Oleh Ajarotni Nasution, S.H.,M.H
Pendahuluan
Hak
asasi manusia adalah hak-hak dasar yang dimiliki setiap manusia yang dalam
konsteks konstitusi memjadi hak dasar setiap warga negara. Negara Republik Indonesia
adalah negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945) menjunjung tinggi sistem
hukum dan menjamin kepastian hukum serta perlindungan terhadap hak asasi
manusia. UUD 1945 menjamin hak asasi
setiap warga negara dan kepastian hukum. Pasal 28 ayat
(1) amandemen menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan,
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Konsekwensi logis dari
polarisasi negara hukum yang diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di
Indonesia, menurut Sri Sumantri Martosoewignjo (1992 : 29), terdapat empat ciri
dasar pemerintahan di Indonesia, yaitu : (1) pemerintah dalam melaksanakan
tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau perundang-undangan; (2) adanya
jaminan terhadap hak-hak asasi manusia; (3) adanya pembagian kekuasaan dalam
negara; (4) adanya pengawasan kekuasaan dalam negara.
Terkait dengan prinsip
pemerintah dalam menjalankan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan hukum, perlu mengemukakan pendapat Muchtar Kusumaatmadja (2002 : 13). Menurut beliau, hukum merupakan suatu alat untuk memelihara
ketertiban dalam masyarakat. Dilihat dari fungsinya maka pada dasarnya hukum
itu bersifat konservatif atau dengan kata lain hukum itu bersifat memelihara
dan mempertahankan yang telah dicapai termasuk dalam membantu proses perubahan
yang diinginkan masyarakat itu
Berdasarkan prinsip dan pendapat di atas, terlihat bahwa negara
pada hakekatnya menjamin perlindungan diri pribadi, keluarga dan masyarakat melalui pembangunan
dan pembaharuan hukum yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Artinya
dalam pembaharuan hukum, termasuk hukum pidana, harus mempertimbangkan
nilai-nilai yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Untuk mewujudkan tata kehidupan yang menjamin
persamaan kedudukan warga negara dalam hukum diperlukan upaya penegakan hukum
yang efektif dan seimbang yang tidak hanya memperhatikan hak-hak pelaku tindak
pidana, tetapi juga hak-hak korban dan masyarakat dalam suatu proses peradilan
pidana dengan segala perkembangannya.
Perkembangan ilmu hukum pidana dan sifat
pemidanaan telah mengenal pendekatan hubungan pelaku-korban untuk menggantikan
pendekatan perbuatan atau pelaku. Dalam kontek penegakaan hak asasi manusia
terhadap kejahatan-kejahatan tertentu perlu dikembangkan pendekatan hubungan
perbuatan-pelaku dan korban. Bertolak dari pendekatan ini, maka untuk
mengetahui ada tidaknya kepastian hukum dan keadilan, khusus dalam penegakan
hak asasi manusia, menurut Romli Atmasasmita (2001 : 147), dapat ditentukan
melalui formula, (a) nilai keadilan tidak diperoleh dari
tingginya nilai kepastian hukum melainkan dari
keseimbangan perlindungan hukum atas korban dan pelaku kejahatan; dan (b) semakin serius suatu kejahatan, maka
semakin besar nilai keadilan yang harus
dipertahankan lebih dari nilai kepastian hukum.
Keseimbangan antara kepastian
hukum dengan keadilan dan kemanfaatan dalam suatu pemidanaan sangat dipengaruhi
oleh proses penyelenggaraan penegakan hukum pidana. Peran penegak hukum dalam
menciptakan harmonisasi proses pemeriksaan di pengadilan, bukan hanya
memutuskan perkara, melainkan juga
sekaligus berusaha menemukan jalan keluar dari persoalan yang dialami pencari keadilan.
Oleh karena itu, putusan pengadilan, selain harus memuat alasan dan dasar-dasar
putusan, juga memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili.
Belakangan ini muncul berbagai pemikiran
baru tentang pemidanaan dan pemasyarakatan, antara lain, mengadakan pranata
pidana percobaan, pidana pekerja sosial, pelepasan bersyarat. Anak-anak
akan mendapat perlakuan khusus dalam proses penangan perkara pidana, mulai dari
penyidikan, penuntutan, penyidangan dan pemasyarakatan. Tetapi semua
perkembangan ini lebih ditujukan kepada pelaku
tindak pidana. Atas nama hak asasi manusia, pelaku wajib diperlakukan sesuai
dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan hak asasi manusia, termasuk penyediaan
bantuan hukum. Sementara korban dan keluarga korban kurang atau sama sekali tidak
mendapat perhatian. Bagi korban kejahatan, sistem pemidanaan yang berlaku sama
sekali tidak memberi perlindungan atas segala penderitaan atau kerugian akibat
perbuatan pidana. Korban akan menderita akibat perbuatan pidana, misalnya cacat
karena penganiayaan, keluarga yang kehilangan pelindung sumber kehidupan karena
suami atau ayah mereka cacat atau terbunuh.
Hukum acara pidana (KUHAP) yang
diundangkan pada tahun 1981 banyak memberikan perlindungan terhadap hak-hak tersangka
atau terdakwa sebagai pelaku kejahatan, tetapi kurang mengadopsi hak-hak
korban, sehingga penerapan hukum pidana sering menimbulkan reaksi sosial berupa
tuntutan keadilan. Sikap masyarakat
semakin keras menghadapi berbagai perbuatan pidana, seperti main hakim sendiri,
permintaan hukuman diperberat atau hukuman mati.
Terhadap korban dan keluarganya, KUHAP memang memberikan kemungkinan
untuk mengajukan gugatan perdata atas segala kerugian dan penderitaan yang dialami
akibat perbuatan pelaku, akan tetapi prosesnya memakan waktu yang lama dan
biaya yang tidak sedikit. Juga korban atau keluarganya dapat mengajukan gugatan
ganti kerugian pada saat proses perkara
pidananya sedang berlangsung. Penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam
proses peradilan pidana ini, hanya terbatas kerugian yang berhubungan langsung
dengan perbuatan pidana, seperti biaya pengobatan dan kerusakan barang.
