putusan
yang diambil oleh hakim harus mempertanggungjawabkan langsung kepada Tuhan Yang
Maha Esa, bukan kepada atasannya atau masyarakat. Dengan demikian fungsi pelaksanaan
kekuasaan kehakiman di Indonesia, bukan untuk dan atas nama kepentingan
penguasa maupun kepentingan tegaknya hukum saja.
Demikianlah penerapan asas
praduga tidak bersalah beberapa asas lainnya yang mendukung dalam proses
peradilan pidana. Tentu masih ada asas yang lain. Semua asas tersebut sama pentingnya. Namun tidak
berlebihan untuk mengatakan prinsip kekuasaan peradilan yang paling pokok ialah
asas kekuasaan peradilan yang bebas dan merdeka. Sehingga kekuasaan peradilan itu
benar-benar sebagai kekuasaan kehakiman yang independen tanpa pengaruh dan
campur tangan dari luar peradilan. Demikian pun kebebasan bukanlah tanpa tujuan
dan tanpa batas. Setiap kebebasan yang tidak mempunyai tujuan dan tanpa batas
bukan lagi kebebasan, tetapi berobah menjadi kejaliman dan kesewenang-wenangan.
Kebebasan kehakiman yang mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan kehakiman
yang bebas dari campur tangan kekuasaan negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan.
PENUTUP
Dari uraian tersbut di atas, dapat
disimpulkan bahwa hak memperoleh
keadilan, sebagai salah satu elemen hak asasi manusia, telah diakui dalam
negara hukum Indonesia. UUD 1945 dan beberapa peraturan perundang-undangan
telah memberikan jaminan pemenuhannya. Bahkan KUHAP dengan Asas praduga tidak bersalah dan asas-asas
pendung lainnya telah memberikan arahan yang jelas dalam rangka pencapaian
keadilan melalui proses peradilan pidana yang adil.
Keadilan yang hendak
ditegakkan di negara hukum Republik Indonesia adalah keadilan yang mengandung nilai-nilai
falsafah Pancasila, UUD 1945 serta nilai-nilai yang terdapat dalam perundang-undangan
yang lain, yang nilai-nilainya aspiratif dengan nilai dan rasa keadilan
masyarakat. Sedangkan cara menegakkan hukum dan keadilan dilakukan sesuai
dengan tata pelaksanaan yang berpedoman kepada asas praduga tidak bersalah dan
asas-asas lain yang ditentukan KUHAP. Dengan demikian titik senteral penegakan hukum di Indonesia
adalah melalui proses peradilan pidana harus berorientasi pada asas keseimbangan. Pada satu sisi aparat
hukum wajib melindungi harkat dan martabat hak asasi manusia seorang tersangka/terdakwa,
sedangkan pada sisi lain mereka berkewajiban melindungi dan mempertahankan
kepentingan ketertiban umum. Bergeser dari landasan keseimbangan ini pasti akan
menjurus ke arah orientasi kekuasaan dan bersifat sewenang-wenang. Akibatnya akan
menghasilkan keadilan yang diperoleh melalui pemerasan dan penyiksaan.
Pelaksanaan peradilan secara
sadar selalu menuntut dipenuhinya prosedur-prosedur yang ditentukan dalam hukum
acara. Tidak terpenuhinya prosedur baku yang diatur dalam hukum acara, dapat
mengakibatkan proses peradilan itu menjadi batal dan tidak sah. Jajaran aparat
penegak hukum yang terlibat aktif dalam prosedur-prosedur berperkara dalam
peradilan mempunyai mandat hukum untuk melaksanakan tindakan hukum. Setiap mandat hukum yang diberikan
kepada para penegak hukum tersebut harus dilaksanakan secara profesional. Oleh
karena itu setiap aparat penegak hukum perlu memiliki pengetahuan hukum yang
mendalam, keterampilan teknik penerapan hukum yang cukup dan integritas moral yang tinggi
Kemudian eksistensi seorang
penegak hukum tidak cukup hanya didukung oleh undang-undang yang
mengharuskannya berlaku adil. Tapi yang terpenting, adalah sikapnya yang
positif dan tangguh saat ia mengemban kekuasaan atau bertugas langsung sebagai
penegak hukum. Oleh karena itu, jajaran aparat penegak hukum perlu menjaga
tingkah laku dan integritasnya serta
memelihara kejujurannya. Sebab apabila penegak hukum sendiri tidak mampu
melaksanakan tugasnya, terlebih kalau banyak diantara mereka yang justru
melakukan pelanggaran hukum, hampalah cita-cita yang diuraikan dalam tulisan
ini.