Dari kenyataan di atas, sistem pemidanaan
yang berlaku belum sepenuhnya menjamin keadilan yang terpadu (integrated justice), yaitu keadilan
bagi pelaku, keadilan bagi korban dan keadilan bagi keluarga korban serta
masyarakat. Salah satu masalah dari banyak masalah yang menjadikan keadilan
terpadu ini tetap bermasalah adalah memberlakukan satu proses yang sama bagi
semua jenis masalah. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor yang mendorong konsep restoactive justice. Banyak
pihak yang berpaling untuk mencari alaternatif dalam penyelesaian masalahnya. Sementara
persoalan yang dihadapi dalam penegakan hukum di negara kita adalah belum
adanya wadah hukum penyelesaian perkara pidana melalui Restorative justice
Menanggapi persoalan tersebut, Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar (Kompas, 19 Maret 2011), sudah memberikan
perhatian dengan menyatakan bahwa persoalan-persoalan hukum yang menimpa rakyat
kecil perlu mendapat perhatian penuh dengan menganut falsafah restorative justice. Penyelesaian
perkara pidana ringan yang melibatkan anak-anak, manusia lanjut usia (manula)
dan kalangan masyarakat miskin akan diupayakan diselesaikan di luar pengadilan.
Syaratnya adalah korban sudah memaafkan dan tersangka tidak harus dikirim ke
penjara. Selama ini banyak korban sudah memaafkan, tetapi pelaku masih diproses
hukum dan dipenjara. Soal ini harus menjadi perhatian bersama antar instansi
penegak hukum karena penegakan hukum itu tidak kaku, tetapi memberikan rasa
keadilan terhadap semua pihak. Kosep restoraktive
justice akan dimatangkan pada tahun 2011 sambil menunggu rancangan
undang-undang pidana anak dan rancangan pengganti KUHP sehingga semuanya jelas.
Terhadap keinginan Menteri Hukum dan MAM
tersebut, Ketua Mahkamah Agung, Harifin A.Tumpa, mendukung dan mengingatkan
pentingnya pelaksanaan restorarative
justice atau keadilan restoratif terutama untuk kasus-kasus kecil. Kasus
kecil tidak perlu diajukan hingga ke pengadilan. Aparat kepolisian dan jaksa sebaiknya mengambil tindakan bijak
dalam menyelesaikan perkara semacam itu tanpa mencederai keadilan. Perkara kecil
kenapa mesti masuk ke pengadilan. Sementara Wakil Ketua Komisi Yudisial, Imam Anshori Saleh, juga merespons harapan
dan keinginan Menteri Kemenkumham dan
Ketua Mahkamah Agung dengan mengatakan bahwa restorative justice akan lebih memberikan rasa keadilan, karena
hukum tidak dilaksanakan secara kaku demi kepastian hukum. Sebab Penerapan
hukum secara kaku, sering melukai rasa keadilan masyarakat. Karena itulah
melaksanakan restorative justice
merupakan pilihan bijaksana. Hakim pun tidak menyalahgunakan restorative justice untuk tujuan
menyimpang. Harus murni demi keadilan dan kemaslahatan masyarakat. Komisi
Yudisial akan memantau pelaksanaannya. Ini penting agar pelaksanakan kebijakan
itu tidak menyimpang dari substansinya. Jadi harus benar-benar selektif dan
dilaksanakan secara tepat sesuai asas-asas hukum itu sendiri
Persoalan yang dihadapi adalah belum adanya wadah hukum penyelesaian perkara
pidana melalui Restorative justice. Sistem
peradilan pidana di Indonesia lebih menekankan pada penghukuman pelaku dari
pada perlindungan korban. Untuk melakukan perubahan sistem Peradilan Pidana
dengan memasukkan bentuk penyelesaian perkara melalui restorative justice adalah sesuatu yang mungkin, tetapi akan
memakan waktu yang lama dan biaya yang
tinggi, karena peraturan yang mengatur sistem peradilann pidana itu setingkat
dengan undang-undang. Sementara pemenuhan keadilan bagi semua pihak merupakan
kebutuhan yang sangat mendesak. Langkah-langkah apa yang perlu dilakukan, sehingga pemenuhan
hak atas keadilan melalui restorative
justice dapat teriwujud. Untuk menjawab permasalahan tersebut, uraian
berikut akan menjelaskan pengertian, karakteristik dan mekanisme restorative
justice serta langkah-langkah yang ditempuh untuk mewujudkannya dalam
rangka pemberian perlindungan terhadap
hak asasi manusia.
Perlindungan Hak Asasi Manusia
Setiap manusia lahir dalam keadaan bebas, sama hak dan martabat. Setiap manusia memiliki akal dan hati nurani, sehingga sesama manusia harus bertindak dalam
semangat persaudaraan (Pasal 1 DUHAM). Hal ini sebenarnya merupakan suatu
pernyataan umum tentang martabat dan kebebasan serta persamaan
manusia yang menunjukkan nilai normatif konsep hak asasi manusia. Dengan
demikian hak asasi manusia dapat diartikan sebagai hak dasar yang dimiliki oleh
manusia sejak ia dilahirkan.
Di Indonesia pengertian Hak Asasi Manusia terdapat dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia yang berbunyi, ”Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat
pada harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia”. Hak asasi manusia diartikan sebagai hak yang melekat pada martabat
manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang dibawa sejak lahir ke muka bumi. Hal ini bersifat fitri (kodrati), bukan merupakan pemberian manusia atau negara.
Prinsip hak atas keadilan adalah
setiap korban dan setiap orang berhak atas pengadilan yang adil dan efektif.
Kata ”adil” dan ”efektif” mengandung keharusan yang menjamin para pelaku
dihukum dan korban mendapatkan ganti rugi. Dalam rangka ini negara wajib
melakukan upaya administrasi peradilan yang efektif dan independen bagi
setiap pencapaian keadilan. Negara tidak dapat memberikan pengampunan kepada pelaku
sebelum korban mendapat hak atas pengadilan yang efektif. Masalah perlindungan
HAM dan korban merupakan dua sisi dari satu mata uang yang sama. Kedua-duanya
tidak bisa dipisahkan. Jadi masalah perlindungan hak korban pada hakikatnya
juga merupakan bagian dari masalah perlindungan HAM
Selama ini penegakan hak asasi manusia
dan keadilan hanya dipandang sebagai penghukuman bagi si pelaku, sementara
pemulihan si korban diabaikan. Penegakan HAM tidak akan bermakna bila tidak ada
pemulihan yang efektif bagi korban bahkan reparasi (hak korban atas pemulihan)
harus dipandang sebagai bentuk hak dasar yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun, termasuk dalam keadaan
perang.
Hak ganti rugi korban pada
dasarnya merupakan bagian integral dari hak asasi manusia di bidang
kesejahteraan/jaminan sosial (social
scurity), seperti terlihat misalnya dalam artikel 25 Universal Declaration of Human Rights, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas taraf hidup yang
menjamin kesehatan dan kesejahteraan untuk dirinya dan keluarganya, termasuk
pangan, pakaian, perumahan, dan perawatan kesehatannya serta pelayanan sosial
yang diperlukan, dan berhak atas jaminan
pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda, mencapai usia
lanjut atau mengalami kekurangan mata pencaraian yang lain karena keadaan yang
berada di luar kekuasaannya.
Masalah perlindungan hak korban dapat dilihat dari
dua makna (Barda Nawawi Arief, 2001 : 56), yaitu pertama, dapat diartikan sebagai ”perlindungan
hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana” (berarti perlindungan Hak Asasi
Manusia (HAM) atau kepentingan hukum seseorang); kedua, dapat diartikan sebagai
”perlindungan untuk memperoleh jaminan/ santunan hukum atas
penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana” (jadi
identik dengan ”penyantunan korban”). Bentuk santunan ini dapat berupa
pemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan keseimbangan batin (antara lain,
dengan pemaafan), pemberian ganti rugi (restitusi, kompensasi, jaminan/santunan
kesejahteraan sosial) dan sebagainya.
Perlindungan hak-hak korban pada
hakikatnya merupakan bagian dari perlindungan hak asasi manusia. Sementara dalam sistem peradilan pidana di Indonesia
kurang melindungi hak-hak korban tindak pidana bila dibandingkan dengan hak-hak
tersangka. Dalam KUHAP tidak ada kecendrungan untuk terpusat kepada
korban, tidak mengenal adanya proses
lain kecuali pemidanaan berdasarkan pertimbangan fakta materil yang ada. Oleh
sebab itu, wajar apabila hakim cendrung memperbandingkan fakta materil di
persidangan dengan ketentuan pidananya. Cara pikir undang-undang ini masih
menggunakan pola konvensional yang berpandangan bahwa korban dianggap telah
dilindungi apabila pelaku tindak pidana dijatuhi hukuman pidana.
Dengan demikian sistem Peradilan Pidana di Indonesia
mempunyai beberapa kelemahan, antara lain, (1) menyamaratakan semua cara
pemeriksaan, sedangkan masih terdapat perkara yang antara korban dengan pelaku
sudah berdamai pada waktu tingkat penyidikan; (2) lebih menekankan pada
penghukuman pelaku dari pada perlindungan korban yang semestinya akibat dari
kejahatan si pelaku; (3) terlalu legalistik dan mengenyampingkan prinsip social justice dan kemanfaatan
pemidanaan.
Secara garis besar, Sistem Peradilan Pidana Indonesia diawali dengan peran
kepolisian, selanjutnya dibawa ke kejaksaan dan pelimpahan perkara ke
pengadilan untuk pembuktian yang diakhiri dengan putusan pengadilan. Di sini
KUHAP tidak meberikan kewenangan kepada penyidik, penuntut umum dan hakim untuk
melakukan negosiasi dengan pelaku tindak pidana guna mempercepat proses.
Sehingga perkara yang sudah berdamai, selalu berakhir di penjara jika terbukti
bersalah, tanpa melihat korban. Jadi KUHAP tidak mengenal restorative
justice melalui negosiasi atau
musyawarah.
Kejahatan HAM dan kejahatan lain yang
mengakibatkan penderitaan korban dan atau keluarganya serta masyarakat
berkepentingan banyak terjadi di Indonesia. Menghadapi masalah ini dituntut
penggalian pendalaman ilmu, pengasahan kecerdasan moral serta naluri keadilan. Dalam
arti penegak hukum bertanggung jawab untuk menegakkan restorative justice agar hukum mengayomi korban dan/atau
keluarganya, masyarakat stakeholder terpulihkan
dari luka (bathin) dan pelaku kejahatan disadarkan
atas pebuatannya dan meminta maaf kepada korban dan atau keluarganya sehingga
dapat meredakan rasa bersalah. Dengan restorative
justice kehidupan dan penghidupan korban dan/atau keluarganya, masyarakat stakeholder dan pelaku menjadi pulih
kembali melakukan tugas dan kewajibannya. Sejatinya menegakkan hukum mengemban
misi luhur menjaga dan menegakkan martabat kemanusiaan.
Pengertian dan Tujuan Restorative
Justice
Secara harfiah, restorative justice dapat diartikan
sebagai pemulihan keadilan bagi korban dan pelaku tindak pidana. Pengertian ini
berkembang setelah dimasukkan dalam sistem peradilan pidana, sehingga
pengertiannya menjadi proses penyelesaian yang sistematis atas tindak pidana
yang menekankan pada pemulihan atas kerugian korban dan atau masyarakat sebagai
akibat perbuatan pelaku. Dalam proses penyelesaian ini melibatkan korban dan pelaku secara langsung dan aktif.
Menurut Artidjo Alkostar,
(2002 : 8). Restorative justice adalah metode pemulihan yang melibatkan pelaku
kejahatan, korban dan komunitasnya di dalam proses pemidanaan dengan memberi
kesempatan kepada pelaku untuk menyadari kesalahannya dan bertobat sehingga
pelaku dapat kembali ke dalam kehidupan komunitasnya kembali
Proses peradilan pidana bersifat restorative
justice berpandangan bahwa mewujudkan keadilan bukan hanya urusan
pemerintah dan pelaku kejahatan, tetapi lebih dari itu harus memberikan
keadilan secara totalitas yang tidak bisa mengabaikan kepentingan dan hak-hak
korban dan masyarakat. Jadi inti restorative justice lebih menekankan pada
upaya pemulihan dan bukan pada penghukuman. Sistem pemidanaan yang berlaku
sekarang kurang sekali memperhatikan kepentingan korban
Dari rumusan pengertian tersebut, dapat
diketahui bahwa tujuan Restorative justice adalah untuk
mewujudkan pemulihan kondisi korban kejahatan, pelaku dan masyarakat
berkepentingan (stakeholder) melalui
proses penyelesaian perkara yang tidak hanya berfokus pada mengadili dan
menghukum pelaku. Tujuan restorative
justice adalah memperbaiki kerusakan, memulihkan kualitas hubungan, dan
memfasilitasi reintegrasi para pihak yang terlibat dan terkait. Praktik retorative
justice menekankan kepada para pelaku dan korban, sehingga penyelesaiannya
tidak sekedar berhenti pada penghukuman pelaku, tetapi pencapaian kedewasaan
para pihak terkait untuk memperkuat kualitas hubungan untuk kurun waktu yang
lebih panjang (Hadi Supeno, 2010 : 196).
Melalui restorative justice akan dapat melihat hak dan kepentingan masa
depan korban kejahatan selaku manusia yang mandiri. Apalagi kalau korban
berstatus kepala keluarga yang mempunyai tanggungan keluarga. Restorative justice memberikan perhatian
terhadap kepentingan korban, dengan penekanan pemulihan kerugian aset, derita
pisik, keamanan, harkat dan kepuasan atau rasa keadilan. Bagi pelaku dan
masyarakat, restorative justice
memberi kesempatan meraih kembali rasa hormat masyarakat. Pelaku tidak
mengulangi lagi perbuatannya dan masyarakat pun menerimanya. Dengan model restorative justice, pelaku tidak perlu
masuk penjara kalau kepentingan dan kerugian korban sudah direstorasi.
Berbeda dengan proses peradilan
pidana konvensional telalu menyederhanakan masalah hak, martabat dan
kepentingan korban serta masyarakat terkait.
Dalam proses peradilan pidana konvensional, kalau penegak hukum sudah
menangani suatu kasus, seolah-olah korban sudah menyerahkan nasibnya kepada
penegak hukum. Padahal kalau hakim menghukum pelaku kejahatan dengan pidana
penjara atau denda, kepentingan korban sama
sekali tidak terpenuhi. Hukuman denda
yang dijatuhkan kepada pelaku masuk ke
kas negara dan hak-hak korban terabaikan.
Karakteristik
Restorative Justice
Berdasarkan pengertian dan tujuan restorative justice beserta uraiannya
dapat diketahui beberapa prinsip dan karakteristik yang dikandungnya. Secara konsepsional, Bagir Manan (2008 : 7) menyebutkan bahwa restorative
justice mengandung beberapa prinsip, antara lain: Pertama, membangun
partisipasi bersama antara pelaku, korban dan kelompok masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak
pidana. Menempatkan pelaku, korban dan masyarakat sebagai ”stakeholders”
yang bekerja bersama dan langsung menemukan penyelesaian yang dipandang adil
bagi semua pihak (win-win solution). Kedua,
mendorong pelaku bertanggung jawab terhadap korban atas peristiwa atau tindak
pidana yang telah menimbulkan cedera, atau kerugian terhadap korban. Ketiga,
menempatkan peristiwa atau tindak pidana tidak terutama sebagai suatu bentuk
pelanggaran hukum, melainkan sebagai pelanggaran oleh seseorang (sekelompok
orang) terhadap seseorang (kelompok orang). Karena itu sudah semestinya pelaku
diarahkan pada pertanggunjawaban terhadap korban, bukan mengutamakan
pertanggungjawaban hukum. Keempat, mendorong menyelesaikan suatu peristiwa atau
tindak pidana dengan cara-cara yang lebih informal dan personal, dari pada
penyelesaian dengan cara-cara beracara yang formal (kaku) dan impersonal.
Secara lebih rinci Muladi (Setyo
Utomo, 2010 : 9) menyatakan bahwa restorative
justice mempunyai beberapa karakteristik,
yaitu : (a) kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang
lain dan diakui sebagai konflik; (b) titik perhatian pada pemecahan masalah
pertanggung jawaban dan kewajiban pada masa depan; (c) sifat normatif dibangun
atas dasar dialog dan negosiasi; (d) restitusi sebagai sarana perbaikan para
pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama; (e) keadilan dirumuskan
sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil; (f) sasaran perhatian
pada perbaikan kerugian sosial; (g) masyarakat merupakan fasilitator dalam
proses restoratif; (h) peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam
masalah maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana
didorong untuk bertanggung hawab; (i) pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan
sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu mem , sosial dan
ekonomis; dan (k) stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.
Dengan
mengacu kepada beberapa prinsipdan karakteristik tersebut, ditemukan empat
nilai utama restorative justice
(Ridwan Syahrani, 2010 : 125), yaitu, (1) Encounter
(bertemu satu sama lain), menciptakan kesempatan kepada pihak-pihak yang
terlibat dan memiliki niat dalam melakukan pertemuan untuk membahas masalah yang
telah terjadi dan pasca kejadian; (2)
amends (perbaikan), dimana sangat diperlukan pelaku mengambil langkah dalam
memperbaiki kerugian yang terjadi akibat perbuatannya; (3) reintegration (bergabung kembali dalam masyarakat), yaitu mencari
langkah pemulihan para pihak secara keseluruhan untuk memberikan kontribusi
kepada masyarakat; (4) inclution (terbuka),
dimana memberikan kesempatan kepada semua pihak yang terkait untuk
berpartisipasi dalam penangannya.
Mekanisme
Restorative Justice
Restorative
justice memberi pemeran
utama kepada pelaku, korban, keluarga dan orang lain yang mempunyai hubungan
erat dengan mereka untuk memutuskan substansi yang mereka sepakati.
Pelaksanaannya harus benar-benar sesuai dengan prinsip-prinsip restorative justice, seperti membangun
tanggung jawab pelaku atas perbuatannya yang menimbulkan kerugian terhadap
orang lain. Mengenai forum yang dipergunakan dapat beraneka ragam, sesuai
dengan tingkat pemeriksaan perkara, upaya melaksanakan restorative justice dapat dilakukan dalam lingkungan penyidikan,
penuntutan dan pengadilan dan forum-forum di luar tiga lingkungan jabatan
tersebut.
Mekanisme
konsep restorative Justice, menurut
Bagir Manan, (2006 : 3), paling tidak ada dua hal yang perlu
diperhatikan. Pertama, momentum, yaitu saat sebelum memasuki proses peradilan atau
sebagai bagian dari proses peradilan. Di sini ada dua momentum, yaitu sebelum
dan sesudah proses peradilan berjalan. Sebelum proses peradilan adalah ketika perkara tersebut
masih di tangan kepolisian atau kejaksanaan. Baik atas inisiatif kepolisian
atau kejaksanaan, seseorang atau sekelompok masyarakat, dilakukan upaya
penyelesaian perkara pidana tersebut dengan cara-cara atau prinsip restorative justice. Hal serupa pada
saat perkara dilimpahkan ke pengadilan. Hakim, misalnya, dapat menganjurkan
penyelesaian menurut cara-cara atau prinsip restorative
justice. Bahkan ada kemungkinan di tengah proses peradilan dapat ditempuh
cara-cara penyelesaian menurut prinsip restorative
justice. Kedua, forum yang dipergunakan. Apabila dilihat dari posisi
terdakwa dan korban, maka restorative
justice tidak lain dari suatu bentuk mediasi yang bertujuan untuk mencapai wi-win solution seperti dalam perkara
keperdataan
Restorative
justice dapat dilaksanakan secara langsung sebelum atau sesudah tindak pidana masuk dalam proses sistem
peradilan pidana. Kasus pidana yang belum masuk ke dalam sistem penegakan hukum
pidana dilakukan dengan cara diskresi (kebijaksanaan). Sedangkan kasus pidana yang
sudah masuk ke dalam sistem penegakan hukum pidana dilakukan dengan cara pihak
aparat mengambil tindakan mengalihkan kasus pidana yang terjadi ke proses
informal (diversi). Prosesnya dapat
dilakukan dengan beberapa cara tergantung situasi dan kondisi yang ada dan
bahkan ada yang mengkombinasikan satu mekanisme dengan yang lain. Adapun
mekanisme yang umum diterapkan dalam restorative
justice adalah mediasi antara korban dan pelaku
Penyelesaian melalui restorative justice diwujudkan melalui mediasi antara pihak-pihak
terkait, masyarakat Indonesia mengenalnya dengan sebutan ”musyawarah untuk
mufakat”. Musyawarah merupakan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
Indonesia.. Melakukan musyawararah dalam rangka menyelesaikan sengketa sudah
menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia. Berkaitan dengan itu, ada baiknya
musyawarah dapat dimasukkan ke dalam sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
Pada umumnya, menurut Artidjo
Alkostar, (Kompas, 4 April 2011), prinsip dasar restorative justice yang lewat mediasi menemukan beberapa prasyarat
terjadinya restorative justice,
misalnya dalam kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan seksual, yaitu (1)
korban kejahatan harus menyetujui; (2) kekerasan harus dihentikan; (3) pelaku
kejahatan harus mengambil tanggung jawab; (4) hanya pelaku kejahatan yang harus
dipersalahkan, bukan pada korban; (5) proses mediasi hanya dapat berlangsung
dengan persetujuan korban. Dari prasyarat mediasi tersebut terlihat bahwa
martabat kemanusiaan korban kejahatan harus menjadi prioritas. Mediasi
melibatkan proses spritual untuk memulihkan dan membangkitkan rasa percaya diri
korban. Urgensi dari mediasi menuju restorative
justice merupakan upaya mencapai proses penyelesaian perkara yang
berkualifikasi win-win solution.
Praktek Restorative Justice di Indonesia
Di Indonesia banyak hukum
adat yang bisa menjadi restorative justice, namun negara belum
mengakui keberadaannya dan melakukan kodifikasi ke dalam hukum nasional. Hukum
adat bisa menyelesaikan konflik yang muncul di masyarakat dan memberikan kepuasan kepada pihak yang berkonflik. Penyelesaian
peristiwa pidana dalam masyarakat hukum adat tidak begitu berbeda dengan
cara-cara penyelesaian sengketa keperdataan.
Ada dua aspek pendekatan penyelesaian peristiwa
pidana dalam hukum adat yaitu aspek megis dan material. Aspek megis bertalian
dengan upaya mengembalikan keseimbangan megis yang terganggu akibat peristiwa
pidana yang diselenggarakan melalui upacara-upacara tertentu seperti
menyediakan sesajen dan pengorbanan hewan sebagai tebusan. Aspek material
berkaitan dengan upaya merukunkan kembali hubungan antara pelaku dan korban
dengan melakukan sesuatu, seperti penyataan bersalah, permohonan maaf, memberi
konpensasi atau denda tertentu. Sanksi yang agak ekstrim adalah pengusiran pelanggar
dari lingkungan masyarakat hukum yang bersangkutan. Praktek ini tidak lain dari restorative justice yang telah menjadi tradisi masyarakat hukum
adat kita.
Praktek perdamaian yang memberikan perhatian
terhadap kepentingan korban sering kali kita jumpai dalam peristiwa pidana,
termasuk di kota-kota. Misalnya, seorang pelaku yang menabrak orang lain yang menimbulkan
cedera atau kematian, tidak jarang sertamerta memberikan perhatian terhadap
korban (keluarga korban). Cara-cara tersebut dilakukan dengan mengambil
tanggung jawab pengobatan, memberikan uang duka, meminta maaf, dll. Ketika masa
HIR, perdamaian atau cara-cara penyelesaian hukum adat ini wajib
dipertimbangkan hakim apabila perkara itu berlanjut ke pengadilan.. Putusan
hakim perdamaian menurut hukum adat dapat dikukuhkan oleh pengadilan sehingga
tidak diperlukan lagi proses peradilan.
Menurut hukum adat yang melakukan
perdamaian adalah ketua adat, kepala kaum atau kepala kerabat. Dalam praktek
sekarang, perdamaian dilakukan oleh atau di hadapan kepolisian atau pejabat
pemerintah lainnya. Praktek seperti ini tidak bertentangan dengan tujuan dan
fungsi hukum untuk memulihkan ketenteraman dan memelihara perdamaian dalam
masyarakat. Sebagai konsekwensi hukum upaya perdamaian semacam ini adalah
menutup perkara. Artinya doktrin yang mengatakan bahwa sifat pidana tidak akan
hapus karena adanya perdamaian, mestinya dihapus. Dapat saja sifat pidana tidak
hapus, tetapi perdamaian menghilangkan atau menghapuskan hak menuntut
(memperkarakan). Perdamaian untuk suatu perbuatan pidana dapat disebut ”abolisi sosial” seperti abolisi yang
ada pada Presiden, lazim dimasukan sebagai sebagai hak proregatif (Bagir Manan,
2006 :. 7)
Hambatan dalam pelaksanaan
perdamaian sering muncul dari sikap
penegak hukum yang sangat formalistis
dengan mengatakan proses hukum tetap dijalankan walaupun sudah ada perdamaian.
Sifat melawan hukum tidak akan hapus karena perdamaian. Sebaiknya pertimbangan
legalistik ini dihaluskan, yaitu dilihat dari tujuan pemidanaan. Apakah masih
ada tujuan pemidanaan yang belum tercapai, apabila pihak-pihak telah berdamai
satu sama lain. Tujuan penegakan hukum bukan menerapkan hukum, melainkan
mencapai ketertiban, kedamaian, ketenteraman dalam tatanan masyarakat yang
harmonis dan adil. Karena itu seyogiyanya penegak hukum benar-benar
memperhatikan langkah-langkah sosial yang ditempuh dalam menyelesaikan suatu
pelanggaran hukum.
Sekalipun Indonesia tidak mengenal
restorative justice dalam sistem
Peradilan Pidana, namun dalam praktek banyak perkara pidana diselesaikan
melalui mekanisme restorative justice
atas inisiatif penegak hukum. Dengan demikian dalam kenyataan restorative justice sebenarnya dapat dijalankan
dalam sistem Peradilan Pidana. Salah satu contoh, Polres Kendal, Jawa Tengah,
telah berhasil mendamaikan seorang remaja laki-laki dengan seorang gadis.
Kasus posisinya, seorang remaja
laki-laki mengirim MMS (multimedia
messaging service) berisi gambar adegan ciuman antara sang gadis dan
dirinya ketika mereka berpacaran dan mengancam akan menyebarkan gambar itu jika
sang gadis memutuskan hubungan mereka. Laki-laki ini telah disangka melakukan
perbuatan yang dilarang Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, yakni Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1), (3) dan
(4). Ancaman hukumannya maksimal 6 tahun. Sang laki-laki, di depan kedua
orangtuanya sendiri, berlutut meminta maaf kepada sang gadis berikut kedua orangtua sang gadis.
Sang laki-laki, meminta maaf karena
sudah menyakiti si gadis dan berjanji tidak mengulangi lagi perbuatannya. Jika
mengulangi perbuatannya akan siap diperjara. Akhirnya sang gadis dan kedua
orangtuanya pun memaafkan laki-laki itu. ”Dia masih muda dan punya masa depan.
Kalau dipenjara, jadi apa nanti,” ujar ayah sang gadis. Malam itu kedua pihak
sepakat berdamai. Pertemuan diakhiri dengan jabat tangan kedua pihak. Sang
gadis mengaku lega masalah selesai dengan baik. Selain kasus ini, Polres Kendal
juga menerapkan model seperti ini dalam
kasus-kasus ringan, seperti kasus penganiayaan, KDRT, perkara anak, dll .
Kasus-kasus seperti itu diselesaikan melalui proses musyawarah antara pihak
yang berperkara dan melibatkan tokoh masyarakat sebagai mediator. (Kompas : 17
April 2011).
Menurut Kapolda Jateng, Inspektur
Edward Aritonang, penyelesaian alternatif tersebut sudah menjadi program
unggulan yang diterapkan sejak ahun 2011. Dengan model ini, penyelesaian
perkara tidak perlu berakhir di pengadilan.
Penyelsaian perkara ini diberlakukan dengan ketat untuk menghindari kebingungan
di masyarakat karena khawatir tidak ada kepastian dan terjadi penyalahgunaan.
Selain inisiatif penyelesaian sengketa harus datang dari kedua pihak yang
bersengketa, sengketa yang akan diselesaikan harus bersifat ringan dan
kepentingan para korban terakomodasi secara setara serta tidak ada yang
dirugikan. Penyelesaian sengketa dianjurkan menggunakan model perdamaian secara
adat atau kebiasaan di daerah yang bersangkutan. Dengan cara yang demikian
diharapkan polisi akan semakin dekat dengan masyarakat. Ini meringankan
pekerjaan polisi, jaksa dan hakim serta mengurangi penuh sesaknya Lembaga
Pemasyarakatan. (Kompas : 17-4-2011).
Lalu, sejauh mana restorative justice dapat dijalankan
untuk perkara-perkara besar, seperti menghilangkan nyawa orang lain, korupsi,
pelanggaran HAM berat, atau kejahatan-kejahatan besar lainnya. Mengenai
menghilangkan nyawa dalam arti menyebabkan mati, baik karena sengaja maupun karena kelalaian dimungkinkan untuk
diselesaikan melalui restorative justice.
Contohnya, kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Jakarta Pusat tanggal 19 Maret 2007 oleh
seorang supir angkutan umum yang menewaskan 2 (dua) orang korban dapat
diselesaikan dengan cara damai. Pelaku menyantuni keluarga korban dengan
sejumlah uang sebagai modal dagang isteri korban. Polisi melakukan cara ini
dengan pertimbangan bahwa tindak pidana ini terjadi karena kelalaian yang
diancam hukuman tidak lebih dari 5 (lima) tahun, kondisi ekonomi pelaku dan korban tidak menguntungkan,
penyelesaian melalui proses peradilan pidana akan lebih menyengsarakan kedua
belah pihak dan keluarga korban pun telah memaafkan pelaku. Demikian juga hasil
penelitian Balitbang HAM tahun 2006 menemukan bahwa kebanyakan kasus kekerasan
dalam rumah tangga diselesaikan secara damai atas prakarsa polisi sebagai
mediator. Upaya perdamaian ini atas
pemohonan suami atau isteri korban
agar penyidik tidak
meneruskan perkaranya ke pengadilan,
karena ingin mempertahankan rumah tangga.(Eva Achjani Zulfa : http//evtente.
blogspot.com(p)restorative-juntice. indonesia).
Ketua Mahkamah Agung, Harifin A.
Tumpa, (Kompas, 19 Maret 2011), pernah menyarankan penyelesaian perkara kecil
tidak perlu sampai ke pengadilan. Aparat polisi dan jaksa agar mengambil
tindakan yang bijak dalam menyelesaikan perkara, tanpa mencederai keadilan.
Beliau bahkan pernah mendamaikan, ketika
menangani perkara kepala sekolah yang menggelembungkan upah buruh dari
Rp.4.000,- menjadi Rp. 70.000,- sehingga terkumpul Rp.2,5 juta. Restorative
justice, sudah digunakan Mahkamah Agung, beliau sendiri sudah pernah
memutus kasus sengketa uang antara mertua dan menantu yang sampai ke tingkat
kasasi.
Dalam konteks ini, menurut Bagir
Manan (2006 : 6), perlu diperhatikan salah satu asas peradilan agama Islam yang
menyebutkan, ”adililah dengan adil, tapi kalau memaafkan akan lebih baik
bagimu”. Asas ini telah menyelamatkan TKW
Indonesia yang terlibat dalam pembunuhan di Arab Saudi terlepas dari
hukuman mati, karena keluarga korban memberi maaf. Kebijaksanaan rekonsiliasi
yang dijalankan Afrika Selatan meenyelesaikan pelanggaran HAM Berat akibat
apartheid pada dasarnya dapat dimasukkan sebagai suatu bentuk restorative justice. Hal serupa mestinya
dapat juga dijalankan di Indonesia. Bukan saja dorongan praktis, tetapi juga
atas dasar prinsip-prinsip hukum adat dan sikap keberagamaan masyarakat sangat
membuka peluang melaksanakan restorative
justice terhadap pelanggaran HAM Berat yang pernah ada.
Terhadap kasus korupsi, di
Indonesia pernah ada kebijakan membebaskan tersangka korupsi yang telah
melunasi semua uang negara yang mereka gunakan secara melawan hukum dalam batas
waktu yang telah ditentukan (release and
dischange). Kebijakan ini mendapat kecaman keras dari masyarakat, atas nama keadilan beberapa orang menuntut
agar hakim mengadili dan menjatuhkan hukuman yang berat. Menurut Artidjo
Alkostar (Kompas, 4 April 2011), dari standar umum restorative justice, terhadap kejahatan korupsi tidak mungkin
dilakukan mediasi penal karena korban kejahatan korupsi menyebar dalam
kehidupan rakyat banyak yang hak-hak ekonominya dirampas oleh koruptor.
Penilaian ini nampaknya
berorientasi kepada para koruptor yang milyaran atau triliwunan rupiah. Rasa
keadilan masyarakat sangat terusik jika hakim
membebaskan para pelaku yang menyelewengkan uang negara. Para penentang
lupa begitu banyak korupsi dengan skala kecil, bahkan sangat kecil, misalnya
Rp.10.000.000,- ke bawah, atau agak besar sampai Rp.25.000.000,- Sebenarnya
kalau mendasarkan pada pemikiran untuk kepentingan rakyat, mungkin pengembalian
uang secara cepat lebih bermanfaat jika dibandingkan dengan menghukum para
pelaku melalui proses peradilan.
Meskipun praktek-praktek
tersebut sesuai dengan karakteristik dan
prinsip-prinsip yang terkandung dalam restorative
justice, namun hal ini adalah
kenyataan yang perlu dicarikan mekanisme hukum sebagai landasannya. Terlepas
dari kekurangan dan kelebihan penyelesaian perkara pidana di luar sistem
peradilan pidana, restorative justice
telah menjadi kebutuhan masyarakat
Perubahan Sistem Peradilan Pidana
Untuk memperoleh kepastian hukum dan
perlindungan hak asasi manusia, maka
hukum pun harus mengalami perubahan bentuk dan isi sesuai dengan
perkembangan masyarakat. Dalam konteks pembaharuan hukum, hukum pun dapat
melakukan perubahan-perubahan dalam hukum itu sendiri. Hal ini sesuai dengan
fungsi hukum yang selain memelihara hasil yang telah dicapai, juga dapat
mengakomodir segala kebutuhan yang ada
dalam masyarakat. Salah satu aplikasi
adanya pembaharuan hukum adalah dengan menggunakan pendekatan restorative justice.
Untuk menentukan model rertorative justice yang tepat dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia, dapat mengadopsi teori hukum
pembangunan dari Muchtar Kusumaatmaatmadja, yaitu ketertiban dan ketenteraman
dalam rangka pembaharuan atau pembangunan hukum merupakan sesuatu yang dipandang mutlak adanya. Hukum dalam arti
kaidah atau peraturan hukum memang dapat berfungsi sebagai alat pengatur atau sarana
pembangunan dalam menetukan arah kegiatan manusia ke arah pembaharuan. Pandangan ini muncul
ketika terdapat asumsi bahwa hukum tidak dapat berperan atau menghambat
perubahan masyarakat. Sedangkan dalam kenyataan di dalam masyarakat Indonesia telah
terjadi perubahan pemikiran ke arah hukum modern.
Secara empiris, korban dan pelaku tindak pidana tertentu masih menganggap
penyelesaian perkara di dalam sistem peradilan pidana belum dapat memberikan
keadilan. Sedangkan tujuan hukum
seharusnya mencapai keadilan yang didasarkan atas kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, sudah
seharusnya, hukum itu melakukan pembaharuan sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Hukum yang diharapkan berfungsi sebagai ”sarana pembaharuan masyarakat” atau
”sarana pembangunan”. Meskipun dituntut
untuk menjadi sarana pembaharuan, akan tetapi tidak secara serta merta hukum
dapat melakukan hal tersebut. Diperlukan keaktifan dan kinerja pembuat hukum
untuk menerapkan pembaharuan tersebut ke dalam hukum positif Indonesia.
Sesuai dengan teori pembangunan hukum
tersebut, perlu mengembangkan dan melihat aplikasi di dalam perkara tertentu
dengan menggunakan pendekatan restorative
jusitce, bahwa hukum sebagai sarana pembangunan masyarakat tersebut dapat
diubah dengan menanamkan paham pemulihan keadilan ke dalam sistemnya. Meskipun
KUHAP maupun sistem peradilan pidana di Indonesia tidak menganut sistem
musyawarah di dalam prosesnya, tetapi demi tercapainya tujuan hukum itu
sendiri, lebih baik melakukan modifikasi bentuk penyelesaian perkara dengan menggunakan
mekanisme restotarative justice dalam
sistem peradilan pidana Indonesia
Model restorative justice yang akan dianut nampaknya para penegak hukum harus
mengarahkan adanya proses musyawarah terlebih dahulu, tanpa menunggu ada atau
tidak adanya keinginan bermusyawarah dari pelaku. Artinya kewenangan para
penegak hukum di dalam sistem peradilan pidana mendukung berlakunya model ini.
Sistem peradilan pidana Indonesia mengenal pihak-pihak yang terkait secara
langsung di dalam sistem tersebut, yaitu
penyidik, penuntut umum, hakim, korban dan pelaku tindak pidana.
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia yang
dituangkan dalam KUHAP diawali dengan adanya proses penyelidikan dan penyidikan
setelah terjadi tindak pidana. Berdasarkan KUHAP, kewenangan penyelidik dan
penyidik pada intinya adalah mencari keterangan dan bukti atas terjadinya
tindak pidana. Di dalam proses penyelidikan dan penyidikan ini, penegak hukum
tidak diberikan kewenangan untuk bertindak sebagai mediator/fasilitator,
meskipun dalam kenyataan telah banyak dilakukan musyawarah perdamaian antara
pelaku dan kerban yang difasilitasi oleh penyidik di dalam perkara pidana tertentu.
Tahap selanjutnya adalah pembuatan tuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut
Umum. Di dalam kewenangan Penuntut Umum pun, tidak ditemukan kewenangan untuk
bertindak selaku mediator ataupun sebagai fasilitator dalam suatu mediasi
antara pelaku dan korbannya.
Berbeda dengan penyidik dan
penuntut umum, hakim mempunyai keistimewaan karena memiliki kewenangan untuk
menerima, memeriksa dan memutus perkara dengan irah-irah ”Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” Kewenangan
ini menentukan hasil akhir dari suatu perkara, yang dapat memberikan jalan
kepada terjadinya musyawarah antara korban dan pelaku tindak pidana. Dalam
gugatan perkara perdata ada kemungkinan melakukan mediasi pada awal proses peradilan berdasarkan
Peraturan Mahakamah Agung (PERMA) Nomor 1 tahun 2008 yang dalam salah satu
konsideran menimbangnya menyebutkan bahwa :
”Sambil menunggu
peraturan perundang-undangan dan memperhatikan kewenangan Mahkamah Agung dalam mengatur tata cara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan
perundang-undangan, maka demi kepastian, ketertiban, dan kelancaran dalam
proses mendamaikan para pihak untuk menyelesaikan suatu sengketa perdata,
dipandang perlu menetapkan suatu Peraturan Mahkamah Agung”
Melihat gambaran di atas, untuk
melakukan perubahan pada KUHAP guna
melakukan perubahan bentuk penyelesaian perkara dengan menggunakan model restorative justuce dalam sistem
Peradilan Pidana Indonesia adalah hal yang
memungkinkan, tetapi membutuhkan waktu lama dan biaya tinggi, mengingat
struktur KUHAP setara dengan undang-undang. Sedangkan pencapaian keadilan
bagi semua pihak merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditunggu-tunggu lagi.
Secara historis KUHAP merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari HIR, yang berarti sebelum KUHAP berlaku
prosedur beracara baik dalam perkara pidana maupun perdata menggunakan HIR.
Berarti ada satu cara yang dapat ditempuh untuk membuat Peraturan Mahkamah
Agung menganai mediasi dalam sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Sebagaimana
yang telah diuraikan sebelumnya PERMA yang dibelakukan ke dalam sistem
Peradilan Perdata di Indonesia berdasarkan HIR dan RBg yang memuat dorongan
para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensipkan dengan cara mengintegrasikan proses mediasi ke dalam
prosedur berperkara di pengadilan negeri.
Penutup
Perlindungan
hak-hak korban pada hakikatnya merupakan bagian dari perlindungan hak asasi
manusia (HAM). Masalah perlindungan HAM dan korban merupakan dua sisi dari satu
mata uang yang sama. Kedua-duanya tidak bisa dipisahkan. Jadi masalah
perlindungan hak korban pada hakikatnya juga merupakan bagian dari masalah
perlindungan HAM. Penegakan HAM tidak akan bermakna bila tidak ada pemulihan
yang efektif bagi korban bahkan reparasi (hak korban atas pemulihan) harus
dipandang sebagai bentuk hak dasar yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun, termasuk dalam keadaan
perang. Hak korban akan ganti rugi juga
pada dasarnya merupakan bagian integral dari HAM di bidang kesejahteraan/jaminan
sosial (social scurity). Sementara dalam sistem peradilan pidana di Indonesia
kurang melindungi hak-hak korban tindak pidana bila dibandingkan dengan hak-hak
tersangka.
Pluralitas komponen bangsa dan
kesenjangan sosial-ekonomi rakyat menuntut adanya penegakan hukum protektif
bagi kelompok rentan. Restorative justice
akan menjadi elemen yang akan menghilangkan kesenjangan keadilan yang diderita
kelompok rentan, seperti anak-anak, perempuan, dan ekonomi lemah yang berurusan
dengan penegakan hukum. Negara hukum yang otentik adalah negara yang rakyatnya
memiliki keyakinan kolektif bahwa mereka akan diperlakukan secara adil oleh
kedaulatan hukum. Oleh karena itu sebaiknya penyelesaian perkara pidana kecil,
KDRT dan anak-anak dilakukan dengan menggunakan pendekatan restorative justice.
Racangan undang-undang tentang perubahan
KUHP dan KUHAP yang telah disiapkan oleh pemerintah perlu mengadopsi keberadaan restorative justice. Hal ini agar proses penegakan hukum di negara kita
tidak tersendat, karena kurang cepat mengadopsi instrumen-instrumen hukum
negara modern dan kurang peduli terhadap
nilai-nilai kearifan lokal yang ternyata telah ada yang memberlakukan. Agar korban juga diberi peluang untuk
memperoleh ganti rugi. Mengenai besaran ganti kerugian kepada korban perlu dirumuskan
sebagaimana dalam pidana denda dan bukan semata-mata diserahkan kepada hakim.
Melakukan perubahan KUHP dan KUHAP guna memasukkan restorative justuce dalam sistem Peradilan Pidana di Indonesia kemungkinan
akan memakan waktu lama dan biaya tinggi, mengingat struktur KUHAP setara
dengan undang-undang. Sementara pencapaian
keadilan bagi semua pihak
merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Oleh karena itu apabila
tidak memungkinkan melakukan perubahan peraturan perundang-undangan dengan
cepat, maka perlu dibuat terlebih dahulu sebuah PERMA yang mengatur mediasi
dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Cara lain, perlu kemauan aparat
penegak hukum menggunakan restorative
justice secara langsung sebelum atau sesudah tindak pidana masuk dalam proses sistem
peradilan pidana. Kasus pidana yang belum masuk ke dalam sistem penegakan hukum
pidana dilakukan dengan cara diskresi (kebijaksanaan). Sedangkan kasus pidana yang
sudah masuk ke dalam sistem penegakan hukum pidana dilakukan dengan cara
mengambil tindakan mengalihkan kasus pidana yang terjadi ke proses informal
DAFTAR PUSTAKA
Artidjo Alkostar, 2007, Restorative Justice, Jakarta : dalam Majalah Hukum Varia
Peradilan Nomor 262 September 2007
----------, 2011, Keadilan Restoratif, Jakarta : dalam Opini Harian Kompas 4
April
2011
Bagir Manan, 2006, Restorative Justice (Suatu Perkenalan), Jakarta : dalam Majalah
Hukum Varia Peradilan Nomor 247
Juni 2006
----------, 2006, Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta : dalam
Majalah Hukum Varia Peradilan Nomor 248 Juli 2006
Barda Nawawi Arief, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Hukum
Pidana dalam Penanggulangan
Kejahatan, Jakarta : Kencana Predana Media
Group
----------, 2010, Kebijakan Hukum Pidana (Bunga Rampai) : Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru), Jakarta, Kencana Prenada Media Group
Hadi Supeno, 2010, Kriminalisasi Anak : Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak
Tanpa Pemidanaan, Jakrta: Kompas Gramedia
Marlina, 2009,
Peradilan Pidana Anak di Indonesia : Pengembangan Konsep Diversi
dan Restorative Justice, Bandung : Refika Aditama
Muchtar Kusumaatmadja, 2002, Konsep-konsep
hukum Dalam pembangunan,
Bandung ; Alumni
Muladi (Editor), 2005, Hak Asasi Manusia : Hakekat, Konsep dan
Implikasinya dalam
Perspektif
Hukum dan Masyarakat,
Bandung, Rafika Aditama
Ridwan Mansyur, 2010, Mediasi Penal Terhadap Perkara KDRT (Kekerasan Dalam
Rumah Tangga), Jakarta : Yayasan Gema Yustisia Indonesia
Romli Atmasasmita, 2001, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan
Hukum, Bandung : Mandar Maju
Setyo Utomo, 2010, Sistem Pemidanaan Dalam Hukum yang Berbasis Restorative
Justice, Jakarta : Pusren BPHN Kemenkumham
Sri Sumantrri Martosuwignjo, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia,
Bandung : Alumni.
Kompas, 19 Maret 2011; 4 April 2011 ; 17 April
2011