Hal lain yang perlu
dilaksanakan secara terus menerus adalah kegiatan sosialisasi dan diseminasi materi
hak asasi manusia kepada kelompok masyarakat luas, baik yang rentan terhadap pelanggaran maupun kelompok yang berpotensi melanggar hak
asasi manusia.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Achmad Fauzan, 2004, Himpunan
Undang-Undang Lengkap tentang Badan Peradilan,
Yrama Widya,
Bandung.
Bagir Manan, 2007, Kekuasaan
Kehakiman Indonesia dalam UU No. 4 Tahun 2004, FH
UII Press,
Yogyakarta.
Bismar Siregar, 1999, Catatan Bijak
Membela Kebenaran Menegakkan Keadilan, Rosda,
Bandung.
Darwan Prinst, 2001, Sosialisasi
& Diseminasi Penegakan Hak Asasi Manusia, Citra
Aditiya Bakti, Bandung.
Frans Magnis Suseno, 1994, Etika
Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Jimly Asshiddiqie, 2009, Menuju
Negara Hukum yang Demokratis, Bhuana Ilmu
Populer, Jakarta.
Mardjono Reksodiputro, 1997, Bungan
Rampai Permasalahan dalam Sistem Peradilan
Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian
Hukuk Uniuversitas
Indonesia, Jakarta.
Mien Rukmini, 2003, Perlindungan HAM
melalui Asas Praduga tidak Bersalah dan Asas
Persamaan Kedudukan dalam Hukum
pada Sistem Peradilan Pidana
Indonesia, Alumni, Bandung.
Muladi (Editor), 2005, Hak Asasi
Manusia Hakekat, Konsep, dan Implikasinya dalam
Prespektif Hukum dan Masyarakat.
M.Yahya Harahap, 1985, Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid I
dan II, Pustaka Kartini, Jakarta.
Rusli Muhammad, 2006, Potret Lembaga
Pengadilan Indonesia, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
St. Harum Pudjiarto, 1999, Hak Asasi
Manusia Kajian Filosofis dan Implementasinya
dalam Hukum Pidana di Indonesia, Universitas Admajaya, Yogyakarta.
Yusti Probowati Rahayu, 2005, Di
Balik Putusan Hakim Kajian Psikologi Hukum Dalam
Perkara Pidana, Srikandi, Surabaya.
[1] UUD
1945, Pasal 1 ayat (3)
[2] Jimly
Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang
Demokratis, Bina Ilmu Populer, Jakarta,
2009, hlm. 396
[3]
Undang-undang Tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 angka 1
[4]
Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia, pasal 6-66.
[5]
Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia, pasal 17
[6]
Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia, pasal 18-19
[7] Pasal 16
ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa
pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus sesuatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
[8]
M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran,
Mizan, Bandung,
1996, hlm.111
[9] Frans
Magnis Suseno, Etika Politik,
PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,1987,
hlm.82
[10] Bismar
Siregar, Catatan Bijak Membela Kebenaran Menegakkan Keadilan, Rosda, Bandung, 1999,
hlm.55.
[11] KUHAP, Konsiderans Menimbang, Huruf a.
[12] KUHAP, Konsiderans Menimbang, huruf c.
[13] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid I, Pustaka
Kartini, 1985,
hlm.70
[14] Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia,
Raja Grapindo Persada, Jakarta, 2006, hlm.41
[15] KUHAP, Penjelasan Umum, butir 3, huruf c.
[16] KUHAP, Pasal 50, Pasal 51, dan Pasal 59.
[17] KUHAP, Pasal 95 dan Pasal 97.
[18] KUHAP, Pasal 52-68 dan Pasal 224, Pasal
259 dan Pasal 263
[19] KUHAP, Pasal 53-58, Pasal 66-68.
[20] KUHAP, Pasal 60-63
[21] KUHAP, Pasal 52
[22] Undang-undangan Kekuasaan Kehakiman,
Pasal 5 ayat (1)
[23] KUHAP, Pasal 50
[24] KUHAP, Pasal 362
[25] KUHAP, Pasal 234.
[26] KUHAP, Pasal 275.
[27] KUHAP, Pasal 98.
[28] UUD 1945, Pasal 24.
[29] UU Kekuasaan Kehakiman, Pasal 1.
[30] KUHAP, Pasal 153 ayat 3
[31] Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Pasal
4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar